kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ahli teknik: Tak cuma mentok di level menengah


Senin, 27 Agustus 2012 / 12:13 WIB
Ahli teknik: Tak cuma mentok di level menengah
ILUSTRASI. Tenaga kesehatan melakukan perawatan terhadap pasien Covid-19 diruang ICU di RSUD Koja, Jakarta Utara, Selasa (29/6/2021).


Reporter: Yuwono Triatmodjo, Dessy Rosalina | Editor: Tri Adi

Kebutuhan sarjana teknik di Indonesia masih sangat besar. Tidak percaya? Te­ngok saja kegelisahan Men­teri Koordinator Per­eko­nomian Hatta Rajasa dalam sebuah seminar nasional tentang implementasi kebijakan MP3EI (Mas­ter­plan Percepatan dan Per­luasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) di Pe­kan­baru, Riau, pertengahan Juli lalu.

Sebagai negara penyandang gelar layak investasi, Indonesia menjadi surganya para investor mengembangkan duit mereka. Arus investasi asing seharusnya membuka banyak lapangan kerja. Geliat proyek infrastruktur, misalnya, bakal kian semarak. Cukup tersediakah sumberdaya manusia kita?

Dalam forum tersebut, Hatta menjelaskan, kini pasokan sarjana ilmu teknik belum mampu memenuhi kebutuhan permintaan pasar tenaga kerja domestik. Ada kecenderungan para pelajar kurang tertarik menekuni ilmu teknik. Padahal, kebutuhan terhadap lulusan ilmu tersebut sangat banyak. Sebagai nakhoda MP3EI, Hatta berkepentingan agar program yang lahir dari kementeriannya bisa berjalan sukses.

Program MP3EI, sejatinya, bertujuan mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan delapan program utama, meliputi sektor industri manufaktur, pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi dan pengembangan kawasan strategis
nasional.

Sayang, menurut prediksi Hatta, saat ini ada kekurangan sekitar 5.000 sarjana teknik. Angka itu akan membengkak menjadi 25.000 orang pada 2025 mendatang. Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PPI) Muhammad Said Didu mengatakan, pihaknya juga mencermati kekurangan pasokan tenaga teknik dari dalam negeri. Dia mengingatkan, liberalisasi perdagangan serta jasa di kawasan ASEAN yang ditargetkan dilaksanakan pada 2015 akan berdampak pada liberalisasi pasar kerja, baik berupa investasi maupun tenaga kerja.

Kekurangan pasokan tenaga kerja dalam negeri tersebut, lanjut Said Didu, akan membuka pintu masuk yang lebar bagi tenaga kerja asing. "Ini sebenarnya kesempatan yang besar bagi anak-anak yang berminat mengambil program teknik dalam pendidikan lanjutannya," tutur mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negera (BUMN) di era Meneg BUMN Sugiharto, Sofyan Djalil, dan Mustafa Abubakar tersebut.

Sebuah riset yang dibuat Said Didu pada 2011 lalu mengungkapkan, setahun sebelumnya pasokan sarjana teknik dalam negeri hanya sebesar 37.000 per tahun. Padahal, dia memperkirakan, pada 2010 - 2015, rata-rata kebutuhan sarjana teknik di Indonesia mencapai 57.000 per tahun, sedangkan para kurun waktu yang sama rata-rata pasokan baru 50.000 per tahun.

Pada periode 2015 - 2020, permintaan terhadap sarjana teknik diperkirakan bakal mencapai rata-rata 90.500 orang per tahun. Adapun sumberdaya manusia (SDM) dari dalam negeri diperkirakan hanya sebesar 75.000 orang.

Lantas bagaimana bila dibandingkan dengan negara tetangga? Ternyata, angka dari hasil riset Said Didu kurang begitu menggembirakan. Setiap 1 juta penduduk Indonesia, lanjut Said, hanya bisa menghasilkan sarjana teknik sebanyak 164 orang. Bandingkan saja dengan China yang bisa menghasilkan 456 sarjana teknik per 1 juta penduduknya. Kemampuan menghasilkan sarjana teknik kita pun kalah dibandingkan India, yang bisa menyediakan 406 sarjana teknik dari per
1 juta penduduknya.

Bahkan, dengan Malaysia pun, Indonesia masih ketinggalan. Dengan pasokan sarjana teknik sebanyak 9.900 per tahun, mereka mampu menyediakan 367 orang sarjana teknik per sejuta penduduk.


Rawan bajakan

Direktur Firstasia Consultants Nining Kristiana pun mengakui kondisi tersebut. Dia mengatakan, saat ini ahli teknik (engineering) masih menjadi salah satu profesi yang paling banyak dibutuhkan perusahaan. Karena kebutuhan yang mendesak, tak jarang, perusahaan melakukan campus hiring alias mencari bibit-bibit berbakat dan berkualitas yang potensial mereka rekrut sebagai tenaga kerja langsung ke kampus-kampus.

Beberapa lulusan sarjana teknik yang banyak diminta oleh banyak perusahaan dalam beberapa bulan terakhir adalah teknik perminyakan, arsitektur, sipil, informatika, serta otomotif.

Sarjana teknik perminyakan, misalnya, tentu berprospek sangat cerah lantaran Indonesia terkenal akan sumberdaya alamnya. Demikian halnya dengan teknik arsitektur dan sipil. Booming sektor properti dalam beberapa waktu terakhir seakan tak pernah surut meminta tenaga profesional yang memiliki kapabilitas di bidang ini.

Adapun teknik industri, kata Nining, adalah keahlian yang paling banyak dibutuhkan lantaran menjadi aset utama kemajuan dan pertumbuhan industri di tanah air. Kebutuhan teknologi baru penunjang operasional industri yang semakin modern akan menyebabkan lulusan sarjana teknik industri yang berkualitas tak akan jadi pengangguran. Terlebih lagi, dengan adanya pengembangan teknologi baru bagi operasional akan meningkatkan efisiensi dan pendapatan perusahaan yang bersangkutan.

Semua pabrik butuh tenaga teknik industri. Sekadar gambaran, pada industri minuman, tenaga teknik industri dibutuhkan untuk menyediakan infrastruktur yang bisa membuat proses produksi lebih singkat dan mudah. "Kesempatan lebih luas untuk berkarier ada di teknik industri. Di top level, tenaga teknik industri biasanya dibajak dari satu industri ke industri lain," beber Nining.

Satu hal yang juga menjadi perhatian Nining adalah kebiasaan pencari kerja generasi sekarang yang tak hanya melihat masalah gaji tetapi juga happiness dan kenyamanan bekerja. "Sekarang ada tren gampang pindah kerja dan jadi kutu loncat. Ini tantangan besar bagi perusahaan," imbuhnya.

Haryo Suryosumarto Managing Director Head Hunter Indonesia, pun menilai kebutuhan tenaga engineer selalu akan booming. Banyak investasi asing yang masuk ke indonesia ketika membangun pabrik membutuhkan banyak tenaga engineer.

Terlebih lagi, saat ini perusahaan properti dan infrastruktur kebanjiran banyak proyek baru. Inilah salah satu pemicu tingginya permintaan profesional di bidang jasa teknik properti dan konstruksi. "Tingginya permintaan juga ada di level menengah dan atas. Malah agak kesulitan karena biasanya engineer terikat masa kerja dengan proyeknya yang lama," kata Haryo.

Maka, bukan barang yang aneh bila seorang sarjana teknik di sektor ini bisa mendapatkan tawaran dari lima perusahaan sekaligus. Tentu saja, pengalaman kerja dan kemampuan menjadikan nilai jualnya lebih tinggi lagi.

Dalam catatan Haryo, permintaan pasar tenaga kerja untuk civil engineer, mechanical engineer, dan electrical engineer relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir. Inilah mengapa ketiganya, di mata Haryo, lebih aman bagi calon sarjana yang akan lulus dari institusi perguruan tinggi.

Namun, lain halnya dengan engineer perminyakan. Permintaannya memang sempat tinggi saat booming harga komoditas di awal 2000-an. Tetapi sekarang, lanjut Haryo, relatif biasa.

Lantas, berapa pasaran gaji insinyur saat ini? Kata Haryo, untuk pegawai anyar, penawaran gaji sarjana teknik di bidang konstruksi dan properti umumnya berkisar Rp 5 juta - Rp 8 juta per bulan. Sedangkan, insinyur di sektor minyak dan gas bumi bisa mencapai Rp 10 juta. "Jika sudah kategori senior engineering, gaji bisa mencapai Rp 15 juta per bulan," ujarnya.

Lain lagi untuk hitungan sekelas manajer yang bisa dibayar Rp 20 juta - Rp 30 juta dengan pengalaman minimal 10 tahun masa kerja. Menanjak ke level project manager, pasaran gajinya bisa mencapai Rp 40 juta. Untuk sekelas project director, gajinya saat ini pasti sudah lebih dari Rp 40 juta.

Menurut Nining, engineering yang baru masuk kerja biasa digaji Rp 3 juta - Rp 4 juta per bulan. Untuk teknik perminyakan, gaji awalnya antara
Rp 6 juta - Rp 8 juta.

Kata Nining, modal utama untuk profesi ini adalah hard skill, pengetahuan, dan keahlian. Ini adalah profesi yang tidak memungkinkan kesuksesan datang tanpa latar belakang pendidikan teknik. Itu sebabnya, untuk level paling bawah sekali pun, perusahaan tak mau menerima pekerja dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. "Karena pekerjaan engineering biasanya mengandung risiko yang tinggi, sebab berhadapan dengan mesin dan alat-alat," kata Nining.

Tak hanya itu, ahli teknik juga harus punya kemampuan analisis yang kuat. Pasalnya, mereka akan berhadapan langsung dengan kasus-kasus di lapangan yang membutuhkan hitungan dan analisis yang memadai.


Jiwa memimpin

Untuk menjadi seorang engineering yang andal, berikut ini adalah masukan dari Haryo. Bagi mereka yang baru lulus atau fresh graduate, sebaiknya jika ada kesempatan, bekerja di perusahaan multinasional terlebih dahulu.

Tujuannya agar si sarjana teknik tersebut mengetahui bagaimana memperbaiki kemampuan mereka beradaptasi dalam suasana kerja yang melibatkan multietnis serta budaya. "Bisa belajar teknologi dan budaya kerjanya di perusahaan tersebut," saran Haryo.

Setelah cukup memiliki bekal pengalaman dari perusahaan multinasional, barulah ia menyarankan untuk bekerja di perusahaan nasional. Tentu, dengan catatan, penawaran level karier dan pendapatan yang lebih tinggi. Biasanya, mereka pasti dituntut membawa perubahan suasana dan etos kerja yang dibawa dari perusahaan multinasional berkelas dunia.

Sementara itu, Nining mengatakan, seorang sarjana teknik juga harus memiliki soft skill, yakni kemampuan kepemimpinan (leadership) dan komunikasi. Di level bawah dan menengah tenaga teknik sangat mengandalkan keahlian (expertise) sebagai modal utama bagi jenjang karier dan kenaikan gaji. Tetapi, di level menengah dan atas, kecakapan memimpinlah yang akan banyak berbicara.

Hingga saat ini, hanya segelintir ahli teknik yang memiliki soft skill baik. Sebab, biasanya ahli teknik terbiasa berhadapan dengan benda mati sehingga kemampuan beradaptasi dengan manusia atau lingkungan relatif minim. Jika sudah begini, karier ahli teknik bergaji besar pun akan mentok di level menengah. Sayang sekali jika perusahaan ternyata akhirnya lebih memilih mengisi posisi ­top level-nya dengan orang dari bidang yang lain. Expertise memang mahal, tapi memiliki soft skill pasti lebih menjual.

Nah, jadi, siapa sekarang yang mau mengikuti jejak Si Doel jadi tukang insinyur?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×