kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tas gandek menembus pasar Jepang dan Eropa


Rabu, 09 Februari 2011 / 10:34 WIB
Tas gandek menembus pasar Jepang dan Eropa
ILUSTRASI. Warren Buffett


Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi

Nama tas gandek asal Lombok memang belum terlalu kesohor. Tapi, siapa sangka, kerajinan yang terbuat dari anyaman tanaman ketak ini sudah melanglang buana hingga ke Jepang dan Eropa. Harga tas gandek memang mahal, tapi sepadan dengan kualitas dan keunikannya. Perajin dapat meraup omzet Rp 70 juta sebulan.

Bagi masyarakat Lombok yang sebagian besar hidup dari bercocok tanam dan melaut, tas gandek terbilang istimewa, layaknya tas kerja yang selalu di bawa ke mana-mana. Tas gandek berfungsi sebagai tempat untuk membawa hasil kebun atau tangkapan laut.

Namun sekarang, tas gandek telah bertransformasi menjadi tas yang bergaya dan berkelas. Pemakainya pun tidak hanya masyarakat Lombok saja, tapi juga warga asing. Maklum, produk kerajinan ini sudah menembus pasar ekspor.

Tas gandek terbuat dari tanaman ketak. Hampir sebagian tanah di Lombok ditumbuhi tanaman yang mirip ilalang ini. Tapi, kekuatan ketak ini sangat mumpuni. Makin tua umur tanaman ini, makin awet dan kuat tas gandek.

Haryono Zulkarnaen, pemilik Haryono Lombok Handycraft, menuturkan, tas gandek buatannya selalu menggunakan bahan baku tanaman ketak yang berusia tua. "Ini supaya komponen pada tanaman ketak dapat dimanfaatkan, mulai dari batangnya hingga akarnya," ungkap Haryono.

Prosesnya, batang tanaman ketak akan dipecah-pecah hingga 10 bagian yang diolah menjadi tali, kemudian dianyam menjadi tas gandek. Agar hasil anyamannya lebih awet dan kuat, para perajin biasanya memilih batang ketak yang tebal.

Menurut Haryono, proses pembuatan tas gandek terbilang rumit sehingga memakan waktu yang cukup lama. Bagian paling rumit adalah, saat penganyaman dan pembuatan motifnya. "Perajin harus teliti saat pengayaman dan harus pintar melihat kerapatan anyamannya," kata Haryono.

Kerapatan anyaman menjadi tolak ukur kualitas tas gendek. "Jika anyaman yang mereka buat tidak rapat, sudah pasti tas tak akan laku karena tas gendek terkenal dengan anyamannya yang rapat," ujarnya.

Sebelum proses pengayaman, perajin wajib membuat rangka tas. Selain membantu menentukan ukuran tas, rangka membantu mereka menonjolkan motif.

Setelah pengayaman, tahap selanjutnya pencetakan, untuk menentukan model tas. Baru kemudian proses pewarnaan. Tas gendek umumnya berwarna coklat, sama dengan kelir batang tanaman ketak.

Semua rangkaian tersebut ditutup dengan proses pengeringan yang bergantung pada cuaca. Memasuki musim hujan seperti saat ini, jelas sangat mengganggu tahap pengeringan. "Terkadang, saya harus memasukkan ke dalam oven agar cepat kering, tapi tentu hasilnya berbeda jika dijemur langsung di bawah matahari," imbuh Haryono.

Seluruh proses pembuatan tas gandek memakan waktu paling lama selama satu minggu. Hasilnya, tas gandek sudah pasti kuat, dan tahan air. Warnanya yang coklat pekat membuat tas menjadi antik dan klasik.

Haryono menjual tas gandek buatannya Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per unit. Dalam sebulan, ia mampu mengantongi omzet sampai Rp 30 juta.

Hanya saja, seiring kian banyaknya perajin tas gandek, tanaman ketak kian sulit ditemukan. Padahal dulu, tanaman ini banyak tumbuh di pekarangan rumah warga. Soalnya, "Para perajin hanya mengambil tapi tidak membudidayakannya. Inilah yang menyebabkan pohon ketak kian langka," ujar Awidi, pemilik Nusa Indah Galery di Lombok.

Untungnya, sejak lima tahun lalu, Awidi memiliki kebun ketak. Jadi, kalau sedang banyak pesanan, ia tidak perlu susah payah mencari tanaman ini.

Setiap bulan, Awidi harus memenuhi permintaan dari Jepang. Tas gendek bikinannya dibanderol seharga Rp 170.000 hingga Rp 250.000 per unit. Ia sanggup mendulang omzet hingga Rp 70 juta per bulan.

Tapi, Awidi berencana mengerek harga jual tas gandek buatannya dalam waktu dekat. Alasannya, stok bahan baku tanaman ketak makin menipis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×