Reporter: Cindy Silviana Sukma | Editor: Havid Vebri
Tempe merupakan makanan olahan kedelai yang digemari semua kalangan. Tak terkecuali orang kota. Buktinya, di Jakarta ada banyak sentra produksi tempe dan tahu. Salah satunya ada di Gang Tempe, Jalan KH Mas'ud, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hampir sebagian besar warga di Gang Tempe ini menggantungkan hidupnya dari tempe.
Seluruh produksi dipusatkan di rumah-rumah warga. Begitu memasuki gang ini, akan nampak susunan rak kayu tempat menaruh tempe di depan-depan rumah. Tak banyak aktivitas yang dilakukan warga saat KONTAN mendatangi tempat ini pada Jumat (17/10).
Hanya ada beberapa orang yang tengah sibuk membungkus tempe dengan daun pisang. Salah satunya Muhammad Husaeri, seorang pengrajin tempe di daerah ini. Di rumah berukuran 12 meter (m) x 9 m, Husaeri tinggal bersama dua kepala keluarga lainnya yang juga berprofesi sebagai pengrajin tempe.
Lelaki asal Pekalongan, Jawa Tengah ini sudah membuat tempe sejak tahun 1997. "Saya meneruskan usaha tempe dari orangtua saya," katanya. Setiap harinya, ia mengolah kacang kedelai menjadi tempe. Aktivitas itu ia lakoni sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB.
Dalam sehari, ia membutuhkan sekitar 150 kilogram (kg) kacang kedelai untuk diolah menjadi tempe. "Hasilnya bisa menjadi 450 kg tempe," katanya. Proses pembuatan tempe ini membutuhkan waktu hingga tiga hari. Biasanya ia menjual tempe bikinannya pada malam hari.
Tempe tersebut dijual ke pelanggan dan pasar di daerah Kebayoran Lama. "Pelanggan saya banyak pemilik tempat makan, restoran, dan pedagang sayur," ujarnya. Husaeri memproduksi tempe dalam dua ukuran, yakni 35 sentimeter (cm) x 12 cm dan 30 cm x 12 cm. Masing-masing dihargai Rp 5.000 hingga Rp 6.000.
Dalam sehari, ia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 2 juta atau Rp 60 juta sebulan. Setelah dipotong biaya tenaga kerja, belanja kedelai, dan bahan baku lainnya, keuntungan bersih yang bisa diperoleh sekitar Rp 400.000 per hari.
Siswanto, perajin tempe yang juga Ketua RT di Gang Tempe mengatakan, di wilayah ini terdapat sekitar 80 warga yang menggantungkan hidupnya pada tempe. Siswanto yang juga berasal dari Pekalongan sudah menjalani usahanya sejak 2001. "Jadi sudah atau 13 tahun," katanya.
Siswanto biasanya mengolah 150 kg kedelai setiap hari. Namun, jika sedang sepi, ia mengurangi kapasitas produksi menjadi 130 kg kedelai dalam sehari. Bersama dua tenaga kerja, ia memproduksi tempe sejak pagi hingga sore hari.
Malam harinya, tempe tersebut dijual ke pedagang di Pasar Kebayoran Lama. Jika sedang ramai, ia bisa memperoleh omzet Rp 1,8 juta dalam sehari dengan laba Rp 200.000 per hari.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News