Sumber: |
Pamor batik makin cemerlang, baik di dalam maupun di luar negeri. Momentum ini tak disia-siakan oleh banyak pelaku industri batik. Mereka memanfaatkannya untuk memperkenalkan berbagai jenis batik inovatif, yang mengikuti perkembangan zaman dan permintaan pasar. Batik Gadis Bali, misalnya, mengusung batik impresionisme sebagai bentuk kreativitas pembuatnya.
Seluruh masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda, tampaknya sudah makin menaruh perhatian kepada batik. Hal itu tentu saja tak luput dari peran para perajin batik yang gencar menciptakan beragam motif, warna, dan desain batik yang inovatif.
Batik inovatif ini masih memegang pakem dasar pembuatan batik. Namun, perajin kemudian mengolaborasikannya dengan berbagai ide kekinian, baik dalam hal pemilihan warna maupun motif batik.
Itulah sebabnya kemudian muncul sebutan batik impresionisme untuk menyebut kombinasi batik tradisional dan modern yang menciptakan corak dan warna batik yang lebih bervariasi.
Salah satu perajin batik modern adalah Gina Sutono. Melalui merek batik Gadis Bali, Gina menciptakan beragam motif dan warna batik yang lebih ekspresif dengan memasukkan karakter warna-warna alam.
Batik buatannya memang terkesan kuat dalam permainan warna. Ia tak segan menggunakan warna merah, ungu, biru, bahkan oranye pada kain batik buatannya. Sementara, motif-motifnya lebih banyak bermain dengan bentuk bunga-bungaan. "Tiap perajin batik pasti memiliki karakter tersendiri dalam membuat batik seperti ini. Sehingga, tidak akan sama hasil batik dari satu perajin dengan batik dari perajin lainnya," katanya.
Gina yang telah tiga tahun menjalankan bisnis batik ini memiliki bengkel pembuatan batik di Solo dan Bali. Dari dua bengkel batiknya itu, ia bisa memproduksi sebanyak 60.000 meter kain batik per bulan.
Harga jual batiknya berkisar Rp 90.000-Rp 120.000 per meter. "Harganya tergantung dari corak dan kerumitan perwarnaannya," ujarnya. Dari harga tersebut, ia mengantongi margin 20%.
Gina memang tak bersedia buka-bukaan secara pasti mengenai besarnya omzet batiknya. Tapi, menilik dari hasil produksinya, jika produksi itu terjual semua, Gina bisa meraup penghasilan minimal sekitar Rp 5,4 miliar per bulan.
Batik impresionisme buatan Gina tidak sepenuhnya melalui buatan tangan. Dalam proses pembuatan motif ia menggunakan proses cap. Sementara ketika proses pewarnaan, barulah menggunakan tangan.
Tak hanya laku di pasaran lokal, batik impresionisme Gina pun banyak dilirik oleh pecinta batik dari luar negeri. Jika tidak ada aral melintang, paruh kedua tahun ini Gina bakal mengekspor batiknya ke Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Rencananya, ia bakal mengirim 60.000 meter batik setiap empat bulan sekali.
Ia mengatakan, margin batik ekspor tidak setinggi penjualan batik di dalam negeri. Tapi, kuantitas pengiriman dan pengulangan order tiap kuartal bakal menutup tipisnya margin yang ia dapat.
Perajin batik modern asal Pekalongan, Suliro Agiyoso, menambahkan, penciptaan motif batik modern seperti ini tergantung dari kreativitas masing-masing perajin. Lantaran Suliro berasal dari Pekalongan, batik modernnya sedikit banyak terpengaruh motif khas daerah ini.
Suliro mempertahankan warna-warna batik yang cerah dengan perpaduan banyak warna. Sementara, motif batik buatannya tak hanya menggunakan motif-motif yang sudah begitu terkenal seperti parang, kawung ataupun sekar jagat.
Ia mampu menciptakan motif batik yang terisnpirasi dari alam. Salah satunya motif sinar matahari.
Tak hanya batik cap dan batik cetak yang ia produksi. Suliro juga membuat batik tulis.
Berbeda dengan Gina, Suliro sudah menjual batiknya dalam bentuk pakaian jadi. Dalam sebulan Suliro bisa memproduksi 100 potong pakaian batik tulis.
Untuk batik cap kapasitas produksinya 600 potong per bulan. Sementara kapasitas produksi batik cetak sebanyak 250 potong per bulan.
Untuk batik tulis, harga jualnya Rp 85.000 per potong. Sementara, batik cetak harganya berkisar Rp 45.000 per potong dan sekitar Rp 65.000 per potong untuk batik cap. "Dari semua itu yang paling banyak laku adalah pakaian batik tulis," katanya.
Rata-rata tiap jenis batik buatannya mampu terjual sekitar 100 unit per bulan. Omzetnya sekitar Rp 20 juta per bulan. "Tapi, jika ada pesanan omzetnya bisa lebih besar dari itu," imbuhnya.
Bulan lalu saja, Suliro mendapatkan pesanan sebanyak 600 potong pakaian batik cetak. Dari pesanan tersebut, ia mendapat omzet sebesar Rp 27 juta.
Omzetnya tersebut juga belum termasuk pemasukan dari penjualan ritel yang ia jalankan secara online melalui website.
Helmy Nor Amien, pemilik batik Prada Noer di Solo, bilang, tiap kota di Indonesia memang memiliki ketertarik-an tersendiri terhadap batik.
Pada dasarnya, pasar Jakarta, Sumatra, dan luar negeri sudah lebih bisa menerima jenis batik modern yang penuh warna dan inovasi motif. "Sementara, seperti masyarakat Solo dan Yogyakarta masih lebih menyukai jenis batik yang tidak terlalu banyak keluar dari pakemnya," kata Helmy.
Masih sekitar 40% dari seluruh kapasitas produksi batiknya yang memasukkan unsur modern di dalamnya. "Tapi, prospek batik modern bagus karena bisa mengikuti perkembangan selera pasar," ujar Helmy.
Dari harga jual batiknya, Helmy menyasar kalangan menengah ke atas. Untuk harga pakaian batik tulis yang diproduksi Batik Prada Noer antara Rp 100.000-Rp 1 juta. Sementara, untuk batik prada yang berasal dari printing atau cap maksimal harganya Rp 500.000 per kain. Panjang kain antara 2,3 meter (m) sampai 2,5 m.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News