kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bisnis olahan jamur tak selalu renyah


Minggu, 28 Juli 2013 / 16:55 WIB
Bisnis olahan jamur tak selalu renyah
ILUSTRASI. Pada perdagangan Selasa (1/3) IHSG ditutup menguat 33,27 poin atau naik 0,48%


Reporter: Revi Yohana | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Beberapa tahun lalu, makanan dari olahan jamur menjadi tren. Olahan yang paling marak, yaitu camilan jamur goreng tepung. Banyak pebisnis melirik usaha kuliner ini, lantaran berbagai olahan tersebut diminati banyak kalangan. Tawaran kemitraan pun marak di berbagai wilayah tanah air.

Lalu, apakah kemitraan usaha jamur itu masih bertahan sampai saat ini? Kali ini, KONTAN mencoba memberikan gambaran perkembangan bisnis olahan jamur, melalui ulasan tiga kemitraan, yaitu Jamur Kriuk, Kedai Sate Semut, dan D'Mushroom.

Hasilnya, tidak semua usaha kemitraan bisa berkembang dengan baik hingga bisa  menambah jumlah mitra dan gerai. Malahan, ada yang stagnan, bahkan ada yang jumlah gerainya justru merosot merosot. Berikut ulasan lengkap tiga kemitraan tersebut.

Jamur Kriuk

Gerai olahan jamur ini didirikan Fatoni di Purwokerto sejak 2009 lalu. Ia menawarkan produk jamur goreng renyah dengan tiga varian rasa, yaitu balado, barbaque dan keju.

Ketika KONTAN mengulas tawaran kemitraan Jamur Kriruk pada Juli 2011, jumlah gerainya sudah sebanyak 200 gerai. Lokasinya tersebar di wilayah Jabodetabek, dan kota-kota di Jawa Tengah.

Usaha Fatoni ini termasuk yang bisa bertahan di antara sejumlah kompetitor lainnya. Bahkan, kata Fatoni, ia telah menambah sebanyak 33 gerai baru dalam dua tahun terakhir. Maka, saat ini, ia sudah memiliki total 233 gerai Jamur Kriuk.

Fatoni menjelaskan, ia berhasil menggaet banyak mitra dan membuka gerai baru, lantaran konsisten mempertahankan kualitas rasa camilan jamur buatannya. "Yang utama, kami mempertahankan rasa produk. Kemudian, memilih lokasi berjualan yang tepat sasaran," paparnya.

Dengan mengandalkan dua  faktor itu, katanya, setiap mitra mampu mencetak omzet yang bagus hingga sekarang. Alhasil, usahanya pun mampu bertahan di tengah banyaknya pesaing baru yang bermunculan beberapa tahun terakhir.

Saat ini, manajemen Jamur Kriuk telah mengerek besaran investasi untuk membuka gerai baru. Paket gerobak ditawarkan seharga Rp 6,5 juta untuk mitra di wilayah Jawa Tengah, dan Rp 7,5 juta untuk luar Jawa Tengah. Sebelumnya, satu paket kemitraan dibanderol harga Rp 5,75 juta dan Rp 6,475 juta.

Fatoni bilang, ia terpaksa menaikkan besaran investasi, lantaran harga perlengkapan dan peratalan yang digunakan juga terus merangkak naik. “Misalnya, biaya untuk bikin gerobak saja sudah lebih mahal. Tukang yang membuat gerobak sudah tidak mau dibayar sama dengan harga tahun lalu,” ujarnya.

Namun, biaya untuk paket master franchise masih dipertahankan senilai Rp 30 juta untuk Jawa Tengah, dan Rp 40 juta  di luar Jawa Tengah.

Fatoni membebaskan mitra mematok harga jual kepada konsumen. Gambarannya, harga di Purwokerto sekitar Rp 5.000 per porsi, sementara mitra di Jakarta mematok harga jual Rp 7.000 per porsi.

Ia menghitung, satu gerai Jamu Kriuk bisa mencetak omzet berkisar Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta sebulan. Dengan laba bersih mencapai 40%, mitra diperkirakan bisa kembali modal sekitar empat hingga enam bulan.

Kedai Sate Semut

Usaha ini dirintis oleh Krishna Apriatmaja sejak lima tahun silam. Kedai pertamanya beroperasi di Klaten, Jawa Tengah. Kedai Sate semut menyediakan aneka menu olahan jamur, seperti sate jamur, jamur crispy, jamur obong, mi jamur, nasi goreng jamur, dan oseng-oseng jamur. Beragam menu itu dijual mulai Rp 8.000 hingga Rp 15.000 per porsi.

Lantas, sejak Agustus tahun lalu, ia menawarkan peluang kemitraan. Namun, sejak penawaran tersebut hingga saat ini, Kedai Sate Semut belum memiliki satu pun mitra. "Sebetulnya banyak yang sudah menjajaki, namun belum ada yang jadi buka gerai," kata Khrisna.

Ia menilai, belum adanya mitra usaha, karena brand usaha ini masih terhitung baru, dan belum dikenal banyak orang. Selain itu, para pebisnis baru agak kesulitan memperkenalkan menu jamur yang belum populer.

Namun, Krishna mengklaim, usaha di gerai miliknya masih berjalan bagus. Bahkan, ia berencana menambah satu gerai baru di Yogyakarta pada tahun depan. Penambahan gerai milik pusat juga dinilai bisa mempercepat branding usaha, sekaligus menghadirkan lebih banyak gerai prototype bagi calon mitra.

Krishna masih optimistis bisnis olahan jamur berpeluang dikembangkan dan punya market sangat luas. Pasalnya,   olahan jamur merupakan camilan sehat yang bisa dinikmati semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Oleh karena itu, ia tetap membuka tawaran kemitraan. Kedai Sate Semut. Besaran investasinya masih sama dengan tahun lalu. Paket investasinya sebesar Rp 50 juta. Kerjasama ini mengusung konsep resto. Mitra akan mendapat kontrak kerjasama selama tiga tahun, peralatan masak dan makan, meja, kursi, kitchen set, desain interior, hingga pelatihan memasak dan budidaya jamur tiram.

Dalam kemitraaan ini, Krishna akan memungut biaya royalti sebesar 2,5% dari omzet bulanan. Mitra wajib membeli bumbu dari pusat. Namun, mitra bebas membeli pasokan jamur dari tempat lain.

D'Mushroom

D'Mushroom termasuk pemain di bisnis olahan jamur yang sudah cukup lama beroperasi. Paksi Dewandaru merintis usaha ini sejak 2007 lalu di Depok. Dua tahun kemudian, ia mulai membuka tawaran kemitraan.

Saat, KONTAN mengulas tawaran kemitraan ini pada tahun lalu, tercatat sudah ada 63 cabang D'Mushroom. Sayang, hanya setahun berselang, jumlah gerai yang masih beroperasi tersisa 25 gerai. Rinciannya, lima gerai milik pusat, dan 20 gerai milik mitra. Lokasinya tersebar di Yogyakarta, Jombang, Gresik, Surabaya, Makasar, dan Bontang.
 
Menurut Paksi, berkurangnya jumlah gerai mitra, karena faktor bahan baku. Sifat jamur yang tidak tahan lama, menyebakan jamur tidak bisa disuplai sekaligus dalam jumlah banyak kepada mitra.  "Harus disuplai beberapa kali dalam sebulan, sehingga menambah biaya distribusi di kalangan mitra," bebernya.

Kendala ini terutama sangat dirasakan oleh para mitra di luar Pulau Jawa, seperti Bontang dan Makassar. Sekadar gambaran, satu kilogram jamur dibanderol Rp 15.000, sedangkan bumbu kering berkisar Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per 500 gram.

Untuk mengatasi kendala bahan baku tersebut, Paksi sedang melakukan penelitian untuk mendapatkan kemasan yang bisa menjaga jamur tahan lebih lama. "Saya lagi mencoba vakum lalu dibekukan," ungkapnya.

Selain faktor bahan baku, keberhasilan usaha mitra juga terkait pemilihan lokasi. Paksi bilang, mitra yang masih bertahan umumnya membuka gerai di tengah pemukiman padat, bukan di mal. Apalagi D'Mushroom memang menargetkan konsumen dari kalangan menengah ke bawah.

Demi menggaet mitra baru, Paksi memasang strategi, yaitu dengan memangkas biaya investasi membuka gerai. Paket investasi yang semula Rp 12 juta, diturunkan menjadi Rp 6,5 juta. Sedangkan, paket investasi yang semula Rp 45 juta, dipangkas menjadi hanya Rp 8,5 juta.

Paksi juga memperbanyak menu. "Sekarang sedang tren sego (nasi) jamur. Jadi, kami juga buat menu itu," ujarnya. Menu ini dibanderol Rp 4.000 - Rp 5.000 per porsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×