kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berkat ban bekas, Sindhu jadi buruan pembeli


Jumat, 01 Desember 2017 / 11:10 WIB
Berkat ban bekas, Sindhu jadi buruan pembeli


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Jeli melihat pasar produk upcycle mengantarkan Sindhu Prasastyo menggapai sukses. Usahanya bermula dari kepedulian terhadap lingkungan serta pengalaman mengolah limbah menjadi produk bernilai ekonomi. 

Setelah melewati proses riset serta trial and error, pada 2010 lalu, Sindhu mendirikan Sapu di Salatiga, Jawa Tengah. Sebelumnya, dia bergabung dengan komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK) sejak 2006 silam. Kegiatannya fokus pada konservasi air di Salatiga, Jawa Tengah serta program penanaman pohon. 
 
Sudah 18 tahun eksis, kini produknya makin banyak diburu konsumen dalam dan luar negeri. Selain Jakarta, Yogya dan Bali, produknya kerab mewarnai pasar Eropa, Amerika dan Australia.  
 
Dia juga terus mengembangkan produknya, mulai dari aksesoris, anting, kalung hingga tas. Total sudah ada 60 desain produk Sapu. 
Tiap bulan total produksinya mencapai 1.000 sampai 15.000 unit. Produk Sapu dihargai mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 750.000 per unit. Sindhu membuat harga berbeda untuk pasar dalam dan luar negeri. Saat barangnya masuk pasar internasional, harga jual untuk end user dipatok tiga kali lipat lebih mahal. 
 
Saat memasuki musim liburan internasional yaitu periode Januari-Mei, permintaan bakal meningkat. Alhasil, dia harus menggenjot jumlah produksinya. Rata-rata dalam sebulan total penjualannya dapat mencapai ratusan juta rupiah.
 
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, Sindhu menjalin kerjasama dengan pemasok ban bekas. Namun, tak hanya ban bekas, Sindhu juga terus mengembangkan bahan bakunya, seperti  tenda tentara bekas karena kualitas kainnya bagus dan kuat. Selain itu, dia juga menyulap VCD  board ponsel  menjadi cincin dan lainnya. 
 
Untuk promosi produk, dia lebih banyak menggunakan ajang pameran. Pasalnya, acara tersebut dapat menjadi tempat bertemu dengan buyer internasional serta mendekatkan secara langsung produk kepada konsumen. Namun, dia juga tetap memakai media sosial seperti Instagram dan website untuk menjangkau pasar yang lebih luas.                    

Pantang menyerah meski tak genggam ilmu desain

Tanpa bekal ilmu desain fesyen, tak menyurutkan langkah Sindhu Prasastyo mengolah barang bekas menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. Tingginya kesadaran masyarakat internasional akan lingkungan dan menggunakan produk daur ulang, mendorong keyakinan Sindhu, produknya bakal digandrungi. 
 
Mewujudkan impiannya, dia merintis Sapu pada 2010 bersama dua rekannya. Mesin jahit seadanya dan ban dalam bekas dari tukang tambal ban menjadi modal pertamanya. 
 
Meski sudah terbiasa membuat produk upcycle, laki-laki yang akrab disapa Ayok ini juga harus melewati masa trial and error sekitar dua tahun. Maklum, mesin jahitnya ternyata tak cocok dengan material yang ia gunakan. Dus, seringkali mesin rusak ditengah-tengah produksi. "Mesin untuk jahit pakaian kita pakai jadi memang harus diakali," katanya pada KONTAN, Jumat (17/11). 
 
Pantang menyerah, anak keenam dari delapan bersaudara ini tetap membuat produknya. Dia memperhatikan detil serta desain yang disesuaikan konsumen luar negeri. 
 
Setelah siap, dia memilih Bali sebagai awal perkenalan produk Sapu. Alasannya, Bali  merupakan destinasi wisata ketiga di dunia yang kerap didatangi wisatawan internasional.  
 
Bak gayung bersambut, Ayok berhasil menarik perhatikan konsumen. Pada debut pameran pertama itu, dia juga mendapatkan buyer pertama yang memesan 500 unit aneka produk seperti, tas, dompet, dan aksesoris. 
 
Lantaran modal yang dia miliki terbatas, Ayok pun mengajukan pinjaman perbankan. Seluruh dana hasil utang itu dia pakai untuk membeli bahan baku, perbaikan mesin dan lainnya. Sayangnya, dia enggan menyebutkan nilai pinjamannya saat itu.  
 
Setelah Bali, dia juga  menyasar lokasi pemasaran lainnya, seperti Yogyakarta dan Jakarta. Menurutnya, ajang pameran ini menjadi media paling tepat untuk memperkenalkan produk dan  secara langsung dan bertemu dengan buyer. 
 
Mulai dari sana, satu persatu buyer internasional pun merapat. Meski produknya sudah tersohor, Ayok masih mempertahankan proses pembuatan secara handmade untuk menghasilkan karya yang unik.             

Masih saja terkendala urusan modal

Bukanlah hal mudah untuk bisa mempertahankan sebuah bisnis. Sindhu Prasastyo, pemilik SAPU banyak menemui hambatan dalam menjalankan usahanya sejak awal hingga sekarang. 
 
Dulu, keterbatasan modal menjadi masalah utama. Dia pun harus meminjam dana bank agar bisa memenuhi permintaan. Namun, selang 18 tahun, modal masih saja menjadi kendala. "Harga mesin dengan teknologi modern mahal sekali, kami ingin mengganti seluruh mesin," angannya.  
 
Selain itu, karyawan juga menjadi kendala lainnya. Sindhu kesulitan mendapat karyawan dengan sesuai standarnya. Makanya, dia selalu memberikan pelatihan  terlebih dulu, sehingga proses menjadi lebih lama. Kondisi ini, sejatinya cukup mengganggu dalam hal produksi.     
 
Berbeda dengan perancang fesyen lainnya, laki-laki yang lebih akrab disapa Ayok ini mengaku tidak mempunyai pembagian periode khusus untuk meluncurkan koleksi baru. "Saat menemukan ide baru, saya langsung buat desain dan aplikasikan," katanya. Dalam setahun, dia biasanya meluncurkan koleksi sebanyak lima hingga sepuluh kali. 
 
Ayok banyak menggali inspirasi dari alam. Ambil contoh, daun yang dikembangkan menjadi konsep anting-anting dengan sentuhan seni geomatrik.  
 
Menurutnya, pasar luar negeri cukup menggemari desain-desain aksesoris seperti itu. Lainnya, dia pun selalu mengikuti tren fesyen dunia agar bisa bersaing dengan pemain lainnya. 
 
Maklum, pemain baru disektor ini banyak bermunculan. Meski Ayok belum menemukan pesaing bisnisnya, namun dia tak merasa takut, karena setiap desainer punya keunikan.  
 
Kedepan, laki-laki asal Salatiga, Jawa Tengah ini bakal terus mengkampanyekan produk-produk ramah lingkungan. Baik melalui pameran atau media sosial.  
 
Agar tidak hanya meraup untung dari pasar internasional, Ayok rajin mengikuti ajang pameran kerajinan lokal supaya pasar Indonesia juga mengenal produknya. . 
 
Dalam penilaiannya, meski terlambat bila dibandingkan luar negeri, potensi usaha ini bakal besar dan mampu bertahan di dalam negeri. Sebab, gerakan penyelamatan lingkungan kian gencar dilakukan oleh berbagai kalangan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×