kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berkah salah jurusan, Lofty Rainidi sukses di seblak instan


Minggu, 09 Desember 2018 / 07:35 WIB
Berkah salah jurusan, Lofty Rainidi sukses di seblak instan


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Enggak pernah sedikit pun terlintas dalam benak Lofty Rainidi Kusnadi menjadi pengusaha. Apalagi, pengusaha sukses. Cita-cita pria kelahiran 13 November 1990 ini: jadi akuntan.

Tapi, ia gagal masuk jurusan akuntansi di universitas negeri yang menjadi incarannya. Begitu juga saat mendaftar jurusan yang sama di Politeknik Negeri Bandung (Polban), dia tidak lolos. “Yang lolos pilihan kedua Polban, Jurusan Administrasi Niaga, program studi pemasaran,” ungkap Lofty.

Jurusan ini yang kemudian mengantarkan Lofty jadi pengusaha seblak basah instan yang sukses berbendera Mommyindo. Dengan karyawan di bagian produksi 12 orang dan pembuatan seblak basah instan hingga 2.000 cup per hari, ia bisa mengantongi penghasilan sampai Rp 350 juta sebulan.

Padahal sejatinya, Lofty masuk kategori orang yang gengsi banget untuk berjualan. Tapi akhirnya, ia mulai menikmati kegiatan dagang lantaran terbiasa dengan tugas-tugas kuliah yang kebanyakan praktik membuat sebuah usaha. “Jadi, dari salah jurusan malah jadi jatuh cinta,” katanya terbahak.

Bahkan, saat masih kuliah, tepatnya di semester akhir atau awal 2012, ia memberanikan diri membuka kedai kaki lima di dekat kampus Universitas Islam Bandung (Unisba). Bermodal Rp 5 juta hasil pinjam dari kakaknya, ia berjualan semacam rice bowl cup dengan sistem pemesanan untuk dibawa pulang (takeaway).

Ide usaha ini murni dari dirinya. Kala itu, belum kepikiran jualan seblak. “Mikir-nya, tuh, kebutuhan anak kuliah saja, ya, nasi. Kebetulan, saya ada teman yang mau kerjasama, dia suka memasak,” ujar Lofty.

Cuma, baru jalan tiga bulan, usahanya goyang gara-gara karyawan yang jaga kedai mengundurkan diri. Karena belum juga dapat pengganti, bisnisnya pun vakum selama satu bulan. Lalu, kedai buka lagi, namun muncul masalah baru: datang kompetitor yang jualan seblak. “Kedai saya tidak ramai, kedai dia ramai, antre panjang banget,” imbuh dia.

Dari situ justru muncul inspirasi membuat seblak basah instan. Menurutnya, seblak, kan makanan semacam mi. Jika tidak langsung dimakan, bisa benyek. Padahal, yang beli biasanya bawa pulang seblaknya ke rumah atau indekos.

Eksperimen sendiri

Setelah mantap memutuskan membuat seblak basah instan, Lofty pun menutup kedainya pada Oktober 2012, sampai habis masa sewa tempat. “Usaha pertama saya ini bisa dibilang bangkrut. Sempat stres karena saya sambil menyusun skripsi. Tambah lagi, tema skripsinya tentang marketing plan usaha saya itu,” bebernya.

Meski tidak punya dasar memasak, Lofty bereksperimen sendiri untuk menciptakan seblak basah instan di dapur rumah milik orangtuanya. Ia memakai bermacam bumbu untuk campuran bahan utama seblak yakni kerupuk. Setiap selesai bereksperimen, dia langsung meminta sang ibu, kakak, dan anggota keluarga lainnya di rumah untuk mencicipi.

Lofty butuh waktu empat bulan untuk melakukan trial and error hingga benar-benar menghasilkan seblak basah instan yang ia inginkan. Kemudian, ia membagi-bagikan sampel ke teman-teman kuliah dan keluarga besarnya. “Ternyata, banyak yang pesan,” imbuh dia.

Hanya sebetulnya, saat bereksperimen membuat seblak basah instan, sang ibu tidak mendukung langkah Lofty berbisnis kudapan itu. Ibunya ingin selepas kuliah Lofty bekerja bukan berbisnis seblak.

Di awal bisnis, ia membuat sendiri seblak basah instan, dari sore sampai malam. Sedang pagi hingga siang, dia berkeliling mengantar pesanan.  “Selama sebulan saya melakukan itu, kadang dibantu kakak, kadang dibantu ibu,” kata Lofty yang bermodal Rp 3 juta hasil dari menjual iPhone miliknya untuk memulai usaha seblak.

Kemasan awalnya masih sangat sederhana. Sebagai wadah seblak basah instan, ia menggunakan gelas kertas (paper cup) sisa usaha rice bowl. Sementara bumbunya, dia memakai plastik berklep.

Sejak awal, Lofty mengusung merek Mommyindo. Yang dalam kacamatanya berarti: saya sayang mama. Karakter ikonnya adalah seorang ibu yang cerewet tapi sayang sama anaknya.  “Waktu saya bereksperimen membuat seblak basah instan, mama, tuh, cerewet lah, selalu tanya, ngapain, sih, bikin seblak terus,” ungkapnya.

Di bulan awal, ia memproduksi sekitar 20-an cup per hari dengan harga Rp 8.000 per cup. Bulan berikutnya, produksinya bertambah jadi 50-an cup sehari, seiring pesanan yang meningkat. Dia pun mulai mendapat bantuan dari sang ibu dan kakak untuk produksi.

Untuk pemasaran, Lofty membuka kanal daring yakni via fitur percakapan instan BlackBerry Messenger (BBM) dan akun Twitter. Dia juga beriklan di salah satu akun Twitter kuliner Bandung yang pengikut tidak terlalu banyak, sekitar 200.000-an follower. “Biayanya Rp 100.000 per tweet karena bujet terbatas,” ujarnya.

Menurutnya, promosi di Twitter sangat membantu pemasaran Mommyindo. Soalnya, bisa menjangkau konsumen lebih luas lagi. Dari situ, makin banyak order yang masuk lewat BBM dan akun Twitter.

Namun, tak sedikit pula yang bertanya tentang seblak basah juga seblak basah instan. Maklum, ketika itu seblak belum sepopuler sekarang termasuk di Bandung. “Jadi, dari dulu saya edukasi pasar gila-gilaan soal seblak,” katanya.

Dan, edukasi pasarnya tidak hanya berlangsung satu dua bulan saja, tapi sampai tiga tahun. “Saya enggak lelah edukasi pasar, karena sudah terlanjur nyemplung di usaha ini. Kedua, saya ingin agar seblak Mommyindo bisa seperti Coca-Cola yang ada di berbagai pelosok Indonesia,” tegas Lofty.

Masuk minimarket

Begitu produksi meningkat jadi 300-an cup per hari pada Februari 2013, dia mulai merekrut karyawan untuk bagian produksi. Ia kemudian fokus di pemasaran dan pengiriman termasuk edukasi serta mencari pasar di luar Bandung. Selain jualan di Twitter, Lofty juga buka lapak di Instagram dan Facebook yang membuat permintaan semakin ramai.

Sejalan produksi yang terus bertambah, dia membeli mesin semiotomatis seharga Rp 8 jutaan pada awal 2014. “Saya ingin agar kemasannya lebih rapi. Mesinnya buat packaging bumbu dan minyak,” ujarnya.

Penjualan yang terus meningkat, Lofty bilang, juga berkat peran reseller. Ia menyebutnya sebagai agen.

Mulanya, sebagian agen adalah konsumen Mommyindo. “Dia jual dua tiga cup dulu kemudian jadi reseller. Konsumen jadi reseller. Jadi,  tidak ujug-ujug langsung menjadi reseller,” jelas dia

Saat ini, ada sekitar 300-an orang yang menjadi reseller Mommyindo. Tapi, yang aktif atau sering order hanya berkisar 80-an orang. “Cuma, saya tidak rugi juga karena sistemnya beli putus,” kata Lofty yang menambahkan, untuk menjadi reseller ada minimal pesanan, yakni dua dus isi 48 cup.

Mulai pertengahan 2014, bisnis seblak basah instannya benar-benar menghasilkan profit. Dia pun menggandeng distributor yang dulunya adalah reseller dengan penjualan paling bagus.

Tugasnya, mengirim produk ke para reseller di seluruh Indonesia. Dengan begitu, Lofty bisa  fokus urus produksi.

Hanya, sehabis Lebaran 2014, ia menunjuk distributor baru yang punya jaringan ke minimarket. Distributor ini yang membantu memasukan Mommyindo ke Circle K dan Indomaret.

Mommyindo ada di Circle K Bandung dan Surabaya sejak 2015. Lalu, di Indomaret Jawa Barat awal 2018. Rencananya, pada 2019 masuk ke Indomaret Jabodetabek.

Meski begitu, bisnisnya masih memiliki tantangan terutama untuk kemasan cup. Pasalnya, Lofty masih bergantung ke produsen kemasan cup asal Jakarta yang menjadi mitranya.

Ambil contoh, saat banjir besar melanda sebagian wilayah Jakarta, ia terpaksa libur produksi selama dua minggu. Sebab, pengiriman kemasan cup terhambat.

“Saya rugi banget, materi sudah pasti, tapi ke konsumen juga, kepercayaan kepada saya. Tapi, agen dan konsumen pada mengerti karena, kan, ramai banget berita Jakarta banjir,” ungkap Lofty.

Ke depan, dia ingin menciptakan varian rasa baru untuk seblak basah instannya. Saat ini, sudah ada lima varian rasa: orisinal, rendang, iga bakar, rica, dan pecel.

Rasa rendang lahir tahun 2014. Sementara iga bakar, rica, pecel mulai hadir di 2017. Yang jadi favorit konsumen masih rasa orisinal.

“Inspirasinya karena saya ingin eksplorasi cita rasa khas Indonesia. Inovasi rasa sebetulnya ingin setiap tahun ada, tapi karena tahun ini lagi riweuh ngurus produksi, jadi mudah-mudahan tahun depan ada rasa baru lagi,” jelas Lofty.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×