Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Tri Adi
Menjadi auditor di perusahaan mapan tidak membuat Budiyanto Darmastono berhenti mengejar mimpinya. Ia memilih menggeluti usaha jasa kurir Nusantara Card Semesta (NCS). Kini, omzetnya mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
Meninggalkan karier mapan demi membuka usaha sendiri adalah sebuah keputusan yang sulit. Tapi, Budiyanto Darmastono berani mengambil keputusan itu. Memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai auditor, akhirnya, ia berhasil membangun perusahaan jasa kurir bernama Nusantara Card Semesta (NCS). Saat ini, NCS memiliki 36 kantor cabang dan 600 agen di beberapa kota.
Dengan memberi layanan logistik, pergudangan, distribusi, pengiriman kargo, kurir, dan mailroom management, pendapatan NCS telah mencapai ratusan miliar rupiah setahun. Sekitar 80% dari ratusan kliennya merupakan perusahaan di sektor perbankan, telekomunikasi, dan asuransi. Tiap bulan, ada tiga juta kiriman yang mereka tangani.
Setiap tahun, pertumbuhan bisnis NCS mencapai 10%. Dengan mempekerjakan hampir 3.000 karyawan, Budiyanto optimistis perusahaannya bisa terus berkembang pesat seiring pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Apalagi, kondisi geografis Indonesia sangat membutuhkan bisnis jasa kurir.
Sebelum menekuni bisnis ini, Budiyanto – yang lahir pada 5 April 1966 – harus melalui jalan berliku. Di masa kecil, ia tidak memiliki mimpi menjadi pengusaha. Cita-cita awalnya adalah menjadi bankir dan punya banyak penghasilan.
Keluarga besar pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, ini sebenarnya tidak mendukung keinginan Budiyanto menjadi bankir. Maklum, secara turun-temurun, keluarganya adalah guru. Nenek, orang tua, dan kakak-kakaknya berprofesi sebagai guru. “Saya tidak mau menjadi guru karena tidak bisa memberikan jaminan ekonomi yang cukup,” tuturnya.
Cita-cita menjadi bankir merupakan inspirasi yang muncul dari pergaulan Budiyanto dengan para karyawan Bank Rakyat Indonesia (BRI) di desanya. Anak keempat dari enam bersaudara ini kukuh menjemput cita-citanya dengan melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM), bukan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
Orang tua Budiyanto agak berat menerimanya. Selain masalah biaya, karier menjadi bankir tidak semudah berkarier sebagai guru. “Namun saya yakinkan orang tua saya, menjadi bankir akan lebih sukses,” katanya.
Untuk mendapatkan tambahan biaya pendidikan, pria yang akrab dipanggil Budi ini kuliah sembari berdagang. Setiap menjelang akhir tahun, ia berdagang kalender. Ia menawarkan kalender ke beberapa sekolah di kampung halamannya. Selain itu, ia juga aktif menjadi kepala bidang usaha di koperasi UGM. Dari usaha sampingannya, ia tidak hanya mendapat penghasilan, tapi juga ilmu pemasaran dan manajemen.
Setelah lulus, lagi-lagi Budiyanto menentang keinginan orang tuanya. Ia ngotot ingin merantau ke Jakarta demi mengejar karier. “Orang tua saya masih memaksa menjadi pegawai negeri sipil (PNS),” katanya. Di Jakarta, ia diterima di sebuah kantor akuntan publik.
Baru empat bulan bekerja, Budiyanto mendapat panggilan bekerja sebagai auditor di perusahaan kartu kredit, Dinners Club International. Ia puas karena cita-citanya menjadi karyawan di perusahaan jasa keuangan terpenuhi.
Memulai karier sebagai staf biasa, setelah hampir empat tahun bekerja, Budiyanto memegang jabatan manajer. Tapi, ia belum merasa sukses. Sebab, sembari menjadi auditor, untuk menambah pendapatannya, ia masih harus berjualan baju dan seprai ke rekan-rekan kantornya. Padahal, ia bermimpi bisa menjadi direktur, jalan-jalan ke luar negeri, dan hidup nyaman di usia masih muda.
Karena impian itu, pada tahun 1994, tepat saat tahun ketiga bekerja di Dinners Club, Budiyanto mulai membuka usaha sendiri dengan mendirikan usaha di bidang jasa kurir surat.
Ide dari hasil audit
Inspirasi usaha ini muncul saat ia mengaudit perusahaannya sendiri. “Dinners mengeluarkan dana cukup banyak tiap tahun untuk mengirim surat tagihan ke nasabah,” katanya. Saat itu, pemain jasa pengiriman dokumen masih sedikit. Selain itu, kualitas layanan belum bagus. “Kesempatan untuk tumbuh cukup besar dan pesaing masih sedikit,” katanya.
Dengan modal awal sebesar Rp 25 juta dan kantor di sebuah ruko seluas 130 meter persegi plus enam karyawan, Budiyanto memulai NCS. Di awal usahanya, ia mempekerjakan manajer operasional yang ia ambil dari perusahaan jasa kurir yang jadi langganan Dinners Club.
Sang istri sempat menentang keputusannya meninggalkan karier yang sudah mapan untuk usaha yang belum jelas. Alhasil, selama setahun, Budiyanto terpaksa bekerja ganda demi menenangkan istrinya. Pada tahun 1995, ia memutuskan mengundurkan diri dan fokus untuk membesarkan NCS.
Kini, Budiyanto menargetkan menambah jumlah agennya menjadi dua kali lipat dan menjangkau semua kabupaten di Indonesia. Ia juga berencana merambah bisnis jasa pengiriman uang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News