Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID -
Sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, batik terus berkembang. Tak hanya motifnya yang kian cantik, warna batik pun kian beragam. Kini, batik yang menggunakan warna dari bahan-bahan alami makin disenangi.
Bunga, daun hingga akar-akaran menjadi bahan pewarna alam. Penggunaan bahan alami ini menjadi tren seiring gencarnya kampanye pelestarian lingkungan.
Dheni Nugroho, pemilik Guru Batik asal Yogyakarta mengatakan, tahun ini menjadi puncak popularitas pewarnaan alami. Produk batik dengan warna-warna tumbuhan ini mulai banyak bermunculan.
Daun indigo fera, akar mengkudu, teger, tingi, dan tanjung banyak dia gunakan untuk mempercantik tampilan batik miliknya. Agar proses pengerjaan cepat, dia memilih menggunakan pasta atau serbuk dari berbagai bahan alami tersebut.
Aplikasi pewarna alami pada kain tidaklah mudah. Awalnya, laki-laki 23 tahun ini cukup sulit mengunci warna supaya tak mudah luntur. Proses pencelupan pun harus dilakukan delapan hingga dua belas kali.
Makanya, wajar bila harga batik ini lebih mahal dari batik lainnya. Dheni memasang harga Rp 450.000-Rp 1,5 juta per lembar. Dalam sebulan, Dheni bisa menjual sekitar 20 lembar kain batik.
Sebagian besar konsumen yang mampir ke galerinya adalah perempuan berusia 40-an. "Meski jumlah konsumennya tidak besar, penggemarnya terus meningkat," katanya pada KONTAN.
Dheni terhitung baru di jajaran pemain bisnis batik. Baru tiga tahun lalu dia menjalankan usaha ini dibantu oleh dua karyawan. Untuk mendongkrak produksi, dia juga menjalin kerjasama dengan pembatik sekitar rumahnya.
Nuri Ningsih Hidayati, desainer batik sekaligus pemilik Marenggo juga memberi penilaian bahwa popularitas batik warna alam meningkat tajam tahun ini. Ia melihat, pasar sudah siap menerima produk ramah lingkungan.
Nuri membuat sendiri warna alam yang digunakan untuk mengisi motif batiknya. Proses pembuatannya bisa mencapai dua hari. Dimulai dengan mengubah bahan baku mentah menjadi ekstrak atau pasta. Ia menggunakan tingi, daun mangga, kulit buah jelawe, indigo dan ketapang sebagai bahan pewarna.
Batik Marenggo dijual mulai dari Rp 350.000 sampai Rp 5 juta untuk batik sutra. Dalam sebulan, dia bisa menjual hingga 50 lembar batik. Kebanyakan konsumennya berasal dari Jakarta.
Ciri khas batik warna alam adalah warna-warna yang kalem dan lembut. Itu sebabnya, "Di Yogya pasarnya kurang bagus, karena orang di sini lebih suka warna yang ngejreng (menyala)," katanya.
Untuk memproduksi batik alam, Nuri memberdayakan ibu-ibu yang berada di Desa Bogem, Kecamatan Bayat, Yogyakarta. Sampai sekarang ada sekitar 25 ibu-ibu yang aktif membatik.
Batik warna alam tidak lekang direndam zaman
Popularitas batik warna alam diperkirakan akan bertahan lama, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Generasi milenial pun bakal tertarik dengan nilai yang diusung di dalamnya.
Nuri Ningsih Hidayati, perancang batik sekaligus pemilik Galeri Marenggo asal Yogyakarta mengatakan, usaha batik ini bakal terus berkembang karena warna alam akan menjadi warna masa depan. Apalagi, karakter warna yang dihasilkan cukup unik.
Nuri termasuk desainer yang agresif dalam menciptakan desain dan warna baru. Dia mendapat ide desain dari alam. Sedangkan munculnya warna-warna baru merupakan hasil tukar pengalaman dengan teman-temannya yang berada di kota lain.
Seperti sekarang, Nuri menjajal menanam pohon kayok pek yang biasa tumbuh di Kalimantan. Dia menyatakan, tanaman tersebut dapat menghasilkan warna yang unik seperti abu-abu kehitaman. Dia mendapatkan tanaman ini dari seorang temannya.
Saat ini Nuri memenuhi kebutuhan pewarna alam dari pasar di dekat rumahnya. Dia juga bekerjasama dengan komunitas pewarna alam di Yogyakarta.
Meski batik warna alam sudah dikenal luas, Nuri masih melakukan edukasi pasar untuk mendongkrak pasarnya. Caranya melalui komunikasi langsung dengan konsumen, pameran, workshop, kampanye secara digital melalui Instagram dan website.
Sudah dekat dengan dunia batik sejak masih anak-anak, bukan berarti membuatnya bebas kendala dalam menjalankan usahanya. Salah satu yang dihadapinya kini adalah soal sumber daya manusia. Pasalnya, bagi sebagian ibu-ibu keterampilan membatik masih menjadi hal baru. "Terkadang ada tidak pernah membatik sehingga harus diajari dari awal," ungkapnya kepada KONTAN, Senin (24/10).
Sampai sekarang ada sekitar 25 orang perempuan yang bergabung di galerinya. Dalam sebulan, mereka bisa menghasilkan sekitar 80 lembar kain batik.
Dheni Nugroho, pemilik Guru Batik asal Kota Gudeg menandaskan, popularitas batik warna alam tidak akan pudar. Selain limbah warnanya lebih aman bagi lingkungan, penggunaan warna alam sejalan dengan program pemerintah dalam mengurangi pewarna sintetis.
Sama dengan Nuri, Dheni banyak menggunakan media sosial untuk mempromosikan produknya. Agar pesannya langsung sampai ke konsumen, Dheni biasa menjelaskan kelebihan batik dengan pewarna alam kepada semua konsumen yang mengunjungi galerinya.
Ke depan, dia berharap produk fesyen ramah lingkungan ini dapat diterima pasar lebih luas dan mampu menembus konsumen di mancanegara. Pasalnya, produknya, kini baru dijadikan buah tangan oleh para wisatawan internasional yang menghabiskan liburan di Yogyakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News