Reporter: Nur Pehatul Janna | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Industri film Indonesia tengah naik daun yang terlihat dari jumlah penonton yang terus menanjak saban tahun. Kondisi ini dimanfaatkan para sineas film dokumenter supaya bisa mengekor kesuksesan film layar lebar nasional.
Ini terlihat dari setiap ajang film dokumenter, seperti Festival Film Dokumenter (FFD), jumlah peserta yang terlibat tidak pernah sepi, malah bisa sampai ratusan peserta setiap kali acara.
Maklum, tema dari film dokumenter tersebut memang rada bebas ketimbang film layar lebar. Ada banyak tema bisa tersaji di film dokumenter. Tidak melulu soal cinta, horor atau aksi. Film tema sejarah, petualangan, investigasi hingga inspirasi bisa tersaji di film ini. "Di Indonesia ada ribuan kisah unik dan menarik. Bila direkam dalam sebuah dokumenter bisa ditonton kapan saja," kata Ricky Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dalam workshop IF/Then Story Development, beberapa saat lalu.
Meski ada potensi, ia akui laju film dokumenter tidak sebagus film bioskop pada umumnya. Ada dua hal yang membuat salah satu industri kreatif ini belum mapan.
Yang pertama adalah persoalan pendanaan. Maklum, untuk membuat film dokumenter butuh pembiayaan. seperti untuk riset awal, aktor, lokasi syuting, peralatan dan perlengkapan syuting hingga proses produksi menjadi sebuah karya film.
Menurut Ucu Agustin, produser dan sutradara film dokumenter bertajuk How Far I'll Go mengakui bila kendala terbesar untuk memproduksi film dokumenter adalah dari sisi dana. Ia mengambil contoh untuk membuat film berdurasi 20 menit saja butuh dana antara Rp 40 juta sampai Rp 50 juta. "Kebanyakan dana berasal dari kami," katanya,
Kalaupun ada bantuan, biasanya dari ajang dari lembaga. Salah satunya oleh Bekraf, aplikasi film dokumenter lokal In-Docs, dan Tribecca Film Institute di ajang IF/Then Story Development. Dalam acara tersebut, peserta yang terpilih bakal mendapat pendanaan memproduksi film. Sayang, tidak ada penjelasan soal jumlah dana bantuan.
Persoalan kedua adalah promosi. Menurut Amelia Hapsari, sutradara film dokumenter dan Program Direktur In-Docs, saat memproduksi film dokumenter, tidak pernah tercetus berapa target jumlah penonton yang dibidik. "Ini terjadi karena kurangnya media untuk menayangkan film dokumenter," tandasnya.
Kondisi berbeda dengan di luar negeri. Ambil contoh di Taiwan yang punya aplikasi film dokumenter dan televisi yang ada tayangan berjadwal tentang film dokumenter.
Persoalannya, bila film dokumenter ini ingin tayang di stasiun televisi lokal, produsennya harus bayar. Tak heran, ajang festival masih menjadi rumah berteduh film dokumenter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News