Reporter: Petrus Dabu | Editor: Yudho Winarto
ANGKA 27 menjadi angka keberuntungan bagi Adji Watono. Pemilik kerajaan bisnis periklanan, Dwi Sapta Grup ini mengaku hoki dengan nomer rumahnya di Rawamangun yang saat itu disulapnya menjadi studio foto. Berawal dari studio foto, Adji berhasil mengembangkan bisnisnya sebesar seperti saat ini. Simak kisah Adji membangun bisnis.
Adji Watono mungkin tidak menyangka bisnis studio foto yang dibangunnya 36 tahun lalu itu akan menjadi kerajaan bisnis periklanan yang besar seperti saat ini. Beralamat di Jalan Ekor Kuning III No 27 Rawamangun, Jakarta Timur, studio foto itu adalah rumah yang ia beli bersama sang istri, Yoyok Triana Dewi.
Bermodalkan Rp 10 juta, mereka menamai studio foto itu, Studio 27. Namanya sesuai nomor alamat rumah. Itu angka hoki yang membawa keberuntungan, kata Adji kepada KONTAN, Senin (6/1). Pilihan membuka studio foto bukan tanpa alasan. Adji memang memiliki keahlian fotografi. Dia bercerita, pengetahuan dan keterampilan memotret diperolehnya di Jerman.
Pria kelahiran Kudus, 17 Mei 1950 ini hijrah ke negara Eropa Barat itu tahun 1973 setelah kuliah setahun di Universitas Satya Wacana Salatiga. Saat di Jerman keahlian dan kemampuannya bertahan hidup terasah. Sebab di dua tahun pertama di Jerman adalah tahun-tahun yang sulit bagi Adji.
Bekal uang yang diberikan orang tuanya hanya cukup untuk bertahan hidup empat bulan. Maklum orang tuanya bukanlah orang kaya raya. Ayahnya hanya pedagang kebutuhan pokok, seperti beras dan minyak, di Kudus.
Adji pun putar otak mencari pekerjaan agar bisa bertahan hidup. Berbagai pekerjaan kasar dilakoni mulai pembersih salju jalanan hingga kuli angkut barang, serta berbagai pekerjaan kasar lain.
Setelah memiliki sedikit uang dari menabung, pada tahun 1975 Adji mencoba masuk perguruan tinggi di Jerman. Dua kali tes masuk perguruan tinggi yang diikuti, semuanya gagal. Adji akhirnya memutuskan mengambil sekolah fotografi yang saat itu tidak memerlukan ujian masuk.
Selama dua semester, ia belajar fotografi di Adolf Lazy School di Stuttgart, Jerman. Dia juga memperdalam keahlian di bidang teknologi fotografi di Technical Photography di Berlin selama enam semester. Lalu dia menjalani internship fotografi di Wegert Photo Laboratory selama setahun.
Setelah tujuh tahun hidup di Jerman, pada tahun 1980 Adji memutuskan kembali ke tanah air. Pengalaman hidup selama di Jerman tidak hanya mengajarkan Adji bagaimana cara bertahan hidup, namun juga bagaimana menjalin relasi dengan berbagai pihak. Karena itu sekembali ke Indonesia, ia menggunakan keahliannya di bidang fotografi dengan menjadi seorang juru foto.
Keahlian inilah yang kemudian mendasari Adji membangun Studio 27. Sesuai keyakinannya, Studio 27 memang hoki dan menjadi pintu masuk pertama kesuksesan bisnisnya. Dimulai dengan modal pas-pasan, usaha fotonya berkembang pesat terutama setelah Djarum menjadi kliennya pada tahun 1982.
Adji benar-benar memanfaatkan peluang ini dengan baik. Service terbaik ia berikan untuk sang klien. Tak hanya menjadi juru foto untuk perusahaan milik keluarga Hartono itu, Adji juga membuatkan company profile, brosur, dan poster. Kepercayaan pun ia peroleh dari perusahaan rokok tersebut. Prinsip Adji, kesuksesan kliennya adalah juga kesuksesan dirinya.
Permintaan pembuatan brosur, spanduk dan poster terus bertambah seiring tingginya kebutuhan promosi Djarum. Adji jeli melihat peluang, ia pun melebarkan sayap usahanya dari hanya studio menjadi usaha screen printing atau penyablonan. Tahun 1985, Adji dan istrinya mendirikan PT Intan Gading Kencana Persada (In Ad) yang bergerak di bidang screen printing.
Setelah sekitar sembilan tahun menjalankan bisnis fotografi dan produksi sablon, pada tahun 1989 Adji dan istri berekspansi dengan mendirikan PT Dwi Sapta Pratama, sebuah full service advertising agency.
Nama Dwi Sapta juga diambil dari angka 27, angka hoki yang merupakan nomor alamat rumah tempat usaha pertamanya di Rawamangun. Dwi dalam Sanskerta berarti dua, sedangkan Sapta berarti tujuh, sehingga Dwi Sapta berarti 27.
Hoki didapat, Dwi Sapta Advertising mendapatkan klien bagus. Selain Djarum yang sudah sejak 1982 menjadi kliennya, ia juga berhasil mendapatkan Astra dan Kalbe Farma. Sejak tahun 1989 kantor Dwi Sapta mulai pindah ke kawasan Kepala Gading.
Ekspansi bisnis periklanan dilakukan untuk menangkap peluang munculnya stasiun televisi swasta pertama yaitu RCTI. Selain itu teknologi komputer juga sudah mulai masuk ke Indonesia. Setahun kemudian muncul SCTV dan Indosiar. Kemunculan stasiun-stasiun televisi tak hanya membuka peluang bisnis periklanan namun juga bisnis lain seperti film. Karena itu pada 1995, Adji mendirikan perusahaan production house bernama Netracom Film Production.
Selamat dari krisis
Di saat bisnisnya mulai mekar, krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998. Adji menghadapi ujian berat. Krisis membuat perusahaan mengurangi belanja iklan. Akibatnya omzet Dwi Sapta anjlok 50%. Namun Adji melihat perusahaannya masih beruntung. Sebab ada perusahaan iklan lain yang omzetnya turun hingga 70-90% bahkan diambang kebangkrutan.
Dwi Sapta bisa bertahan karena kliennya seperti Djarum, Kalbe Farma, dan Astra adalah perusahaan kuat. Perusahaan itu memang terpapar krisis, tetapi tetap memiliki alokasi belanja iklan, meski berkurang.
Setelah berhasil melewati krisis ekonomi 1998, usaha Dwi Sapta terus berkibar. Krisis, kata Adji, mengajarkan untuk tidak sombong dan tetap inovatif. Hingga sekarang, perusahaan ini memiliki 11 anak usaha yang bergerak di bidang media dan komunikasi.
Sejak 2012, Dwi Sapta Group telah berhasil meraih omzet Rp 1 triliun. Bahkan, saat ini, menurut Adji, omzet perusahaannya sudah lebih dari Rp 1 triliun per tahun. Jumlah klien semakin banyak. Saat ini, Dwi Sapta menangani 150 brand dari 40 perusahaan di Indonesia.
Agar kepaknya makin lebar, di tahun 2017 ini dua peristiwa penting menjadi tonggak sejarah Dwi Sapta. Dua peristiwa tersebut adalah keputusan perusahaan meleburkan diri dalam jaringan perusahaan advertising dunia dan peralihan tongkat estafet kepemimpinan ke generasi kedua.
Pada 25 Januari 2017, Dwi Sapta mengumumkan merger dengan Dentsu Aegis Network. Perusahaan agensi yang berpusat di London ini mengakuisisi delapan dari 11 anak perusahaan Dwi Sapta. Mereka adalah dua agensi periklanan (Dwi Sapta dan Main Ad), dua agensi spesialis media (DSP Media dan Main Media), satu agensi digital (Inexus), satu agen aktivasi merek (BEE Activator), satu agensi humas (Dwi Sapta PR), dan satu agensi riset (Dwi Sapta Research).
Adji bilang keputusan merger dengan Dentsu Aegis Network sudah melalui pertimbangan matang selama dua tahun. Dwi Sapta memutuskan menerima pinangan Dentsu Aegis Network karena melihat kolaborasi dengan mitra internasional adalah keniscayaan di era globalisasi.
Apalagi beberapa klien Dwi Sapta seperti Kalbe Farma dan Mayora juga sudah melebarkan sayap bisnisnya ke luar negeri, seperti ke beberapa negara di Asia Tenggara. Dengan menjadi bagian Dentsu Aegis, Dwi Sapta bisa memanfaatkan jaringan perusahaan di 145 negara. Kita enggak ada pilihan. Sekarang ini era internasional. MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) sudah masuk. Dwi Sapta mesti keluar juga, katanya.
Setelah merger, nama Dwi Sapta pun berubah menjadi Dwi Sapta Dentsu Aegis Network. Tampuk kepemimpinan perusahaan beralih ke generasi kedua yang masih muda. Anak pertamanya, Maya Watono didapuk menggantikan posisi Adji sebagai Chief Executive Officer (CEO).
Maya bergabung dengan Dwi Sapta pada akhir 2006, setelah menetap di Australia selama 10 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan di Australia, Maya tidak langsung kembali ke Indonesia, tetapi bekerja di sana selama beberapa tahun.
Saat pertama bergabung, Maya diberi kepercayaan untuk menangani Main Ad, sebuah full service agency yang didirikan tahun 2005. Main Ad menangani klien di wilayah selatan Jakarta. Saat Maya masuk, pendapatan Main Ad masih sekitar Rp 30 miliar dengan jumlah karyawannya sekitar 20-an orang. Kliennya juga masih diberi sang induk, Dwi Sapta. Namun, menurut Adji, setelah beberapa tahun, Maya berhasil mendongkrak pendapatan perusahaan hingga mencapai sekitar Rp 400 miliar-500 miliar.
Sukses mengembangkan Main Ad, sejak 2008 Maya juga dipercaya memegang Netracom Neopost. Kemudian pada 2009, dia diminta memegang DSP Media, unit bisnis Dwi Sapta yang menangani media buying.
Adji bilang, ia menyiapkan Maya untuk memimpin perusahaan secara bertahap. Ia tak mau anaknya hanya menikmati apa yang dikerjakannya, tetapi ikut berproses sebagaimana dirinya susah payah membangun perusahaan. Dia sendiri belajar. November 2006 dia mulai, sekarang I think sudah cukup bagus jadi CEO, pimpin 11 perusahaan, go internasional lagi. Tanpa dia, Dwi Sapta berat karena go internasional, katanya.
Setelah merger ini, Adji optimis Dwi Sapta akan menjadi lebih baik. Hingga 2023, Dwi Sapta Dentus Aegis Network memproyeksikan pertumbuhan pendapatan 10%-15% per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News