Reporter: Francisca Bertha Vistika | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Udang sangat sensitif dengan kondisi lingkungannya. Perlakuan yang salah terhadap budidaya si bongkok bisa mengakibatkan udang gampang mati dan kegagalan panen bagi para petambak. Alhasil, petambak harus menjaga kondisi air tambaknya dengan benar dan tepat.
Namun, banyak petambak di Indonesia masih menggunakan intuisi mereka untuk memutuskan kondisi air. Ini yang seringkali membuat petambak bingung mengapa budidaya pada siklus sebelumnya sukses, tapi tidak di putaran berikut.
Pasang surut dalam membudidayakan udang ini juga dialami Ario Wiryawan sejak doa menggeluti bisnis ini tahun 2001. Dari pengalaman itu, Ario yang kelak mendirikan perusahaan rintisan (startup) PT Atnic Ekotekno Wicaksana bersama tiga temannya, memahami bahwa faktor krusial yang menentukan kesuksesan tambak ialah manajemen kualitas air.
“Berangkat dari permasalahan tersebut, kami melakukan survei lapangan, dan ternyata menemukan bahwa problem kualitas air bukan hanya dirasakan oleh kami, tapi juga banyak petambak udang lainya,” ungkap Liris Maduningtyas, Co-Founder Atnic Ekotekno.
Minimnya kemampuan mengelola kualitas air ini yang akhirnya menjadi biang utama tidak optimalnya produksi tambak udang. Lebih parahnya lagi, terjadi kegagalan panen.
Nah, dengan modal kemampuan di bidang teknologi, tim Atnic Ekotekno melakukan riset dan menciptakan prototipe pertama awal tahun 2015. Mereka menciptakan sistem budidaya udang yang optimal dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi, yang diberi nama: Jala.
Jala adalah perangkat internet of thing (IoT) untuk memantau kualitas air dan memberikan analisis berdasar kondisi tambak. “Teknologi ini akan menjadi asisten petambak udang dalam mengelola kualitas air tambak, sehingga mereka bisa memperoleh hasil produksi yang lebih optimal,” ujar Liris yang kini menangani pemasaran dan keuangan Atnic Ekotekno.
Memang, beberapa petambak sudah menggunakan alat pengukuran, namun belum cukup informatif dan membantu. Banyak petambak yang tak mampu memahami makna dari hasil pengukuran alat yang mereka gunakan.
Mereka juga belum paham apa tindakan yang harus dilakukan untuk memastikan tambak dalam kondisi yang baik. Sudah begitu, harga perangkat untuk setiap parameter sangat mahal dan tidak terjangkau petambak tradisional. Padahal, setidaknya petambak harus mengetahui tiga parameter kondisi air.
Tantangan lain di bisnis tambak udang, petambak harus memantau kondisi tambak setiap waktu. Ini tentu menyita banyak waktu petambak.
Liris menyebut udang sebagai early adopter. Kenapa?
Pertama, bisnis udang punya nilai ekonomi yang tinggi. Permintaan binatang bernama Latin Caridea ini di pasar dunia selalu naik dari tahun ke tahun.
Kedua, udang sangat sensitif. Walhasil, perubahan kecil atas data kualitas air akan sangat berdampak bagi keberlangsungan budidaya udang, yang bisa berdampak pada tingkat produktivitas suatu tambak.
Biaya terjangkau
Nah, beragam permasalahan yang dialami petambak itulah yang coba diselesaikan dengan Jala. Dengan menggunakan Jala, petambak udang bisa dengan mudah mendapatkan data kondisi air tambak mereka melalui pesan singkat (SMS) ataupun akses internet, kapanpun dan di manapun.
Petambak juga dapat menentukan penanganan kolam secara tepat dengan memakai analisis dan sistem pembuat keputusan dari Jala. Terutama, ketika terdapat anomali pada kondisi air.
Jala merupakan perangkat pengukuran yang mutakhir tapi terjangkau bagi petambak udang tradisional. Plus, dengan cara yang lebih fleksibel.
Petambak yang berminat menggunakan Jala, cukup membayar biaya berlangganan. Mereka akan mendapat alat dan verifikasi akun untuk aplikasi.
Sayangnya Liris enggan mengungkap tarif langganan Jala. “Biaya berlangganan petambak udang selama menggunakan servis Jala bisa dibayar bulanan maupun di akhir siklus budidaya,” kata Liris.
Setelah berlangganan, petambak hanya perlu membawa alat Jala ke kolam. Lalu, menempelkan (tap) kartu radio frequency identification (RFID) untuk identifikasi kolam.
Selanjutnya, petambak tinggal memasukan sensor ke dalam air. Setelah itu, Jala otomatis mengukur kualitas air yang meliputi oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), salinitas, zat padat terlarut (TDS), dan suhu.
“Berdasarkan hasil data pengukuran, Jala akan memberikan saran perlakukan tambak sesuai kondisi lapangan,” imbuh Liris. Petambak cukup memantau hasil pengukuran kualitas air dan saran melalui aplikasi Jala.
Saat ini, papar Liris, Jala sudah diaplikasikan di 80 tambak udang yang tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa. Ambil contoh, Yogyakarta, Purworejo, Cilacap, Brebes, Tegal, dan Subang. “Targetnya, tahun depan ada 150 petambak udang aktif untuk kurang lebih 800 kolam terdaftar,” ujarnya.
Untuk mencapai target itu, tim Atnic Ekotekno bakal langsung mendatangi tambak-tambak di daerah. Mereka juga memanfaatkan jaringan Shrimp Club Indonesia (CSI) untuk menemui para petambak.
Atnik juga akan meminta bantuan petambak yang sudah menggunakan Jala untuk merekomendasikan ke petambak lain. Atnic Ekotekno juga bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah-daerah guna memperoleh akses untuk implementasi Jala di tambak-tambak binaan mereka.
Dalam beberapa tahun ke depan, Jala masih akan fokus di tambak udang. Tetapi, Liris mengatakan, sejatinya teknologi ini sangat memadai untuk budidaya lainnya. “Kami menyadari, ada kebutuhan yang besar akan teknologi Jala di bidang-bidang budidaya perairan (aquaculture) lainnya,” sebut dia.
Tak hanya di dalam negeri, Atnic Ekotekno juga berencana menjajaki pasar luar negeri. “Untuk dua tahun pertama kami masih fokus pada pasar di Indonesia, lalu di tahun ketiga akan memperluas jaringan pasar ke Asia Tenggara dan selanjutnya ke China,” beber Liris.
Menurut Liris, tantangan yang Atnic Ekotekno hadapi sekarang adalah bagaimana memproduksi alat Jala secara massal dengan lebih efisien. Kemudian, mengembangkan tim operasional untuk memenuhi permintaan para petambak udang yang ingin menggunakan Jala.
Modal Rp 1 miliar
Untuk membangun startup ini, Liris mengungkapkan, para pendiri Atnic Ekotekno membutuhkan dana sebesar Rp 1 miliar. Modal awal ini untuk melakukan validasi dan pengembangan teknologi hingga menghasilkan sejumlah minimum viable product (MVP) Jala yang kemudian diujicobakan di berbagai tambak udang.
Atnic Ekotekno mengantongi modal awal dari hasil memenangkan kompetisi The American Society of Mechanical Engineers Innovation Showcase (ASME Ishow) pada Maret 2015 lalu. “Kami juga tergabung dalam inkubator Inotek. Selain itu, kami juga melakukan bootstrapping menggunakan dana pribadi,” jelas Liris.
Pada April 2015, Atnic Ekotekno mulai menjalankan program inkubasi dari Yayasan Inovasi Teknologi Indonesia (Inotek). Inkubator bisnis yang berdiri 2008 lalu itu mendukung pengembangan usaha pemula, kecil, dan menengah berbasis teknologi tepat guna.
Para pendiri Atnic Ekotekno bertemu sejak 2010 ketika masih kuliah di Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum mendirikan Atnic, mereka bekerjasama di tim robotika dan klub roket kampus, berkompetisi, dan juara, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Awal 2014, mereka menjadikan hobi sebagai sebuah bisnis dan memulai dengan nama Atnic. Mereka menerima berbagai pesanan untuk membuat perangkat teknologi secara spesifik. Contohnya, jam digital dengan fitur yang unik, lampu kubus dengan animasi LED.
November 2014, mereka menerima ajakan PT Indmira untuk berkolaborasi membuat perangkat teknologi berdasar permasalahan yang ada. Ini jadi titik awal kelahiran Jala.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News