kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Arto membesarkan brand lokal negeri sendiri


Selasa, 04 November 2014 / 14:11 WIB
Arto membesarkan brand lokal negeri sendiri
ILUSTRASI. Petugas melayani peserta BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, Selasa (16/11/2022). (KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Hidup mapan di negeri orang bisa membuat seseorang melupakan tanah kelahiran. Namun tidak demikian  dengan Arto Soebiantoro. Sejak 1992, Arto meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat (AS). Sempat bekerja selama dua tahun di Negeri Paman Sam, dia kembali ke Indonesia untuk berkarier pada bilang periklanan.

Di Tanah Air, karier Arto cukup cemerlang. Jabatan terakhir yang dia emban ialah managing director sebuah perusahaan periklanan. Arto pun pernah menyabet penghargaan di ajang Piala Citra berkat kampanye iklan yang ia buat.

Pekerjaan dunia iklan jua yang mengantarkan Arto pada dunia kreatif yang lebih luas, yakni brand atau merek. “Ketika di perusahaan periklanan, setiap kali membuat brand kami harus mengetahui strategi korporasi dan bagaimana sebuah brand bekerja. Jadi, secara tidak langsung saya menjadi paham prosesnya,” tuturnya.

Bagi pria yang berulangtahun saban 17 Juni ini, iklan hanya salah satu bagian dalam proses pembangunan merek. Di masa mendatang, persaingan yang terjadi bukan cuma antara brand lokal versus brand asing, tapi juga sesama brand lokal.

Makanya, Arto tertantang untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang sesuai dengan panggilannya. Dia melihat besarnya potensi merek-merek lokal yang bila dikelola dengan baik bisa berdampak positif terhadap Indonesia. Lantas pada 2006, Arto mendirikan perusahaan konsultan brand yang ia beri nama GambaranBrand (GB).

Dia pun fokus menggarap merek lokal, karena pengembangan merek lokal ini akan mampu membuka lapangan pekerjaan, pemasukan bagi pemerintah daerah, pemerataan ekonomi, dan kebanggaan masyarakat lokal. “Jadi GB bukan hanya bisnis semata tapi punya tanggungjawab untuk membangun nasionalisme lewat cara kami sendiri,” ujar pria yang membawahi 25 karyawan ini.


Batasi klien

Bukannya tanpa alasan Arto ingin mengembangkan merek lokal. Ketika mengecap pendidikan di luar negeri, Arto melihat betapa bangganya mahasiswa dari Korea Selatan, Jepang, dan Eropa terhadap bangsanya karena produk-produk yang negara mereka ciptakan. Dia pun lantas berpikir, masyarakat Indonesia harus punya kebanggaan akan merek lokal.

Arto mengaku modalnya hanyalah seperangkat alat elektronik, seperti laptop dan printer. Arto mengawali usahanya lewat proyek kecil dari sahabat atau kenalannya, hingga berkembang sampai skala yang cukup besar.

Tak lama, GB mendapatkan klien pertamanya, perusahan jasa layanan antar. “Tiga bulan setelah kami bangun, ternyata perusahaannya bangkrut,” tutur Arto mengenang. Demikian juga klien kedua Arto, pemilik restoran. Lantaran perusahaan kliennya tidak sehat secara finansial, Arto terpaksa menghentikan kerjasama.

Akan tetapi, kegagalan pada tahun pertama bisnisnya tidak melunturkan semangat Arto untuk membangun merek lokal. Pada tahun kedua, Arto menggaet Roy Kuntjoro, yang berpengalaman di bidang keuangan dan manajemen. Kemudian, merek-merek lokal yang populer seperti Farmers Market dan Gado-Gado Boplo bergabung menjadi klien GB.

Arto menuturkan, semua perusahaan yang sedang berkembang pasti membutuhkan brand yang kuat dan tahan lama. “Kehadiran tim kami bertujuan mempermudah dan mempercepat impian tersebut jadi kenyataan,” ucap dia. Untuk itu, Arto lebih senang menyebut GB sebagai dream makers, ketimbang konsultan merek.

Metode yang dilakukan GB untuk pengembangan merek lokal adalah melakukan pendampingan. Jangka waktu pendampingan bisa berbulan-bulan, bahkan hingga tahunan.

Bersama dengan sang klien, Arto dan timnya memulai langkahnya dari menjabarkan impian mengenai brand, hingga mengeksekusi langkah untuk mewujudkan impian itu. “Dari awal, saya minta klien saya menceritakan mimpi-mimpi dia mengenai brand yang diinginkannya, hingga saya tahu visi mereka,” ujar Arto.

Makanya, Arto tak sembarangan menerima klien. Setidaknya klien yang bekerjasama dengannya memang punya visi yang kuat untuk membangun sebuah merek.

Selain itu, GB melakukan pelatihan pengembangan brand dan penerapan riset untuk sektor industri khusus sesuai dengan kebutuhan klien. Jadi, GB merupakan bentuk hybrid dari manajemen, kerja kreatif, komunikasi dan sumber daya konsultan dalam satu pintu. “Kombinasi dari ilmu-ilmu inilah yang kemudian bisa membawa sebuah brand menjadi lebih baik, tidak bisa hanya lewat satu disiplin tertentu saja,” ucap dia.

Ia menambahkan, sasaran pasar GB bukanlah brand asing. Dalam setahun, GB membatasi, setidaknya hanya mengembangkan sepuluh klien. Pasalnya, tiap klien ditangani secara eksklusif dan dalam waktu yang tidak singkat.  Klien GB merupakan perusahaan skala kecil hingga menengah dari berbagai industri, seperti industri makanan, ritel, mal, consumer product, hingga galangan kapal dan museum. Bukan hanya perusahaan, GB juga menerima pengembangan brand dari sebuah organisasi.

Sampai hari ini, GB telah mengerjakan lebih dari 30 proyek yang berhubungan dengan branding. Arto mengakui, GB semakin matang dalam memahami proses branding. Ia dan timnya pun semakin mahir dalam menangani klien. “Kami harus bisa membedakan perlakuan pada perusahaan yang dimiliki sebuah keluarga atau dikelola sepasang suami istri, dan sebagainya,” tutur dia.

Arto menambahkan, setiap perusahaan yang jadi kliennya menunjukkan peningkatan kinerja, terutama dari segi omzet. “Perusahaan yang terorganisir, dan pasarnya lebih fokus pasti output-nya pun lebih bagus,” tandas Arto.    


Pengaruh sang ayah

Lingkungan, terutama keluarga, sangat memengaruhi jiwa nasionalisme Arto Soebiantoro. Semangat itu memang ditanamkan secara mendalam di keluarganya. Meski ibunya berdarah Vietnam, putra bungsu dari almarhum Kris Biantoro ini mengaku cukup nasionalis. “Ayah saya seorang seniman nasionalis. Dia berpartisipasi membangun bangsa lewat seni dan karyanya,” ucap pria berusia
41 tahun ini.

Dia tak menafikan bahwa nama besar sang ayah membuat dia menjaga nama baik perusahaannya. Pasalnya, klien lebih mudah percaya kepada Arto karena jejak rekam Kris Biantoro yang bersih dan nasionalis.

Nasionalisme ini yang melatarbelakangi Arto menerima beberapa klien dengan perusahaan yang masih kecil. “Kadang ada klien yang datang dengan semangat tinggi membesarkan, tapi dananya minim,” kata dia.

Arto mengatakan saat ini masih belum banyak pengusaha yang menyadari pentingnya membangun brand. Tak hanya itu, masyarakat pun sering menganggap brand lokal harus berkembang menjadi merek nasional, bahkan internasional. “Padahal, tak harus seperti itu. Semua kembali pada mimpi pemilik merek karena sekarang banyak brand lokal yang sangat fokus di area demografinya, hingga membuat ketar-ketir brand nasional,” tutur dia.

Arto berharap, lebih banyak lagi orang yang paham mengenai pentingnya brand. Untuk itu, GB akan berevolusi menciptakan program baru dalam membangun merek. Dalam waktu dekat, GB akan mengeksekusi program baru, yakni Brandstart.

Program ini merupakan sebuah pelatihan pembangunan merek untuk skala kelompok yang dilakukan bersama sama. “Kami melatih para pemilik brand dan mereka yang mengeksekusi apa yang didapat dalam pelatihan untuk mengembangkan brand,” tutur Arto.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×