Armando, seekor merpati balap asal Belgia, laku Rp 20 miliar

Selasa, 19 Maret 2019 | 14:15 WIB   Reporter: Tri Sulistiowati
Armando, seekor merpati balap asal Belgia, laku Rp 20 miliar


HOBI - BELGIA. Armando, seekor merpati balap asal Belgia, memecahkan rekor harga dalam ajang pelelangan online dengan nilai jual € 1,25 juta (lebih dari Rp 20 miliar). 

Merpati balap jarak jauh terbaik Belgia ini menjadi target dua pembeli tidak dikenal asal China. Keduanya bertarung untuk mendapatkan Armando melalui pelelangan online.

Armando disebut-sebut telah mengalahkan rekor merpati balap sebelumnya bernama Nadine yang terjual seharga € 425.000. "Tidak ada yang menyangka harga satu juta euro akan terlampaui," kata situs penggemar merpati Belgia, Pigeon Paradise.

Sebelum laku, Armando adalah merpati balap milik peternak ulung asal Belgia Barat, Joel Verschoot. dalam pelelangan itu Joel berhasil menjual 178 ekor merpati dengan total nilai pendapatan 2 juta euro. Rencananya, hasil penjualan tersebut bakal digunakan mengembangbiakkan lebih banyak merpati balap unggulan.

Tertariknya pembeli asal China ini memberikan sinyal bakal kembali ramai ajang balap merpati yang sempat lesu.  

Balap merpati hidup kembali    

Sejak sekitar 1.200 tahun sebelum Masehi, merpati dikenal sebagai hewan untuk mengantarkan pesan sampai muncul istilah merpati pos. Pada era 1.800an merpati tidak hanya dikenal sebagai pengantar pesan, melainkan juga sebagai pembalap udara.  

Para merpati berlomba menempuh jarak ratusan kilometer untuk kembali ke tempat asalnya. Merpati yang pertama kali mencapai loteng yang menjadi sarangnya adalah sang pemenang.

Sekedar info, merpati balap dapat mencapai kecepatan di atas 80 Km/ jam untuk jarak tempuh di atas 1.000 km. Burung ini mampu terbang lebih cepat untuk jarak tempuh yang lebih pendek. 

Belakangan, olaraga balap merpati sempat lesu karena banyak mendapatkan kritik dari aktivis kesejahteraan hewan. Banyak merpati tersesat yang tak berhasil kembali ke kandang. 

Tahun 2013 lalu kelompok hak-hak binatang, PETA melakukan penyelidikan dan menemukan jutaan bangkai merpati di lautan Taiwan. Muncul dugaan merpati mati kelelahan karena dipaksa terbang terlalu jauh.  

Sebaliknya, para penggemar yang juga dikenal sebagai peternak menepis anggapan tersebut. Menurutnya mereka, merpati tidak kembali disebabkan karena serangan predator dan disorientasi akibat gangguan sinyal radio buatan, serta pencurian . 

UNESCO sempat mempertimbangkan untuk mendapuk balap merpati sebagai warisan budaya, namun batal protes dari para aktivis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati

Terbaru