Reporter: Melati Amaya Dori | Editor: Tri Adi
Keuletan dan inovasi menjadi modal Susanti Alie kembali menghidupkan bisnis keluarganya yang terpuruk. Tekad pantang menyerah pun mendorongnya terus mengembangkan usaha tradisional ini menjadi modern dan beromzet besar.
Menyelamatkan usaha keluarga bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, upaya itu merupakan wujud dari bakti seorang anak kepada orang tua. Dari sisi lain, boleh jadi, usaha itu menjadi pelajaran dan pengalaman berharga dalam mempertahankan bisnis dan orang-orang yang bernaung di dalamnya.
Kedua visi inilah yang mendorong Susantie Alie ketika harus pulang ke Indonesia pada 2004. Saat itu, Santi, panggilan akrab Susanti Alie, tengah menikmati karier sebagai eksekutif pemasaran di Swarovski AG, perusahaan kristal mewah asal Austria. Ia kembali ke Tanah Air untuk menyelamatkan perusahaan keluarga yang porak-poranda akibat ditinggal orang kepercayaan dengan membawa separuh karyawannya.
Santi pun harus siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di pabrik saus Cabe Payung, milik keluarga. “Waktu itu sangat sulit, karena yang tersisa hanyalah sebuah truk dan peralatan pengolahan saus sambal yang masih tradisional,” kenang dia.
Tak patah arang, Santi pun segera menyusun strategi baru. Ia bertekad memulai kembali usaha saus sambal meski dengan modal seadanya dan bantuan sepuluh karyawan yang tersisa.
Dalam tempo dua bulan, setelah mempelajari kelemahan usaha orang tuanya selama ini, Santi langsung merombak strategi. Ia mengganti botol kaca dengan kemasan isi ulang berbahan plastik berbentuk bantal. Maklum, saat itu, kemasan isi ulang termasuk hal baru bagi produsen saus. Santi pun bisa menghapus biaya pencucian botol. Kemasan plastik yang praktis juga membuka pasar yang lebih luas. Sebab, kemasan plastik ini cukup memangkas biaya transportasi.
Tak ingin setengah-setengah, ibu tiga anak ini juga melakukan pembenahan internal. Ia merombak manajemen perusahaan keluarga dan mengubahnya menjadi lebih modern. Santi membagi tugas dan wewenang karyawan lebih jelas, begitu pula dengan pencatatan keluar masuk uang dan barang yang lebih rapi.
Dia juga meniadakan distribusi dari internal dan memilih pihak ketiga sebagai pemasar produknya. Dengan begitu, Santi pun bisa lebih fokus meningkatkan produksi dan kualitas saus Cabe Payung.
Cabai asli dan higienis
Hanya saja, mencari pihak ketiga sebagai kepanjangan tangan distribusi bukan perkara mudah. Santi harus berkeliling dari pasar ke pasar untuk menjelaskan keunggulan produknya. Maklum, pemain saus sambal yang mengincar pasar menengah bawah dan pedagang pasar sudah sangat banyak.
Ia pun harus memberi penjelasan soal kualitas produknya yang menggunakan cabai asli dengan proses produksi yang higienis. Santi meyakinkan, mesin dan semua perabot pengolahan dicuci setiap hari.
Meski memakai kemasan plastik, Santi meyakinkan kalau produknya tetap tahan lama tanpa pemakaian bahan pengawet berlebihan. “Biasanya, kita akan menjumpai bintik-bintik kehitaman pada saus sambal dan tomat yang dibuat asal-asalan. Produk kami tidak seperti itu,” cetusnya lagi. Selain itu, ia menawarkan tempo pembayaran yang lebih lama untuk memikat para distributornya.
Pelan tapi pasti, berbagai strategi itu berhasil mendongkrak pertumbuhan Cabe Payung. Hingga pada 2006, Santi membuka pabrik baru di Cileungsi, bermodal kredit dari bank. Kehadiran pabrik baru ini ditandai dengan pendirian PT Bersama Olah Boga (BOB), sebagai bendera Cabe Payung.
Pengolahan saus yang menggunakan mesin berkapasitas besar pun lebih modern. Tak heran, pada rentang 2008 hingga 2009, lahirlah keluarga baru Cabe Payung, yakni saus sambal BOB yang menyasar kalangan menengah atas dan Soka yang mengincar pasar hotel, restoran, dan kafe.
Untuk meyakinkan konsumen, Santi juga mendirikan laboratorium di pabriknya. “Kami ingin mengedukasi masyarakat bahwa produk saus BOB ini sehat,” jelasnya.
Namun, mental wirausahanya harus menghadapi beberapa ujian. Ia pernah merugi karena ketidakjujuran distributor dan toko yang mengambil sausnya.
Produknya pernah pula tertimpa isu tak sedap terkait penggunaan bahan pengawet berlebihan. Alhasil, Santi harus membatalkan pengiriman satu kontainer. “Padahal, produk saya sudah mendapat sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia, izin dari Departemen Kesehatan RI serta Badan Pengawas Obat dan Makanan,” jelas penggemar perjalanan ini.
Tapi, tentu saja, Santi tak kapok. “Dunia bisnis ini sangat dinamis, saya anggap itu sebagai pembelajaran ke arah lebih baik, meski harus merogoh kocek lumayan dalam,” kenangnya.
Dari berbagai pengalaman itu, usaha saus ini terus berkembang. Kini jangkauan pasar Cabe Payung tersebar dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Tak heran, BOB bisa mencetak omzet puluhan miliar rupiah setiap tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News