kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45936,04   7,69   0.83%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Swasembada pangan masih terganjal data


Selasa, 22 Mei 2018 / 06:37 WIB
Swasembada pangan masih terganjal data
ILUSTRASI.


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki tahun keempat pemerintah Presiden Joko Widodo, Indonesia masih jauh dari swasembada pangan. Sejumlah kebutuhan komoditas strategis saat ini seperti beras, daging, kedelai, bawang putih, gula dan garam masih mengandalkan impor.

Pada paruh pertama 2018 saja, pemerintah sudah mengeluarkan izin impor beras kepada Perum Bulog sebesar 1 juta ton. Sedangkan untuk daging, Kementerian Pertanian telah mengeluarkan rekomendasi impor daging beku sebesar 60.000 ton.

Jumlah impor daging beku tahun ini juga ditambah dengan usulan impor dari Bulog sebanyak 100.000 ton. Untuk bawang putih, Kemtan telah merekomendasikan impor kepada 41 perusahaan dengan jumlah sekitar 450.000 ton

Menurut Anggota IV Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Rizal Djalil, sampai saat ini swasembada pangan belum tercapai lantaran data pangan tidak akurat. Data pangan yang tersedia masih berbeda-beda di antara lembaga pemerintah. Kondisi ini membuat pemerintah tidak bisa mengambil kebijakan yang tepat untuk mengejar swasembada.

"Sampai saat ini, kita tidak memiliki data kongkret berapa sebenarnya data konsumsi beras per tahun," ujar Rizal, Senin (21/5).

Data pangan seharusnya lebih akurat dapat dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Namun selama ini BPS termasuk lamban merilis data pangan. Padahal pemerintah membutuhkan data pangan yang akurat sebagai pijakan untuk mengambil kebijakan.

Ia mencontohkan, saat pemerintah memutuskan impor beras, seharusnya berdasarkan data yang disuplai BPS. Itu berarti BPS sudah memiliki data ketersediaan komoditas aneka pangan.

Demikian juga dengan impor daging, bawang, gula dan komoditas pangan lainnya. Setiap keputusan impor, saran Rizal, harusnya didasarkan pada data pangan yang akurat dan bukan karena alasan lain

Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah segera memperbaiki data pangan. Sebab, data yang valid bisa menjadi dasar pengambilan keputusan bagi pemerintah, termasuk dalam kebijakan impor beras.

"Tolak ukur terpenuhinya kebutuhan pangan, dari segi kuantitas jumlahnya harus dihitung aman atau tidak. Dari segi kualitas juga mutunya aman untuk dikonsumsi. Saya yakin kita bisa swasembada karena kita pernah mencapainya," terang politisi Partai Golkar ini.

Ekspor pertanian

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, tugasnya adalah meningkatkan produksi pangan untuk menuju swasembada. Ia mengklaim, produksi pangan sebenarnya terus terus meningkat. Namun harus diakui untuk beras, daging sapi dan sejumlah komoditas lainnya masih belum swasembada.

Peningkatan produksi itu, klaim Amran, terlihat dari peningkatan ekspor produk pertanian sebesar 24% pada 2017. Peningkatan itu tertinggi dalam 10 tahun terakhir. "Itu setara Rp 441 triliun," klaimnya.

Beberapa produk pertanian dan peternakan yang sudah bisa ekspor adalah jagung 500.000 ton ke enam negara, bawang merah, dan ayam.

Pengamat Pertanian M.Husein Sawit mengatakan, Indonesia belum bisa mencapai swasembada pangan karena produksi beras masih rendah dan tidak sesuai dengan data yang dirilis pemerintah.

Akibatnya harga beras di pasar terus meningkat dan tidak mengalami penurunan signifikan, meskipun memasuki panen raya dan bahkan setelah panen raya. "Sementara dugaan adanya mafia dan pasar oligopoli tidak terbukti. Demikian juga pembentukan satuan tugas (satgas) pangan belum menjadi solusi menurunkan harga beras di pasar. Itu berarti persoalan ada di produksi beras yang masih rendah," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×