kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Berburu oleh-oleh di pesisir Lombok (3)


Sabtu, 05 Mei 2018 / 17:20 WIB
Berburu oleh-oleh di pesisir Lombok (3)


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Semakin sore kawasan wisata Tanjung Aan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) kian ramai. Tentu momentum seperti ini tidak dilewatkan begitu saja oleh para pedagang di Tanjung Aan. Mereka langsung menyerbu dan mendekati pengunjung ketika datang dengan bus atau mobil.

Di tengah pendekatan ke pengunjung yang agresif, terselip sedikit konflik dan duka para pedagang di Tanjung Aan. Jumailah, salah satu pedagang kain tenun mengungkapkan, dirinya terpaksa berjualan di sini  karena merasa tak mendapat kesempatan berjualan di desanya, Desa Suku Sasak di Sade. "Saya lari ke sini karena persaingan di Desa Sade sengit," ujarnya.  

Sementara, koperasi yang menampung hasil tenun dan barang kerajinan untuk dijual bersama pada para wisatawan, nyatanya didominasi oleh segelintir orang yang berpengaruh di desa tersebut. Alhasil, warga biasa lazimnya sulit memasarkan hasil kerajinan mereka. "Biasanya yang bisa berjualan di koperasi Desa Sade itu istri-istri pemandu wisata. Mereka lebih diprioritaskan karena suaminya sendiri jadi pemandu wisata," jelasnya.

Daripada harus terlibat konflik dengan sesama warga Desa Sade, Jumailah dan sejumlah pedagang lain berinisiatif untuk mencari kesempatan dan pasar baru. Ia tak bisa diam membiarkan hasil tenunnya tergeletak begitu saja.

Namun, berjualan di Tanjung Aan juga belum tentu laku. Pasalnya, wisatawan biasa lebih dulu mengunjungi Sade dan berbelanja di sana. Padahal, kata Jumailah, harga kain tenun di Desa Sade bisa dua sampai tiga kali lipat lebih mahal dibanding harga di Tanjung Aan.

Sama seperti Jumailah, Munaris juga merasakan ketatnya persaingan dagang di desanya. Demi kedamaian pula, Munaris lebih memilih untuk berjalan sedikit lebih jauh, menjajakan produknya di Tanjung Aan.

"Lebih baik saya jualan di sini daripada harus berkonflik di Sade sana. Ya, walaupun untungnya tidak seberapa. Kalau di sana kaos seperti ini dijual sampai Rp 40.000 per buah," ujar Munaris. Baginya, untung tipis bukanlah masalah, selama modal bisa terus berputar dan cukup untuk makan sehari-hari.

Di tengah pendapatan yang serba tidak menentu ini, Munaris dan Jumailah sama-sama berharap agar pemerintah daerah memperhatikan para pedagang di Tanjung Aan. Setidaknya para pedagang ini berharap diberi akses ke pembeli atau dibuatkan kios yang layak agar mereka tak perlu lagi menjajakan produk mereka dengan berjalan kaki sambil menggendong barang dagangan.

"Kami merasa memang pemerintah daerah kurang perhatian terhadap pedagang-pedagang di sini. Fasilitas untuk berjualan kami saja, tidak ada. Tapi mau bagaimana lagi, kami sudah usul, tapi belum didengarkan," pungkas Jumailah.        

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×