Reporter: J. Ani Kristanti, Pradita Devis Dukarno | Editor: Tri Adi
Virus menjadi wirausaha kian mewabah di Indonesia. Banyak kaum muda terjangkit virus ini dengan membuat produk yang unik, menarik dan berkualitas. Bahkan, tak kalah dengan produk buatan luar negeri.
Banyaknya pengusaha pemula (start-up) yang kreatif menjadi peluang bagi para penyelenggara pop-up market atau pop-up shop. Pada dasarnya, pop-up market tak ubahnya bazar yang muncul tiba-tiba di tempat yang tak terduga.
Di Indonesia, pop-up market dimanfaatkan untuk membantu produk-produk lokal. Namun, bukan sembarang merek, bazar jenis ini memiliki tingkat kurasi tinggi terhadap produk. Alhasil, jenis barang yang ditawarkan menjadi kunci sukses event pop-up store.
Salah satu pelaku bisnis pop-up market adalah Anton Wirjono. Dia mengusung nama Brightspot Market untuk event bazar ini sejak 2009. Sebelum masuk ke bidang ritel, Anton cukup berpengalaman menggarap event atau konser musik. “Ide Brightspot ini muncul dari pasar malam yang tiba-tiba ada di jalanan yang sering saya lewati,” jelas dia.
Layaknya pasar malam, Brightspot Market juga bersifat temporer di suatu tempat. Biasanya berlangsung empat hari di pengujung pekan, mulai Kamis hingga Minggu.
Sebagai nilai lebih dari bazar yang sudah ada, Anton membuat konsep bagi peserta, yakni sekitar 70%–80% dari produk yang ditampilkan adalah produk lokal. “Saya memilihnya, seperti saya memilih musik, jadi ada kurasinya,” kata Anton. Sebut saja, brand dari Cotton Ink, Nikicio, Major Minor.
Sisanya, 20%-30% adalah produk impor yang susah dicari. Ambil contoh, produk impor, seperti sepatu Nike, Converse limited edition. “Ada juga jam tangan Daniel Wellington. Bukan merek besar, tapi yang ada penggemarnya,” kata Anton.
Dia lebih menitikberatkan pilihannya pada produk-produk lokal, yang biasa dicari konsumen dari produk sejenis merek luar negeri. “Jadi, kami mengubah mindset konsumen yang tadinya suka berburu barang buatan luar negeri, kami sediakan alternatif lokal yang tak kalah bagus. Ini sangat berpeluang,” jelas dia.
Anton menyelenggarakan Brightspot pertama di Plaza Senayan. Saat itu, ada sekitar 25 vendor yang menjadi peserta dengan jumlah pengunjung berkisar 5.000 orang. Kini, pada Brigthspot terakhir yang diadakan di Senayan City, Anton mencatat ada 130 vendor yang ikut dengan total pengunjung berkisar 60.000 orang.
Melihat animo pengunjung yang besar ini, Anton yang semula tak menjual tiket masuk ke arena pop-up market, kini menarik tiket masuk sebesar Rp 20.000 per orang untuk kunjungan selama tiga hari. “Kami ingin pengunjung yang datang adalah orang-orang yang benar-benar berniat untuk membeli, bukan cuma lihat-lihat. Buktinya, penjualan vendor naik,” kata Anton. Selain itu, dengan tiket orang yang masuk bisa lebih teratur atau tidak berjubel.
Selain dari tiket masuk, Brightspot juga mematok sewa tempat bagi para vendor. Pada event terakhir, banderol biaya sewa ruang ukuran 3x3 m2 sebesar Rp 9 juta. “Itu biaya untuk empat hari,” kata Anton.
Konsep baru bazar ala pop-up store juga dijajal oleh Andrew Hirawady dengan mendirikan All Acces Jakarta (AAJ). Berdiri sejak Oktober 2012, AAJ rutin menggelar pop-up store tiap dua bulan dengan nama The Meet Market. Di luar itu, mereka juga memiliki event serupa setiap tahun dengan skala yang lebih besar, seperti I Love Bazaar Jakarta, Eat Art Loud, The Weekend Market dan The Meet Market Christmas.
Sama seperti Anton, Andrew juga menganut konsep pasar yang terkurasi. “Peserta bazar adalah produk dari brand lokal dan online shop dengan harga terjangkau, tapi memiliki disain unik dan kualitas bagus,” jelas Andrew. Dalam event skala besar, dia bilang, ada sekitar 120 brand yang berpartisipasi.
Lokasi dan produk
Kendati konsep bazar ini sudah berjalan selama lima tahun, potensinya masih besar. Hal ini terlihat dari jumlah pengunjung yang terus berlipat sepanjang tahun. “Meski ditarik tiket masuk, pengunjung yang datang masih banyak,” kata Anton.
Begitu pula, dengan vendor yang ingin menjadi peserta. Bahkan, daftar tunggu (waiting list) vendor untuk ikut Brightspot masih panjang. Maklum, event seperti ini sering dipakai vendor untuk jemput bola atau menemui langsung konsumen dan mendapat feed back.
Apakah Anda tertarik menjadi penyelenggara bazar dengan konsep pop-up market? Anton bilang, tak sulit memulai usaha ini. Langkah pertama, Anda harus mencari lokasi yang sesuai untuk event ini.
Seringkali, lokasi pop-up store ada di pusat belanja. Namun, Andrew menyebutkan lokasi di mal ini juga menjadi kendala bagi bagi penyelenggara bazar. “Banyak pengelola mal-mal besar yang menghubungi kami, namun harga sewanya tak reasonable,” jelas dia.
Alhasil, Anda juga harus kreatif untuk mencari lokasi. Anton misalnya. Dia mengambil lokasi Brightspot di pelataran parkir Gedung Panin Bank, Senayan City. Supaya nyaman dan menarik, dia mengolah ruang pamer dalam bentuk tenda-tenda.
Selain lokasi, karakter brand yang menjadi peserta juga menentukan kesuksesan event. Dalam hal ini, Anda harus pandai menyeleksi produk yang akan dijual di situ. Selain keuntikan dan kualitas, Andrew juga melihat banderol harga dari produk yang dijual. “Harga juga harus terjangkau,” kata dia.
All Acces Jakarta memilih brand-brand yang sudah dijajakan melalui situs sosial media, seperti Instagram, Facebook dan Twitter. Tentu, langkah ini akan memudahkan proses seleksi produk yang tampil.
Selain sewa tempat, pengeluaran terbesar penyelenggaraan pop-up market untuk produksi atau instalasi dasar. Asal tahu saja, untuk sekali event Anton bisa merogoh kocek antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta. “Tapi, itu tergantung dari jumlah vendor, sewa tempat dan dekorasi,” jelas dia.
Anda tertarik menjadi pengelola pasar dadakan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News