kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ451.000,68   7,08   0.71%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tak sekadar mempekerjakan, juga memanusiakan


Minggu, 22 April 2018 / 07:00 WIB
Tak sekadar mempekerjakan, juga memanusiakan


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Hobi sang ibu yang gemar mengoleksi kain batik lawas, secara tak sengaja mengantarkan Dea Valencia Budiarto jadi pengusaha batik tulis sukses di usia muda. Pemilik Batik Kultur ini punya 100 karyawan yang produknya menembus pasar ekspor.

Sebelum memproduksi batik sendiri, perempuan kelahiran 14 Februari 1994 ini berjualan kain batik lawas milik ibunya. Dengan mengusung merek Batik Lawasan, Dea mulai menawarkan koleksi kain batik melalui Facebook pada tahun 2011.

Koleksi kain batik ibu Dea betul-betul lawas, yakni buatan tahun 1870 hingga 1940. Selain berjualan, Dea juga ikut membantu sang ibu berburu kain batik tua. “Sampai kemudian, kain ibu sudah kebanyakan, jadi minta tolong aku untuk menjualkan,” katanya.

Dea, yang ketika mulai berjualan masih kuliah di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, cukup memajang foto kain batik disertai keterangan jenis dan harganya di akun Facebook Batik Lawasan.

Alhasil, pertanyaan dari calon pembeli pun datang bertubi-tubi. Ambil contoh, menggunakan bahan apa dan teknik pembuatannya bagaimana.

“Saya kan, enggak ngerti apa-apa. Lucu, masak jualan tidak mengerti apa yang dijual. Akhirnya, saya mulai mempelajari mengenai batik lawas lewat buku-buku,” ujar Dea.

Cuma, yang namanya barang lawas, Dea mengungkapkan, ada cacatnya sedikit.

Dari situ muncul ide untuk bikin baju dari kain batik yang sedikit rusak milik ibunya. Apalagi, banyak motif bunga yang bagus-bagus, pas untuk bahan baju.

Maka, akhir 2011, Dea banting setir jualan baju batik hasil rancangan sendiri, dengan bahan kain batik lawas koleksi sang ibu. Dia pun menyematkan merek baru: Batik Kultur. “Batik kan, budaya, kultur kita,” jelasnya.

Tapi, mulai 2013, seiring stok kain batik milik ibunya yang kian menipis, Dea memproduksi sendiri bahan baku termasuk merancang motifnya. Setahun berikutnya, ia benar-benar 100% menggunakan bahan baku buatan sendiri untuk baju-baju hasil rancangannya.

Selepas kuliah, Dea pun kembali ke rumah orangtuanya di Semarang. Bisnis Batik Kultur pun bermarkas di kota berjulukan Venice van Java ini.

Untuk memproduksi bahan baku, Dea menjalin kemitraan dengan banyak perajin batik tulis yang ada di Cirebon, Pekalongan, Sragen, juga Klaten. Namun, semua desain dan motif berasal dari dirinya. “Kebanyakan dikerjakan oleh ibu rumahtangga, bisa dibawa pulang, karena batik tulis, bukan cetak atau cap,” ungkap Dea.

Karyawan difabel

Pada awal berbisnis baju batik tulis, Dea hanya punya satu “karyawan”, yakni penjahit langganannya yang sampai sekarang masih kerja dengannya. Namanya Dikin.

Cuma mulanya, Dea sama sekali tidak bisa membikin pola. Walhasil, baju perdana buatannya khusus perempuan tercipta tanpa lengan.

Maklum, Dea sama sekali tidak mengecap pendidikan desain mode tapi ilmu komputer. “Tapi, kalau dulu tidak mulai, ya, tidak jalan,” sebut Dea yang kini sudah punya tim khusus untuk desain dan pola.

Pelan tapi pasti, bisnis Dea berkembang. Makanya, penambahan karyawan juga sedikit demi sedikit, bukan tiba-tiba langsung 20 orang. “Lihat pasar dulu, cari aman. Aku enggak berani langsung investasi banyak, hati-hati banget,” imbuh dia.

Hebatnya, Dea juga mempekerjakan karyawan penyandang disabilitas. Dari jumlah pekerjanya saat ini yang mencapai 100 orang, sebanyak 40 di antaranya ialah penyandang cacat.

Perekrutannya pun tidak sengaja. Dulu, pengerjaan obras ia serahkan ke pihak luar. Ternyata, pekerjanya kebanyakan bisu dan tuli.

“Mereka berasal dari sebuah sekolah di Wonosobo yang spesial untuk mereka yang bisu tuli. Salah satu kejuruan sekolah itu adalah obras dan jahit,” terang Dea yang terinspirasi merekrut karyawan difabel dari situ.

Pada 2013, Dea bertemu Tumisi yang kelak jadi karyawan difabel pertamanya. Ketika itu, ia sedang dalam perjalanan menuju tempat pemasok bahan bakunya di daerah Ungaran.

Ternyata, pemasoknya juga mempekerjakan penyandang cacat sebagai pekerja magang. Salah satunya, Tumisi yang magang selama satu bulan dengan tugas menyortir barang.

“Tumisi nanya ke saya, boleh enggak kerja di tempat saya. Saya jawab boleh,” kata Dea, yang dari Tumisi lantas mendapat rekomendasi untuk mempekerjakan temannya yang bernama Nikma dan Sriwati. Dea bilang, ketiganya masih bekerja di perusahaannya sampai sekarang.

Cuma jujur, pertama kali mereka bekerja dengannya, Dea  bingung mau memberi pekerjaan apa. Sehingga, beberapa kali ia mengganti tanggungjawab para karyawan difabelnya. Misalnya, Tumimi sempat di bagian pengemasan, lalu mengurus bon karyawan, dan kini tenaga pemasaran.

Dea menjelaskan, sebetulnya difabel memiliki spektrum juga. Ada yang ringan seperti penderita polio.

Nah, ia menempatkan mereka di bagian menjahit karena tangannya bisa bekerja dengan baik. “Mereka rajin sekali, tak menyia-nyiakan kesempatan,” katanya.

Lantaran para pekerja difabel mendapatkan bayaran tergantung produktivitas, penghasilan mereka pun melebihi karyawan yang normal. Sebab, itu tadi, mereka semua sangat rajin di tengah keterbatasannya.

Tambah produksi

Dea sendiri tidak pernah belajar soal pemberdayaan para penyandang disabilitas. “Saya insting dan kebanyakan referensi dari YouTube. Dari situ, saya lihat mereka enggak mau dianggap beda. Jadi saya anggap mereka sama saja dengan yang normal,” ujarnya.

Langkah Dea mempekerjakan penyandang cacat juga mendapat dukungan dari sang ibu yang juga punya jiwa yang sama. “Jiwa yang bukan sekadar mempekerjakan juga memanusiakan,” ucap dia.

Terlebih, sepengetahuan Dea, ada aturan pemerintah yang menyebutkan, pelaku usaha harus mempekerjakan 1% dari total karyawan untuk mereka yang difabel. Ia menempatkan karyawan penyandang disabilitas satu kluster dengan yang normal.

Memang, di awal ada perundungan dari pekerja yang normal ke karyawan difabel. “Kebetulan saya punya karyawan yang ada hati. Saya titipkan yang difabel ke mereka biar memproteksi,” kata Dea.

Setelah selama empat tahun berjualan lewat kanal media sosial, Dea membuka galeri di Semarang. Lokasinya jadi satu dengan bengkel kerjanya.

Sayang, Dea menolak menyebutkan omzet usahanya. Begitu juga dengan jumlah penjualan baju batiknya.

Yang jelas, harga produknya mulai Rp 300.000 hingga Rp 2 juta per potong. Kebanyakan berada di rentang Rp 600.000–Rp 700.000 per potong. Salah satu pelanggannya asal Jakarta ada yang memiliki 200 koleksi Batik Kultur.

Dan, yang namanya usaha tidak lepas dari riak. Termasuk pelanggan yang komplain. Tentu, tidak semua konsumen merasa puas dari puluhan ribu bahkan ratusan ribu pembeli produk Batik Kultur.

Tapi, Dea menegaskan, pihaknya tetap menghadapi semua keluhan dengan layanan yang ramah. Pelanggan Batik Kultur kebanyakan di atas usia 30 tahun. “Customer service kami ada tujuh orang,” sebut Dea.

Ke depan, Dea berencana menambah tempat produksi seiring permintaan yang meningkat. Apalagi, pesanan juga dari dari negara lain, seperti Norwegia, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, Singapura, Hong Kong.

Meski penjualan via media sosial sangat bagus, dia ingin menambah satu lagi kanal online yakni website. Situs ini sedang dalam persiapan.

Selain itu, Dea ingin menggarap pasar baju batik pria. Terlebih, banyak lelaki yang memakai baju batik untuk pakaian kerja.

Sebetulnya, saat ini Batik Kultur memiliki produk kaum Adam. Namun, itu khusus pasangan, satu paket berikut baju perempuan.

Untuk inovasi, saban bulan Dea meluncurkan produk dan motif baru. “Inovasi lain, tahun ini adalah bikin website dan kain batik tulis untuk kemeja cowok. Saya jual kainnya tapi kalau mau dijahit jadi kemeja bisa juga,” katanya.

Ia tak mempekerjakan, tapi juga memanusiakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×