Reporter: Teodosius Domina | Editor: Rizki Caturini
Menjadi perajin gula kelapa sudah menjadi pekerjaan turun temurun warga di Kecamatan Kokap, khususnya di Desa Hargotirto, Hargowilis dan Hargorejo. Di tiga desa tersebut terdapat ribuan petani gula kelapa.
Sebagai perajin gula kelapa, mayoritas dari mereka memiliki perkebunan kelapa sendiri. Kebetulan daerah Kokap ini sebagian besar terdiri dari pegunungan. Jika ditanami tanaman pertanian seperti padi, tentunya akan membutuhkan modal besar karena harus membuat sistem terasiring. Belum lagi menyiasati sistem pengairannya.
Makanya, banyak warga di sini memilih menanam pohon kelapa. Kebetulan komoditas ini memang bisa ditanam di lahan dengan kontur tanah apa pun.
Ketika menyambangi sentra produksi gula kelapa di Kokap, KONTAN juga berkesempatan menengok kebun para petani. Di sini, tidak ada lahan khusus yang ditanami pohon kelapa yang menjadi sumber nira.
Para petani lebih memilih bercocok tanam menggunakan sistem tumpang sari. Selain kelapa sebagai komoditas utama, mereka juga menanam cengkeh, kopi, dan kakao.
Rohmadi Suropati, salah seorang petani gula semut menuturkan, pohon-pohon tersebut biasanya juga tidak sengaja ditanam tetapi memang sudah ada turun temurun di kebun warisan orang tua. "Jadi memang kami biasa memanfaatkan semua tumbuhan yang ada di kebun," tuturnya.
Karena sebagian besar merupakan kebun warisan, maka tidak semua orang terampil membudidayakan pohon kelapa yang ada di kebun. Untuk itu, agar tetap bisa menikmati hasil kebun, tidak sedikit yang menggunakan sistem ijon, yaitu dengan menjual hasil tanaman dalam keadaan masih hijau atau masih belum dipetik dari batangnya.
Biarto, perajin gula semut yang lain menuturkan hal yang serupa. Dengan sistem ijon, masing-masing petani biasanya menggarap 15 hingga 20 pohon. Setelah disadap selama sehari semalam, satu pohon bisa menghasilkan sekitar 0,3 kilogram (kg) gula merah cetak.
Gula tersebut lalu dijual kepada pedagang pengumpul (pengepul), dan pengepul akan menjual lagi ke pemilik warehouse sekaligus alat pengkristal dengan harga yang sudah ditetapkan bersama. Saat ini harga satu kilogram gula cetak dibanderol Rp 15.000. "Dengan adanya Koperasi Serba Usaha (KSU) dan Kelompok Usaha Bersama (KUB), harga menjadi lebih terkontrol," imbuh Biarto.
KSU juga berperan sebagai pemegang sertifikasi, sehingga harus melakukan pengontrolan kualitas. Hasil pengkristalan gula merah oleh pemilik warehouse akan diuji apakah sudah sesuai dengan ketentuan. Praktis pengemasan akan dilakukan di KSU.
Meski begitu ternyata keberadaan KSU maupun KUB belum terlalu lama. Rohmadi menceritakan, para petani baru membuat kelompok usaha sekitar tahun 2008.
Sebelumnya para petani masih menjual produksi gula kepada para tengkulak. "Setelah adanya KSU harga menjadi stabil sehingga semua pihak lebih diuntungkan," imbuhnya. n
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News