kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,51   -5,84   -0.63%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terapis wicara: Aspek sosial lebih penting ketimbang komersial


Jumat, 23 September 2011 / 15:30 WIB
Terapis wicara: Aspek sosial lebih penting ketimbang komersial
ILUSTRASI. Harga sepeda lipat Element Ecosmo Z9 451 lime green ramah di kantong.


Reporter: Azis Husaini, Amal Ihsan Hadian, Herry Prasetyo, SS. Kurniawan | Editor: Tri Adi

Masih sedikit orang Indonesia yang menjadi terapis wicara. Padahal, anak-anak dan orang dewasa yang membutuhkan tenaga mereka sangat banyak. Dan, tarif terapi wicara juga lumayan tinggi, bisa mencapai Rp 400.000 per jam, lo.

Sudah 20 bulan usianya, tapi Farel belum juga bisa ngomong. Padahal, sepupunya yang baru berumur 14 bulan sudah bisa menyebut kata mama dan papa.

Lina, sang bunda Farel, tentu saja khawatir melihat perkembangan jagoan kecilnya yang memiliki berat badan 13 kilogram dan aktif sekali itu. “Saya harus konsultasi ke dokter spesialis apa, ya? Karena, kami sekeluarga cemas sekali,” begitu tanya Lina di sebuah milis.

Ya, Lina memang pantas ketar-ketir. Alfiyah Latifah, seorang terapis wicara di Sidoarjo, Jawa Timur, bilang, anak seperti Farel memang perlu perhatian khusus. Kalau dibiarkan, hingga usianya menginjak tiga tahun, anak itu butuh penanganan khusus, yakni terapi wicara.

Karena itu, “Sebaiknya sejak lahir sang ibu memperhatikan anaknya. Ini pencegahan terbaik,” saran Alfiyah yang menyabet gelar terapis wicara (TW) dari Politeknik Al-Islam, Bandung, Jawa Barat.

Ilmu terapi wicara adalah ilmu yang mempelajari perilaku komunikasi yang normal dan abnormal. Ilmu ini digunakan untuk memberikan terapi atau proses penyembuhan penderita gangguan perilaku komunikasi yang meliputi kemampuan bahasa, bicara, suara, dan irama kelancaran. Lewat terapi, penderita gangguan perilaku komunikasi bisa kembali berinteraksi dengan lingkungan secara wajar, tidak mengalami gangguan psiko-sosial, serta mampu meningkatkan kualitas hidup secara optimal.

Gangguan bicara bisa terjadi pada anak-anak yang memiliki gangguan seperti autisma, down syndrome, dysphasia, dysprxia, mental retardasi, cerebral palsy, dan gangguan tumbuh kembang lainnya. Gangguan lain adalah keterlambatan berbicara, kelainan artikulasi atau cadel, gagap, dan paska operasi bibir sumbing.

Namun, gangguan bicara bukan hanya terjadi pada anak-anak, melainkan juga pada orang dewasa. Misalnya, pascaserangan stroke, mengalami gangguan menelan, pos-laringektomi, dimensia, serta afasia.

Melihat penyebab gangguan bicara yang cukup banyak, ditambah hasil penelitian di Amerika Serikat yang menunjukkan 1 dari 150 anak yang lahir menderita autis, profesi terapis wicara atawa speech therapist sangat dibutuhkan.

Namun, Kadek Pandreadi, Ketua Umum Ikatan Terapis Wicara Indonesia (Ikatwi), mengungkapkan, saat ini, baru ada sekitar 550 terapis wicara di Indonesia yang bergelar TW. “Kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi tenaga terapis wicara adalah minimal pendidikan diploma tiga (D3) terapi wicara," kata Kadek.


Tarifnya bervariasi

Di negara kita, baru ada tiga sekolah terapi wicara, yakni Akademi Terapi Wicara Yayasan Bina Wicara (YBW) di Jakarta, Politeknik Kesehatan Surakarta di Solo, dan Politeknik Al Islam di Bandung.

Padahal, profesi ini cukup menjanjikan. Sebab, Kadek mengatakan, orang Indonesia yang mengalami gangguan bicara lumayan banyak, meski belum ada penelitian berapa jumlah pastinya. “Di kota besar seperti Jakarta, tarif jasa terapi wicara mulai Rp 100.000 per jam dan rata-rata terapis menangani 8 pasien sehari,” ujarnya. Bahkan, tarif terapis wicara yang praktik di rumah sakit swasta ternama bisa Rp 400.000 sejam.

Alhasil, Alfiyah Latifah pun banting setir dari profesi psikolog menjadi terapis wicara. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ini kemudian mengambil D3 Terapi Wicara di Politeknik Al-Islam.

Alfiyah tidak langsung membuka praktik terapi wicara. Soalnya, butuh jam terbang tinggi. Makanya, ia membuka sekolah khusus anak-anak autis lebih dahulu di Yogyakarta, dengan menggabungkan ilmu psikologi dan terapi wicara.

Nah, setelah merasa jam terbangnya cukup tinggi, akhirnya Alfiyah membuka praktik di rumahnya di Sidoarjo. Prosesnya, dia hanya mengajukan izin praktik ke Dinas Kesehatan setempat dan Ikatwi. “Harus menunjukkan ijazah D3 TW waktu mengajukan izin membuka praktik,” urainya.

Menurut Alfiyah, pasiennya tidak hanya datang dari Sidoarjo dan sekitarnya saja, tapi juga asal Kalimantan dan Papua. Ia hanya memasang tarif Rp 75.000 per jam. Saban bulan, ia menangani sekitar 50 pasien.

Tetapi, jumlah itu yang Alfiyah tangani di rumahnya dan belum termasuk di rumah sakit. Pasalnya, ia juga membuka praktik di rumah sakit Islam Siti Hajar, Sidoarjo. Selain itu, dia juga mengajar di sebuah sekolah luar biasa di Mojokerto. “Profesi terapis wicara makin dibutuhkan,” imbuhnya.

Dewi Mulyati, terapis wicara sekaligus Kepala Klinik Bina Wicara Sasana Mandira di Jakarta, menjelaskan, pasiennya kebanyakan dari luar Ibukota, seperti Tangerang, Depok, serta Purwakarta. “Di daerah-daerah itu, tenaga terapi wicara jarang sekali, makanya kami sering mengirim tenaga terapi wicara ke sana,” kata lulusan Akademi Terapi Wicara YBW itu.

Hanya saja, profesi terapis wicara lebih banyak mengedepankan sisi sosial ketimbang komersial. Karena itu, “Biayanya hanya Rp 50.000 per jam, setiap bulan saya menangani 150 orang,” tuturnya yang sudah 15 tahun melakoni pekerjaan sebagai terapis wicara.

Tak hanya praktik di klinik, Dewi juga membuka praktik di rumahnya dengan nama Bina Harapan Mulia. Dia berharap bisa membantu anak-anak yang mengalami gangguan bicara di sekitar tempat tinggalnya. Namun, dia tak mematok tarif yang tinggi, cuma Rp 35.000 per jam saja. “Saya juga suka dipanggil ke rumah, jadi seperti privat gitu,” katanya.

Dewi menuturkan, ilmu terapi wicara sungguh unik. Ada unsur kedokteran, psikologi, dan kemanusian. Sebab itu, Dewi sangat mencintai profesi terapis wicara.

Richa Rochmah, terapis wicara yang bekerja di Klinik Terapis Kuspito, Karanganyar, Jawa Tengah juga praktik di sebuah rumahsakit di Solo. “Butuh jam terbang untuk menjadi seorang terapis wicara yang baik,” katanya yang baru setahun menjadi terapis.

Meski begitu, cukup banyak orang tua yang mempercayakan terapi wicara anaknya kepada Richa secara privat atau datang ke rumah. Setiap bulan, ada sekitar 20 pasien yang ia tangani. Tarifnya? Dia tidak mau mengungkap angkanya.

Tapi, tarif terapi wicara di Klinik Terapis Kuspito murah meriah, hanya Rp 30.000 per jam. “Karena kami menyasar masyarakat kelas menengah bawah,” ujar Richa yang merupakan lulusan pertama Politeknik Kesehatan Surakarta Kementerian Kesehatan.

Toh, walau tarifnya murah, masih sedikit pasien yang datang. Pasalnya, menurut Richa, masih banyak orang tua yang belum sadar bahwa gangguan bicara berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Itu sebabnya, dia dan kawan-kawannya kerap bekerja sama dengan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan pendidikan anak usia dini (PAUD) di sekitar Klinik Kuspito.

Selain itu, profesi terapis wicara memang belum terlalu dikenal di masyarakat. Masih banyak yang menyangka terapis wicara hanya untuk mereka yang autis. Padahal, antara penderita autis dan penderita gangguan bicara sangat berbeda.

Alfiyah menjelaskan, biasanya, penderita gangguan komunikasi memerlukan terapi wicara selama 30 menit sampai 60 menit per hari atau minimal dua kali seminggu. “Tergantung tingkat gangguan yang diderita sang anak,” jelasnya.

Namun, sayang, Alfiyah melanjutkan, masyarakat masih belum mengerti esensi terapi wicara. Masih banyak yang mengira terapi wicara hanya butuh waktu satu atau dua bulan saja. Padahal, terapi wicara memerlukan tempo panjang. Lantaran, “Banyak orang tua yang baru tahu anaknya menderita gangguan setelah umur tiga tahun. Itu telat,” kata dia.

Ditambah, banyak orang tua yang terlalu menaruh harapan besar kepada seorang terapis wicara. Padahal, peran terapis wicara hanya 65% dan sisanya bergantung kepada lingkungan keluarga yang mendukung. Untuk itu, “Sebaiknya orang tua juga melakukan apa yang dianjurkan seorang terapis untuk membantu kesembuhan anak,” tambah Alfiyah.


Banyak terapis asing

Tapi, Dewi berpesan agar masyarakat lebih selektif dalam mencari tempat terapi wicara bagi anaknya. Sebab, kini banyak orang yang mengaku sebagai terapis wicara, padahal bekal mereka hanya dari seminar atau belajar otodidak.

Bahkan, Dewi membeberkan, banyak juga sekolah autis dan sekolah luar biasa yang mengklaim memiliki terapis wicara. Ternyata, mereka hanya mengenal terapi wicara dari luarnya saja dan bukan seorang terapis wicara yang mengantongi ijazah profesi terapis.

Belakangan, Dewi bercerita, makin banyak terapis wicara asing yang sering mengadakan terapi sekaligus seminar soal gangguan komunikasi bagi anak di Indonesia. Nah, agar terapis wicara lokal bisa bersaing, mereka harus menimba ilmu lebih dalam lagi. Apalagi, perkembangan tumbuh kembang anak makin rumit. “Pemerintah juga harus turun tangan membantu, kami juga perlu belajar ke luar negeri untuk menambah kemampuan,” harap Dewi.

Alfiyah sangat setuju, terapis wicara lokal harus banyak belajar dari terapis wicara asing asal negara-negara maju. Soalnya, ilmu terapi wicara sudah lama berkembang di sana. Caranya cukup dengan mengikuti seminar-seminar yang terapis asing adakan. “Itu penting untuk menambah pengetahuan terapis kita,” katanya.

Catatan saja, profesi terapis wicara pertama kali diperkenalkan di Indonesia tahun 1971 silam dengan diselenggarakannya Kursus Speech Corection A dan B, masing-masing selama enam bulan. Pada 1973, kursus ini naik kelas menjadi program pendidikan tiga tahun (D3). Nama institusi pendidikan terapi wicara ini adalah Lembaga Pendidikan Bina Wicara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×