Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Melihat kehidupan pengusaha sukses yang serba-enak, Edwin Yanee pun berkeinginan menjadi seorang entrepreneur. Sekalipun, pekerjaannya sebagai fotografer sebetulnya menghasilkan uang yang tak sedikit.
“Saya dapat insight (wawasan), kenapa mereka kerjaan bermain golf terus, tapi bisnisnya tetap growing (tumbuh). Kan, santai, saya ingin begitu,” ungkap pria kelahiran Jember, 4 Desember 1987, ini.
Tambah lagi, persaingan di bisnis fotografi semakin ketat, seiring pemain yang terus bertambah. Lalu, pekerjaan sebagai fotografer membuatnya tidak punya banyak waktu luang untuk menikmati hidup. Terutama, saat order memotret sedang banyak-banyaknya.
Itu sebabnya, Edwin pun banting setir jadi pengusaha. Bidang usaha yang ia pilih pun masih di dunia fotografi. “Saya mulai dari tali kamera dulu, terus nyambung ke tas kamera, lalu ke tas laptop, backpack, dan sekarang lebih ke aksesori traveling,” kata dia.
Ya, meski penuh perjuangan, pilihan Edwin akhirnya tidak salah. Dengan mengusung merek dagang TFG, singkatan dari Taylor Fine Goods, usaha yang ia rintis sejak 2011 itu terus berkembang. Omzetnya, kini Rp 1 miliar sebulan. Tentu, berlipat-lipat dibanding pendapatan sebagai fotografer.
Edwin sendiri mulai menjalani profesi fotografer pada 2006. Saat itu, dia masih kuliah di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Awalnya, pekerjaan ini bukan lantaran hobi, melainkan sebagai syarat wisuda.
Salah satu syarat kelulusan adalah wajib ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM). “Yang menurut saya gampang adalah fotografi,” ujar lulusan program studi desain interior ini.
Soalnya, Edwin memiliki kemampuan memotret. Nah, yang pertama kali memakai jasanya sebagai fotografer adalah perempuan yang dia senangi. “Ceritanya modus (pendekatan), saya motret acara ulang tahunnya. Dia mau bayar tapi saya tolak,” beber Edwin tersenyum.
Melihat hasil jepretan yang bagus, saudara dari wanita yang ia suka lalu meminta untuk memotret acara ulang tahunnya. Kali ini, dia mau dibayar, dengan upah Rp 300.000.
Dari situ, permintaan memotret mulai sambung menyambung. Kliennya bukan lagi sebatas kampusnya, tetapi meluas, mulai pemilik salon hingga korporat. “Hanya lewat mulut ke mulut saja,” kenang Edwin.
Sempat drop
Order yang semakin banyak membuat Edwin menyewa dua kamar kos. Satu buat studio foto, satu lagi untuk dia tidur. Lantaran penghasilan sebagai fotografer sangat lumayan, ia sempat bimbang, apakah lanjut atau berhenti kuliah.
Tapi, Edwin memutuskan untuk melanjutkan dua-duanya: kuliah dan fotografi. “Hingga akhirnya saya lulus kuliah dan diwisuda,” imbuhnya.
Selepas lulus kuliah pada 2010, ia mendapat order pemotretan ke Singapura. Ini berkat portofolionya, yang pernah memotret 70% hingga 80% korporasi yang ada di Surabaya.
Dari situ, dia mendapat tawaran kerjasama membuka studio foto di Jakarta. Namun, kongsi itu berjalan enam bulan saja.
Edwin pun kembali ke Surabaya untuk meneruskan pekerjaannya sebagai fotografer. Cuma, setahun berjalan, ia merasa pekerjaan itu tidak membuat dirinya berkembang.
Justru, itu tadi, waktunya banyak tersita untuk pekerjaan. Apalagi, pesaing makin banyak. Edwin pun mantap jadi pengusaha yang sebetulnya keinginan itu sudah muncul saat bekerja di Jakarta. “Mungkin, insting juga yang main,” katanya.
Sebenarnya, banyak yang menyayangkan Edwin pensiun dari pekerjaan sebagai fotografer. Terlebih, terjun ke bisnis yang sama sekali belum pernah dia tekuni. “Saya memang belajar dari nol,” ungkapnya.
Ia benar-benar memulai usaha pembuatan tali kamera seorang diri, mulai mencari bahan baku hingga penjahit. “Dan, saya merasakan sangat susah, berat banget,” aku Edwin.
Bermodal uang Rp 5 juta, dia membeli bahan baku. Bahkan awalnya, ia memotong sendiri bahan untuk tali kamera.
Dua bulan pertama, Edwin membuat tali kamera sebanyak 100 pieces. Lalu, dia menawarkannya ke teman-teman lewat BlackBerry Messenger.
Setelah itu, Edwin memberanikan diri membuat tas kamera. Sambil terus melakukan trial and error secara autodidak, ia terus memproduksi tali dan tas kamera. “Saya baru benar-benar paham bahan yang cocok untuk tas dan tali kamera kurang lebih setahun,” sebutnya.
Dan mulanya, Edwin menyematkan merek Taylor Fine Goods. Tapi ternyata, banyak yang sulit untuk melafalkannya. Akhirnya, ia memendekkannya menjadi hanya TFG.
Di bulan-bulan awal, usahanya tidak berjalan mulus amat. Tak sedikit pembeli yang mengeluh soal kualitas tas kamera buatannya. “Namanya juga belum pengalaman di dunia tas, jadi ada produk saya yang jebol,” kata dia.
Jujur, Edwin mengaku, dirinya sempat drop dan kepikiran untuk membuat produk lain saja. Selain itu, tas kamera yang dia titipkan ke toko kamera langganannya ternyata tidak dipajang oleh sang pemilik. Padahal, awalnya si pemilik toko menyanggupi mau menjual tas kamera bikinannya.
Belum lagi, urusan dengan penjahit yang bikin pusing kepala. Misalnya, produksi sering molor dari target waktu. “Saya tanya baik-baik malah dia yang marah-marah. Ini juga sempat bikin down,” imbuhnya.
Meski merasa sakit hati, kecewa, dan beragam pikiran negatif lainnya, Edwin jalan terus dengan usaha tali dan tas kamera.
Kebetulan, pada 2013 sedang booming distributor outlet alias distro. Ia pun memasukkan produknya ke sejumlah distro dengan sistem komisi. Harga jualnya berkisar Rp 100.000 sampai Rp 500.000 per pieces.
Ternyata, tali dan tas kameranya laku keras. “Saya pun dapat pelajaran baru, bahwa enggak ada jalan buntu, adanya salah jalan atau belum ketemu saja jalannya,” jelas Edwin.
Pasar ekspor
Di tahun yang sama, karena ada permintaan, ia menambah produknya, dengan membuat tas laptop dan backpack atawa ransel. “Ada teman yang bilang, suka dengan desain saya, dia minta saya buat backpack dan tas laptop,” sebut dia.
Setahun kemudian, 2014, Edwin fokus ke perlengkapan pelesiran. “Saya ketemu orang yang bilang, brand lokal harus ada identitasnya. Contoh, Eiger dengan tas gunung. Saya mikir, kayaknya traveling, kan, jalan-jalan butuh tas dan tali kamera, juga lain-lain,” ujarnya.
Saat ini, ada sekitar 150 jenis aksesori perjalanan yang ia produksi, mulai dompet, tempat paspor, tempat kartu nama pouch, tote bag, sling bag, waist bag, hingga jogger bag.
Untuk produksi, Edwin bekerjasama dengan pabrik yang juga mengerjakan produk-produk milik Hush Puppies. Kongsi ini baru berlangsung tahun lalu.
“Pencapaian yang luar biasa buat saya, karena kalau orang bikin tas, pasti tahu pabrik itu salah satu yang terbesar di Indonesia Timur,” katanya.
Meski begitu, jumlah karyawan Edwin saat ini cukup banyak, berkisar 50 orang. Sebanyak 10 pekerja di antaranya adalah penjahit untuk mengerjakan produk kecil-kecil, misalnya, eye mask dan pouch.
Hebatnya, bukan cuma lokal, produknya menembus pasar ekspor. Dua tahun lalu, TFG mulai merambah ke Singapura dan Thailand.
“Kami bergabung di pameran buku Big Bad Wolf (BBW). Mudah-mudahan bisa ikut bulan depan di BBW Malaysia,” ucap Edwin yang menambahkan, TGF merupakan satu-satunya merek aksesori mode yang ada di BBW.
Memang, untuk pemasaran, sejak 2013 dia fokus pada penjualan online. Tapi, ia juga bermitra dengan beberapa toko offline. Sebut saja, Gramedia, Living Room, Widely Project, Ramayana, Legacy Store.
Seiring bisnis yang kian membesar, Edwin pun mengerek status usahanya dari semula commanditaire vennootschap (CV) menjadi perseroan terbatas (PT) pada 2017 lalu. Namanya pun dia ganti, dari CV Samudera Kanvas Indo jadi PT TFG Traveling Asia.
Sejatinya, seiring status yang naik menjadi PT, Edwin sekaligus membuka pintu lebar-lebar untuk investor masuk ke perusahaannya. Sebab, ia ingin TFG berkembang pesat dan menguasai pasar dalam negeri untuk aksesori traveling.
“Tapi, saya berubah pikiran setelah dua hari pendanaan masuk. Saya kembalikan lagi semua dana tersebut ke para investor,” ungkap Chief Executive Officer (CEO) TFG Traveling ini.
Soalnya, Edwin khawatir, para investor itu bakal melakukan intervensi terlalu jauh, yang bisa membuat bisnisnya menjadi kacau. “Jadi, ya, sudah pakai pendanaan saya dulu, semampunya saya, sampai batas saya, baru setelah itu saya open ke investor,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News