Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi
Berani bermimpi dan tekad yang kuat adalah modal Agustinus Witanto menjadi wirausahawan sejati. Suka duka berbisnis selalu ia hadapi. Namun, kejelian melihat peluang dan kelihaian dalam bisnis mengantarkan dia menjadi salah satu produsen lem kapal besar di Jawa Timur.
Keberhasilan itu juga berkat prinsip yang ia anut. Dalam setiap fase kehidupannya, Agus, panggilan Agustinus, selalu menetapkan target yang harus ia capai. Sejak lulus kuliah dan mulai merintis karier sebagai detailer, dia mematok kenaikan jabatan selevel lebih tinggi tiap dua tahun. Posisi menjadi manajer pun harus ia raih saat usianya menginjak 35 tahun. Tak lupa, dia menyimpan mimpi untuk punya pabrik sendiri, dalam umur 45 tahun.
Demi cita-citanya itu, Agus selalu bekerja penuh semangat. Ketika bergabung dalam sebuah perusahaan bahan bangunan, yang memproduksi lem, cat, dan tiner, sebagai manajer penjualan, dia pun berhasil mendesain pemasaran hingga menga-trol penjualan lebih dari 500%.
Sayang, alumnus Universitas Airlangga ini kurang mendapat penghargaan dari empunya perusahaan. Setelah kerja 3,5 tahun, Agus pun memilih hengkang dari perusahaan itu. Namun, dia memetik hikmahnya. Meski menjadi sales manager, Agus sangat menguasai bisnis perusahaan. “Dari sana, saya sesungguhnya belajar menjadi entrepreneur,” kenang dia.
Beruntung, Agus segera mendapat tawaran yang lebih baik. Pada 2002, sebuah perusahaan pemasok produk kimia asal Jakarta berencana membuka cabang di Surabaya. Dia pun segera menyambar peluang itu. Karena modal terbatas, Agus harus membanting tulang. “One man show, saya menjadi tenaga serabutan, mulai dari peran kepala cabang, angkut barang, hingga menjadi sopir,” kisah pria 45 tahun ini.
Sayang, perusahaan induk tak bisa mengimbangi besarnya permintaan konsumen. Pada 2006, cabang Surabaya terpaksa ditutup karena pertumbuhan profit yang ada tak sesuai dengan harapan. “Omzet kecil bukan karena saya tak bisa jualan, tapi tak ada barang. Produknya adalah kimia tertentu,” jelas suami Herlina Yuniastanti ini.
Kondisi itu pun membulatkan tekad Agus untuk segera merintis usaha sendiri. Dia ingin mandiri, tak mau lagi bergantung pada orang lain. “Saya pikir, ini saatnya untuk mengubah nasib,” kata Agus yang saat itu baru berumur 37 tahun.
Tekad kuat untuk berusaha sendiri akhirnya menumbuhkan berbagai ide. Agus sempat berjualan beras yang diambil langsung dari petani. “Saya sampai bisa membedakan beras kualitas bagus dan tidak, sejak gabah,” urai pria kelahiran Surabaya, 5 Agustus 1969 ini.
Hingga akhirnya, Agus bertemu teman yang bekerja di pabrik lem, tempat kerjanya dulu. Lantas, dia pun mengajaknya berpartner untuk membuat pabrik lem. Dengan modal tabungan sendiri, akhirnya, Agus memenuhi cita-citanya mendirikan pabrik pada 2007, sebelum usia 45 tahun. “Waktu itu pabriknya masih kecil,” kata Agus yang hanya dibantu empat pekerja.
Awalnya, pabrik Agus memproduksi lem kuning. Ada dua jenis lem yang dibuat, yakni lem dengan tingkat kepadatan rendah dan tinggi. Lem kuning kepadatan rendah biasanya dipakai untuk sandal, sepatu, dan spon (jok kursi). Lem dengan kepadatan tinggi dipakai untuk perekat jenis high pressure laminate (HPL).
Lem kapal
Namun, nyatanya, perjalanan usaha ini tak semulus bayangan Agus. Pembuatan lem kuning rumit sedangkan margin tipis. Agus mengaku tak bisa leluasa bermain harga karena harus bersaing dengan pabrik besar. “Kami hanya follower,” seru dia. Belum lagi, dia harus menghadapi sejumlah konsumen yang nakal dalam pembayaran. Agus pun memilih untuk membatasi produk lem kuning. Akhirnya, tahun 2009, dia menghentikan produksi lem sandal, sepatu, dan spons.
Sebagai pengusaha, Agus tak pernah melewatkan proses riset dan uji coba pasar. Ketika produksi lem kuning berhenti, dia sudah punya produk pengganti sesuai dengan hasil riset dan uji pasar. Dia mengincar potensi besar pada produk perekat kapal kayu. “Belum ada produsen lokal yang melirik pasar itu. Padahal, nilai duitnya besar sekali,” kata dia.
Tak mau kehilangan kesempatan, Agus segera menggarap pasar ini. Dia pun menawarkan berbagai produk untuk pasar marine ini. Mulai lem epoksi sambungan kayu, pelindung lapisan lantai dek kapal, dan epocoat yang melindungi bagian luar kapal dari benturan, hewan, atau lumut yang bisa mengikis permukaan kapal.
Langkah ini pun berhasil. Produk Greatchemical Satria (GSP) Putramas, perusahaan Agus, cepat dikenal para pemilik kapal kayu. Maklum, kualitas perekat dan berbagai lapisan pelindung buatan GSP cukup bagus. “Banyak pemilik kapal yang tahu dari mulut ke mulut, mencoba menghubungi kami secara langsung,” kata Agus.
Tak berhenti menggarap pasar kapal, Agus juga menangkap celah untuk mengisi pasar lem kok (shuttlecock). Ide membuat lem muncul dari kegemarannya bermain bulutangkis. “Semula saya ingin memaksimalkan fungsi lem epoksi,” kata dia.
Tentu saja, proses pembuatan lem untuk shuttlecock ini juga melalui tahap uji coba dan kendala. Bahkan, pada tahap awal, Agus sempat mendapat komplain dari perajin kok karena lemnya rapuh setelah kering. “Jadi, saat di-smes, lemnya rontok,” kata Agus.
Dia pun segera memodifikasi dengan mengutamakan kenyamanan perajin untuk memakai produknya. Kini, produk lem shuttlecock pun hampir menguasai pasar Jawa Timur. Agus pun berancang-ancang untuk merambah Jawa Tengah, karena pasar terbesar ada di sini.
Dengan kedua produk andalan ini, usaha Agus pun terus berkibar. Dalam setahun, dia bisa memproduksi hingga 80 ton kedua produk lem tersebut, dan mempekerjakan hingga puluhan orang.
Kerja keras dan Konsisten
Agustinus Witanto terus mengucap syukur melihat pencapaian yang telah diperolehnya sampai saat ini. Kerja keras yang dilakoni semasa muda telah membuahkan hasil seperti harapannya.
Kerja keras memang menjadi salah satu kunci suksesnya. Selain itu, konsistensi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan menjadi kunci sukses lainnya. “Saya ibaratkan naik perahu, pasti ada ombak dan batu karang yang menghadang, itu harus dilalui untuk mencapai tujuan. Semangat yang dikobarkan jangan sampai redup, meski ada masalah dan rintangan di jalan,” kata dia.
Prioritas pun menjadi kunci baginya dalam setiap pemecahan persoalan. Maklum, dalam dunia usaha, datangnya masalah tak bisa ditebak. “Masalah itu datangnya berangsur-angsur, malah ada yang bersama-sama. Oleh karena itu, kita pun harus bisa menetapkan prioritas masalah mana dulu yang harus diselesaikan,” kata suami Herlina Yuniastanti ini.
Tak hanya itu, rasa keikhlasan pun harus dimiliki oleh seorang pengusaha. Khususnya, saat menyelesaikan piutang dengan konsumen. “Begitu masalah piutang tak bisa diselesaikan, saya hanya berpikir untuk iklas. Mungkin belum rezeki saya, jadi diambil lagi oleh Yang Kuasa,” ujar Agus.
Ayah dari Maria Natania, Theresia Nataniela, dan Bernard Prabu Satria ini lantas menyadari harus melihat ke belakang. “Dulu, hidup saya tidak seperti ini, pas-pasan, lalu dititipi rezeki. Kalau sebagian diambil, ya, harus ikhlas,” katanya.
Namun, semuanya itu terbayar sudah ketika Agus punya lebih banyak waktu untuk keluarga. Setiap akhir pekan, dia jalan-jalan dengan keluarga. “Kami suka wisata alam,” ujarnya.
Agus juga terlibat aktif di lingkungan tempat tinggalnya. Sudah dua tahun ini, dia menjadi ketua lingkungan gerejanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News