kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Temenggungan, pusat batik sejak penjajahan (3)


Selasa, 28 November 2017 / 11:30 WIB
Temenggungan, pusat batik sejak penjajahan (3)


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Selain sabar dan telaten, membatik juga butuh ketrampilan dalam menggambar aneka motif. Pembatik pun harus terus berlatih supaya tangan bisa luwes menggambar pola motif dalam secarik kain.    

 
Namun, lantaran ketrampilan inilah, banyak anak muda di Kampung Temenggungan, enggan menjadi pembatik. Selain rumit, mereka menganggap bayarannya kurang menarik. 
 
Kondisi ini banyak dikeluhkan oleh perajin. Fonny Meilyasari, pemilik galeri Sayu Wiwid pun mengalami kesulitan mengajak anak muda bergabung dengannya. Padahal, dia sudah menyediakan ruang belajar secara cuma-cuma untuk mereka.
 
Kendala lainnya yang kerap dia temui adalah tak stabilnya harga bahan baku. Perempuan yang lebih akrab disapa Onny ini mengaku meski tak pernah terjadi kekosongan barang, namun adakalanya harga melonjak naik tanpa ada penyebab pasti.  
 
Onny pun terpaksa memangkas margin, lantaran biaya produksi meningkat. Dia memang tak mau mengerek harga jual supaya konsumen tak kecewa.  
 
Untuk mendukung penjualan tetap tinggi, dia mulai menggunakan media sosial untuk mempromosikan produknya. Selain itu, Onny juga rajin mengikuti pameran agar lebih dekat dengan konsumen. 
 
Meski makin banyak bermunculan penjual batik, dia tidak khawatir. "Memang ada yang harga jualnya lebih murah, tapi tidak membuat sampai perang harga," tegasnya. 
 
Supaya pelanggan tetap bertahan, Onny rajin meluncurkan desain baru. Selain membuat batik dengan motif pakem Banyuwangi, Onny juga memproduksi batik kontemporer. 
 
Idenya pun banyak terinpirasi dari batik-batik asal daerah lainnya seperti Solo, Yogyakarta dan lainnya. Selain itu, dia selalu mengikuti tren fesyen melalui media digital. 
 
Kulsum, perajin batik lainnya, justru tak menemui kendala dalam tahap produksi. Karena, pekerjaan ini sudah dilakukannya sejak puluhan tahun lalu. 
 
Hanya, dia mengeluhkan para generasi muda yang tidak mau membatik. "Daripada menganggur di rumah, kan lebih baik membatik. Tapi, mereka bilang menbatik itu capek dan sulit," tuturnya.  
 
Kulsum pun tak terlalu risai dengan persaingan yang terjadi dipasaran saat ini. Dia mengaku hanya memberikan harga murah kepada supplier agar seluruh hasil karyanya cepat terserap pasar. 
 
Lainnya, seluruh pembatik disana masih menggunakan pewarnaan sistetis untuk membuat kainnya tampak menarik. Agar tidak mencemari lingkungan, Onny mengaku telah membuat tangki pembuangan khusus untuk menampung limbah air pewarnaan. 
Di penampungan itu, dia melakukan pemrosesan sehingga air yang dikeluarkan dari tangki ke parit-parit sudah dalam kondisi aman dan berwarna bening.
 
(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×