kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bergulat dengan keterbatasan bahan baku daur ulang


Selasa, 31 Agustus 2010 / 10:23 WIB
Bergulat dengan keterbatasan bahan baku daur ulang


Reporter: Raymond Reynaldi | Editor: Tri Adi

Mendesain produk daur ulang bukanlah sebuah persoalan mudah. Keterbatasan dan karakteristik bahan yang tersedia menjadi tantangan tersendiri. Tak hanya memadupadankan warna dan motif, desainer produk daur ulang juga harus menguji konstruksi produknya supaya benar-benar fungsional.

Usia keduanya memang terbilang masih muda. Rachmat Sutrisno maupun Tiffany Prafitria baru berusia 24 tahun. Namun, produk daur ulang yang mereka desain sudah mampu menembus pasar mancanegara.

Padahal, tak mudah mengolah barang yang sudah menjadi sampah kembali jadi produk fungsional. Berbekal ilmu desain di bangku kuliah, keduanya mencoba beradu nasib sebagai desainer produk daur ulang.

Menurut Rachmat, yang kerap disapa Mato, kesulitan mengolah bahan daur ulang terletak pada kecocokan materi dengan desain produk yang diinginkan. Setelah selesai menggambar pola di karton, proses konstruksi produk pun harus dilalui. Ibarat merakit mainan, proses konstruksi pola menjadi barang memerlukan langkah yang panjang.

Mato harus memikirkan cara menggunting, melipat, dan teknik menjahit yang paling pas agar model serta warnanya muncul sesuai bayangan. "Jangan lupa, semua bahannya sampah plastik. Seperti kemasan, billboard yang memiliki warna serta karakteristik berbeda," ujar pria yang mendesain sneakers terbaik di sentra sepatu Cibaduyut pada tahun 2008.

Namun, mengolah sampah bagi Mato bukanlah hal baru. Ketika kuliah dulu, dia sering mengolah sampah menjadi tas selempang, bahkan sepatu sneakers.

Untuk produk dompet laki-laki, Mato membutuhkan, waktu sekitar satu hari penuh guna menggambar pola desainnya. Sementara proses konstruksi memakan waktu lebih lama, karena harus lolos pengujian yang berlangsung berulang kali.

Tiffany menambahkan, kesulitan lainnya adalah keterbatasan bahan baku. Maklum, tak semua plastik bekas datang dalam jumlah yang banyak untuk jangka waktu panjang. Dia harus hati-hati mengolahnya saat eksperimen agar ketemu pola konstruksi yang tepat.

Kadang, mereka harus terjun sendiri ke lapangan mencari bahan baku yang cocok dengan model yang tengah digarap. "Karena produk ini akan menjadi mass product, perlu dukungan pasokan bahan baku yang berkelanjutan," ujar Tiffany, yang menamatkan pendidikan desain produk di Institut Teknologi Nasional, Bandung, pada tahun 2004. Belum lagi, imbuhnya, produk tersebut harus sesuai dengan tren yang berkembang di pasar.

Karena itu, Mato dan Tiffany ingin berkreasi demi menelurkan desain produk daur ulang yang mampu menarik minat konsumen domestik. Selain itu, menggeser pandangan miring soal produk daur ulang.

Namun, pendapatan mereka tak setinggi desainer lainnya. Toh, Mato maupun Tiffany merasa sudah cukup puas dengan apa yang diterimanya saat ini. Meski enggan menyebut angka pastinya, Mato menjelaskan, mereka mendapat penghasilan tetap saban bulan dalam kisaran Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. "Yang penting, kami bisa mewujudkan idealisme," tandas alumni ITB ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×