kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terkendala bahan baku benang sutera (3)


Kamis, 24 Juli 2014 / 15:52 WIB
Terkendala bahan baku benang sutera (3)
ILUSTRASI. Harga emas Antam naik Rp 3.000 menjadi Rp 1.022.000 per gram


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Rizki Caturini

Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan sudah terkenal sebagai daerah penghasil kain sutera di Indonesia. Produk kain sutera dari daerah ini sudah dipasarkan ke mancanegara.

Kendati sukses, bukan berarti bisnis kain sutera di Sengkang tidak pernah menemui hambatan. Kendala bahan baku kerap menjadi momok bagi para perajin tenun di kota ini. Pasalnya, mayoritas bahan baku benang sutera diimpor dari Thailand dan China.

Pasokan benang sutera dari para petani murbei tidak mampu mencukupi kebutuhan para perajin. Haji Baji (47), salah satu pengusaha tenun kain sutera manual, mengatakan, jumlah petani murbei penghasil benang sutera di Wajo berkurang.

Mereka memilih pindah ke usaha lain karena penangkaran ulat sutera sudah dianggap tidak menjanjikan. Saat ini, satu boks ulat sutera hanya memproduksi rata-rata 1,5 kilogram (kg) benang. "Tidak seperti dulu, satu boks ulat bisa menghasilkan 6 kg benang," kata Baji.

Baji mengatakan, produktivitas ulat penghasil benang sutera menyusut karena faktor cuaca dan iklim di Wajo yang sudah kurang mendukung. Menurut Baji, ulat sutera dikembangkan oleh Perhutani di bawah pengawasan Dinas Kehutanan sejak era Presiden Soeharto. "Sampai sekarang ulat-ulat itu tidak pernah dikembangkan lagi, padahal iklim sudah semakin berubah," terangnya.

Hal ini, kata Baji, membuat para petani murbei tidak lagi bergairah membudidayakan murbei. Saat ini, jumlah petani murbei sudah berkurang 90% sejak era Soeharto. Padahal, jumlah perajin tenun kain sutera terus bertambah.

Kondisi itu memaksa perajin tenun beralih ke pasokan benang sutera impor. Padahal, harga benang impor jauh lebih mahal dari benang lokal. Benang impor dibeli dengan harga Rp 850.000 per kg. Sedangkan benang lokal hanya sekitar Rp 450.000.  

Kendati benang impor mahal, tapi kualitasnya jauh lebih baik dari benang lokal. Ini lantaran proses pembuatan benang sutera lokal masih manual. Baji sendiri menggunakan 80% benang impor untuk keperluan produksinya. "Benang lokal hanya 20%," ujarnya.  

Menurut Baji, industri tenun sutera di Sulawesi Selatan banyak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun sayang, pemerintah tidak memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan industri ini. "Pemerintah setengah hati lantaran kalau industri ini terguncang, tidak akan mengguncang perekonomian nasional," kata dia.

Menurutnya, pemerintah harus mendukung industri tenun sutera terutama dalam memenuhi bahan baku.       n

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×