Reporter: Marantina | Editor: Rizki Caturini
Sebagai salah satu bukti topi bambu sebagai ikon Kabupaten Tangerang, pemerintah memakai gambar topi bambu pada logo daerahnya. Akan tetapi, penghargaan terhadap produk topi bambu dianggap sekarang semakin merosot. Buktinya, jumlah perajin semakin sedikit.
Oleh karena itu berdirilah Komunitas Topi Bambu yang bertujuan mengembalikan masa kejayaan produk para pelaku UKM ini. Adalah Agus Hasanudin dan beberapa rekan penulis blog yang merasa gelisah dengan kemunduran sentra produksi kerajinan topi bambu di Kabupaten Tangerang. Mereka juga merasa pemerintah kurang mendukung para penganyam dan perajin. Padahal, potensi dari bisnis topi bambu terbuka lebar.
Sebab itu, Agus merintis komunitas ini pada Januari 2011. Ia lantas membuat situs www.topibambu.com agar semakin banyak orang yang mengetahui eksistensi sentra ini. Usaha Agus dan rekan blogger tidak sia-sia. "Dulu orang-orang tidak tahu di mana produsen topi bambu, khususnya topi pramuka yang sudah dipakai sejak SD, sekarang mulai banyak media yang meliput dan mempublikasikan sentra ini," ujarnya.
Tak hanya itu, banyak perusahaan yang melirik perajin topi bambu untuk diajak kerja sama. Telkomsel misalnya. Melalui program corporate social responsibility (CSR), Telkomsel membangun sebuah galeri untuk memamerkan produk buatan para perajin topi bambu di Cikupa, Tangerang. Smartfren juga ikut mendukung pemberdayaan perajin topi bambu dengan menyediakan internet gratis.
Pamor sentra ini pun semakin terkerek sejak Komunitas Topi Bambu mencetak rekor MURI dengan membuat topi raksasa berdiameter dua meter pada Agustus 2011. "Saya juga membantu perajin memasarkan produk mereka via internet," kata Agus.
Bermula dari mendirikan komunitas, Agus pun ikut menjual topi bambu sejak akhir 2011. Agus menambahkan, meski sudah lama berdiri, para perajin topi bambu belum berhasil menembus pasar luar negeri. "Ada beberapa kriteria barang ekspor yang belum bisa dipenuhi, salah satunya kualitas produk yang tidak berubah," ujar Agus.
Sebenarnya, Agus kerap didatangi pembeli dari luar negeri. Pada akhir 2013, ia dapat order dari pengusaha Hong Kong untuk membuat 50.000 topi bambu per bulan. Namun, ia tidak bisa menyanggupi karena kekurangan tenaga pekerjanya.
Akibatnya, perajin topi di sentra ini, hanya mengandalkan pelanggan tetap dari dalam negeri. Maklum, bisnis ini umumnya bisnis turunan dari keluarga sehingga sudah punya pelanggan tetap. "Ayah saya pun dapat pelanggan dari kakek saya," ujar Atmaja, seorang perajin .
Secara rutin, Atmaja mengirimkan produknya ke pasar-pasar di Surabaya, Bandung, dan Cirebon. Kadang-kadang, ada pelanggan baru datang ke rumah Atmaja yang berfungsi sebagai workshop untuk melihat proses pembuatan topi. Setiap bulan selalu ada konsumen baru yang berminat membeli produknya.
Tidak jarang juga Atmaja membantu produsen lain yang sedang kebanjiran order dan membutuhkan bantuan. Hal ini cukup lumrah di kalangan perajin. Anda mau pesan topi bambu? (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News