kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terpelet rezeki bisnis pellet organik


Jumat, 02 Desember 2016 / 16:45 WIB
Terpelet rezeki bisnis pellet organik


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

DEPOK. Deru mesin diesel meraung-raung saling bersahutan dari sebuah pabrik di Jalan Persahabatan Ujung, Kampung Cikupa, Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Sejumlah pekerja tampak melakukan aktivitas memilah, memecah, dan mengaduk sampah yang jadi bahan baku produksi pakan ikan alias pellet.

Di sudut lain, dua pekerja tengah mengemas material hasil olahan ke dalam karung. Begitulah sekilas rutinitas di tempat produksi pakan dan pengolahan limbah milik Bina Tenaga Inti Rakyat (BITIR), yang dikelola oleh Rudi Murodi. “Beginilah tempat kami, maaf bau sampah ya?” tuturnya membuka obrolan dengan KONTAN yang menyambangi lokasi pabrik BITIR Selasa (22/11) lalu.

Di lahan seluas kurang lebih 1.000 meter persegi mencakup bangunan utama yang difungsikan sebagai tempat produksi. Bagian ini menyatu dengan sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal para pekerja BITIR. Di sebelah utara rumah, ada bangunan terpisah untuk proses fermentasi bahan baku. Lebih ke bawah lagi, berderet kolam-kolam ikan.

Rudi menampik jika tempat ia memproduksi pakan ternak ini disebut dengan pabrik. Meskipun di lokasi ini terdapat delapan unit mesin produksi pellet berbagai tipe dengan fungsi yang berbeda-beda. Tapi memang untuk di sebut dengan ukuran pabrik, tempat ini tergolong pabrik sederhana. Di tangan Rudi, sampah makanan baik dari rumahtangga, pasar, warung makan, restoran, dan minimarket, dia olah menjadi pakan ternak. Dengan mempekerjakan 10 karyawan, Rudi bisa mengolah tiga ton sampah organik per hari. Hampir separuh dari limbah ini disulap menjadi pakan ikan.

Dari pellet saja, omzet dalam sebulan bisa mencapai Rp 150 juta-Rp 250 juta. Selain produksi pakan ternak, Rudi juga mengolah sampah cair, kompos, dan budidaya iklan. Namun  pendapatan dari ketiga usaha itu tidak begitu besar. Harga pellet racikan Rudi sangat terjangkau, hanya Rp 5.000 per kg. Bandingkan dengan pellet pabrikan yang di pasaran yang berkisaran Rp 9.000–Rp 18.000 per kg.

Adapun wilayah pemasaran tidak hanya di Depok dan Bogor, tapi juga digunakan para peternak di Kuningan, Indramayu, dan Waduk Cirata. Bahkan pada awal produksi penjualan pellet sampai ke Sumatra dan Kalimantan. Kini permintaan dari luar Jawa sudah dihentikan akibat banyak yang menunggak.

Rudi merintis usaha pembuatan pakan ternak sejak 2011 silam. Saat itu ia memutuskan berhenti sebagai pimpinan proyek di perusahaan pengembang properti yang dia lakoni selama 15 tahun. Semangat dan tekad kuat ingin memiliki usaha mandiri mendorong Rudi menjadi seorang pengusaha. Sejatinya BITIR merupakan kelompok tani yang fokus pada usaha budidaya ikan. Selaku ketua kelompok tani yang banyak menaungi peternak ikan, Rudi merasakan betul sulit mendapatkan pakan ikan dengan harga murah. Padahal dalam budidaya, pakan sangat menentukan kualitas dan produksi.

Di sisi lain, ia mendapati volume sampah di wilayah Depok terus meningkat seiring bertambahnya penduduk. Rudi pun putar otak. Ia belajar membuat pakan secara autodidak. Tujuan ayah tiga anak ini membuat pakan ternak alternatif agar bisa membantu para peternak yang kesulitan memperoleh pakan.
Ujicoba
Bukan perkara mudah memulai sebuah ide yang dianggap orang lain tidak wajar. “Awalnya banyak yang mencibir. Gila, bikin pakan ikan dari sampah, apa bisa?” kenang Rudi. Selama enam bulan melakukan ujicoba, pakan racikan Rudi dari campuran sisa kepala ikan, ampas tahu dan kelapa plus sisa makanan lainnya, tak membuahkan hasil.

Ketika pakan ditabur ke kolam budidaya, semua ikan mati. Hal sama dilakukan pada ayam, mati juga akibat lambung ayam kembung setelah memakan pakan. Setelah banyak membaca buku-buku, Rudi berkesimpulan bahan baku dari sisa makanan tidak bisa langsung diproses. Tapi harus melewati fermentasi untuk menghilangkan bakteri jahat dan menetralkan zat amonia dalam sisa makanan.

Lalu Rudi menggunakan probiotik buatan pabrik yang banyak dijual bebas di toko-toko. Uji cobanya membuahkan hasil. Ikan maupun ayam tidak mati.
Cuma ada persoalan baru saat harus memproduksi pellet ini dalam jumlah besar. Pemakaian probiotik pabrik tidak efisien lantaran harganya mahal. Tak ayal, ongkos produksi membengkak. Sedangkan tujuan awal adalah membuat pakan ikan yang murah meriah.

Rudi pun kembali memutar otak mencari solusinya. Buah tekun membuka banyak buku-buku, Rudi menemukan cara pembuatan probiotik dengan metode mikroorganisme lokal (MOL). Singkat cerita, MOL ini dibuat dengan memanfaatkan sampah segala jenis buah-buahan, kecap, minuman sari buah, susu, dan yougurt yang sudah kedaluwarsa. Semua bahan ini dia campur dan ditampung dalam wadah khusus kemudian difermentasi selama 21 hari agar menjadi probiotik cair. “Sampai sekarang formula ini saya gunakan dan tak pernah kehabisan karena bahan baku banyak tersedia,” terang Rudi.

Pellet buatan Rudi tanpa tambahan vitamin dan konsentrat sebagai perangsang pertumbuhan. Maklum, semua bahan bakunya organik. Meski  dari bahan baku limbah makanan, Rudi mengklaim aman. Sebab sudah diteliti oleh ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalam pellet terdapat kandungan protein sekitar 30%. Selain itu, tidak ditemukan unsur merkuri, boraks, formalin atau zat berbahaya lainnya bagi kesehatan.

Kini, di sela-sela kesibukannya memproduksi pakan ternak, Rudi kerap menjadi pembicara dalam seminar atau pelatihan tentang budidaya ikan, pembuatan pakan ikan, dan kewirausahaan. Bahkan banyak menerima kunjungan kelompok tani di berbagai daerah, dan mahasiswa magang pembuatan pellet dari limbah makanan.
Tak cukup dengan pellet Rudi kini bersiap mengolah singkong menjadi tapioka karena prospek bisnisnya menjanjikan. “Rencana kami buka pabrik tapioka. Mudah-mudahan realisasi tahun depan,” harapnya.   

Kebahagiaan

Menekuni pembuatan pakan ternak dari limbah makanan merupakan pilihan Rudi agar kehadirannya membawa manfaat masyarakat sekitar. Memang, usaha ini tidak semata-mata bisnis murni, tapi ada misi pemberdayaan masyarakat sekaligus menjadi solusi dalam penanganan masalah sampah. Lulusan STM yang tidak tamat kuliah ini menceritakan, membuat pakan ternak dari limbah makanan belum banyak yang melakukannya. Di Depok pun hanya Kelompok Tani Bina Tenaga Inti Rakyat (BITIR), satu-satunya yang melakukan pengolahan limbah makanan.  

Sebetulnya untuk memproduksi palet seperti pabrik pada umumnya terbilang gampang. Tinggal membeli bahan baku, mencampur sesuai komposisi kemudian mencetak dengan mesin giling dan menjualnya ke pasaran. “Saya tidak mencari kekayaan dari mengolah limbah tapi kebahagiaan,” akun Rudi.

Menurut motivator kewirausahaan ini, apabila ingin menjadikan usaha tersebut untuk mendatangkan keuntungan bisnis yang sebesar-besarnya juga bukan perkara sulit bagi Rudi. Tapi itu berarti sudah keluar dari visi dan misi awal pembentukan BITIR. Rudi berharap, kiprahnya bisa membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah sampah, menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan, dan meningkatkan ekonomi kerakyatan.

Sebab itu, Rudi memutuskan jadi social entrepreneur agar bisa berbuat sesuatu yang lebih besar lagi. “Kalau masih karyawan, mungkin saya tidak bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain,” katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×