Reporter: Marantina | Editor: Dupla Kartini
Sentra kerajinan tenun eceng gondok di Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, Pekalongan, terbilang populer. Pembeli yang datang bukan hanya warga Pekalongan dan sekitarnya, tapi juga dari luar daerah.
Lantaran banyak peminat, para perajin tidak pernah sepi orderan. Salah seorang perajin, Amin Maisun menuturkan, ia rutin mengirimkan produknya ke Jakarta, Bali, dan Malang. "Bahkan, tenun yang saya hasilkan bisa terjual ke luar negeri, seperti Jepang dan Korea Selatan, melalui pihak ketiga," tuturnya.
Biasanya, di tangan pembeli, lembaran tenun eceng gondok atau akar wangi itu diolah lagi menjadi produk jadi. "Saya kan membuat kerajinan setengah jadi, hanya berbentuk lembaran. Nanti, pembeli yang mengolah lagi menjadi barang kerajinan jadi," jelas Amin. Barang jadi yang dimaksud, seperti kotak tisu, sajadah, tirai, tas, dan karpet.
Namun, tak jarang, pembeli langsung memakai hasil tenunan sebagai taplak meja atau hiasan dinding. Hasil tenun juga kerap digunakan sebagai bahan dekorasi hotel dan restoran mewah. Hal ini untuk menarik perhatian pengunjung asing.
Maklum, turis asing biasanya menyukai kerajinan semacam ini, karena bertema back to nature. Bahkan jika sudah tidak terpakai lagi, sampah produk kerajinan ini tidak akan merusak alam.
Sebagian perajin membeli bahan baku eceng gondok dari Salatiga. Sementara, mendong dipasok dari petani di Yogyakarta dan Magelang. Harganya sekitar Rp 6.000 per kilogram (kg). Adapun, bahan akar wangi biasanya didapat dari Garut, Jawa Barat. Harganya lebih mahal karena stok sedikit, yaitu mencapai Rp 15.000 per kg.
"Sebulan, saya bisa beli 2 ton bahan baku untuk bikin 10.000 meter produk kerajinan," kata Amin.
Dari satu unit ATBM, perajin bisa menenun sepanjang 10 meter kerajinan. Awalnya, bahan baku dibeli dalam bentuk batangan. Lalu, ditiras untuk menghasilkan batangan dengan lebar yang diinginkan. Untuk taplak meja, biasanya eceng gondok atau bahan lain ditiras hingga lebarnya mencapai 35 cm.
Sebelum ditenun, ada batangan yang melewati proses pewarnaan, jika ada pembeli yang memesan. Namun, Amin bilang, sebenarnya yang paling laku tenun yang warnanya alami, karena disitulah letak keunikan produk tenunan ini.
Kebanyakan karyawan Amin membawa bahan baku untuk ditiras atau diwarnai di rumah. Namun, proses menenun dilakukan di pranggok atau tempat kerja miliknya.
Berbeda dengan Sumiyati. Ia biasanya membeli seluruh bahan baku di Pekalongan. "Meski harganya lebih mahal, tapi kualitasnya sudah terjamin," katanya.
Kata Sumiyati, 1 kilogram bahan baku hanya bisa menghasilkan 4 meter kerajinan tenun. Nah, supaya target produksi terpenuhi, ia membeli sebanyak 60 kg bahan baku eceng gondok, mendong, dan akar wangi.
Sumiyati mengaku, sejauh ini masih terkendala pemasaran produk. Ia belum menjual produknya pada konsumen akhir, melainkan menitipkan hasil tenunan di kios-kios yang menjual suvenir di Pekalongan. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News