kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.930.000   20.000   1,05%
  • USD/IDR 16.230   -112,00   -0,69%
  • IDX 7.214   47,18   0,66%
  • KOMPAS100 1.053   7,20   0,69%
  • LQ45 817   1,53   0,19%
  • ISSI 226   1,45   0,65%
  • IDX30 427   0,84   0,20%
  • IDXHIDIV20 504   -0,63   -0,12%
  • IDX80 118   0,18   0,16%
  • IDXV30 119   -0,23   -0,19%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,20%

Bukan main potensi industri game lokal


Rabu, 05 Oktober 2011 / 17:17 WIB
Bukan main potensi industri game lokal
ILUSTRASI. Harga mobil bekas Toyota Yaris sudah murah, varian tahun segini mulai Rp 70 juta


Reporter: Fahriyadi, Dea Chadiza Syafina, Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi

Kreativitas pengembang game lokal memperbesar prospek usaha pembuatan game di Indonesia. Meski butuh modal besar, pengembang game berhasil membuat game yang menarik. Usaha itu pun berhasil mengalihkan gamer lokal dari game-game buatan perusahaan asing.

Tak hanya di negara-negara maju, perkembangan industri game, baik game online maupun game ponsel, juga terjadi di Indonesia. Jumlah penduduk yang besar, diiringi penjualan ponsel pintar (smartphone) yang terus meningkat, mendorong laju industri ini makin cepat.

Apalagi, konsep game bikinan anak negeri ini juga kian menarik. Alhasil, berbeda dengan satu atau dua dekade lalu, pengembang game lokal pun kini berani bersanding, bahkan bersaing, dengan developer game dari luar negeri.

Perkembangan game lokal itu, menurut David Setiabudi, pemilik Divine Kids, karena saat ini game telah menyatu dengan semua kalangan. "Bukan cuma anak-anak, banyak orang dewasa yang menggemari game," ujar pria telah berkecimpung di industri game sejak 2001.

Pangsa pasar yang makin berkembang inilah yang menyakinkan pria 35 tahun ini untuk tetap setia menggeluti bisnisnya.

Pesatnya perkembangan teknologi juga akan menciptakan kesempatan bagi semua kreator untuk berkarya di dunia maya, termasuk pengembang game atau yang sering disebut game maker. Selain menciptakan game yang dijual langsung ke penggemar, Divine Kids pun sering memperoleh pesanan game dari beberapa perusahaan. "Kini, banyak perusahaan yang menggunakan game sebagai bagian dari promosi produk mereka," tutur David yang juga dosen seni rupa di Universitas Multimedia Nusantara.

Dalam sebulan, Divine Kids pun bisa mendapatkan pesanan hingga empat buah game. Baik, game yang berbentuk sederhana, maupun game yang sifatnya kompleks.

Untuk mengerjakan game-game ini, David membutuhkan waktu antara tiga hari hingga dua minggu. "Adapun game yang rumit atau kompleks, pembuatannya bisa memakan waktu enam bulan," ujar David.

Hingga saat ini, David telah memproduksi sekitar 45 game. Nilai setiap pesanan itu berkisar antara Rp 15 juta. hingga Rp 60 juta per game.

Sayang, orderan game ini masih bersifat fluktuatif. "Biasanya, pesanan game paling banyak datang di pengujung tahun," ujar David yang biasanya mengantongi pendapatan hingga Rp 60 juta per bulan. Perusahaan yang menjadi kliennya, sebut saja Gramedia Majalah untuk Majalah Bobo dan Unilever.

Tak hanya berkembang di Jakarta dan sekitarnya, industri pengembang game juga berkembang di daerah. Dari Yogyakarta, Anggoro Cahyadi mulai menekuni bisnis game maker pada 2007. Pemilik Primera Bit ini mengakui, memasuki tahun 2000-an, bisnis pembuatan game lokal semakin cerah. "Kemajuan internet ikut mendukung kreativitas para pengembang game," ujarnya.

Saat ini, Anggoro pun bisa mendulang omzet hingga Rp 40 juta dengan mengerjakan tiga hingga empat game per bulan. Ia membanderol tarif pembuatan game ini mulai harga Rp 10 juta hingga
Rp 30 juta. Besarnya tarif pembuatan tergantung dari tingkat kerumitan permainan.

Sampai kini, Primera Bit telah meluncurkan 20 game mini dan lima game dengan skala kerumitan tinggi. Produk permainan yang menuai banyak peminat, antara lain, Softgun Water Damage, Night at the Museum, hingga petualangan Dr. Harry.

Ke depan, Anggoro juga ingin menciptakan game yang lebih aman untuk anak-anak. Artinya, ia akan fokus menggarap game dengan tema petualangan atau yang tak banyak mengumbar kekerasan.

Menurut Anggoro, sejauh ini, game bertema kekerasan ini cukup laku di pasaran. "Tapi, tentu saja, efeknya tak baik bagi anak-anak," tutur pria 43 tahun ini.


Butuh modal besar

Sebanding dengan duit yang dihasilkan pada bisnis ini, usaha ini juga membutuhkan modal cukup besar. Selain kreativitas dan keuletan, pengembang game harus menggunakan software yang orisinal.

Setelah game selesai dibuat, mereka pun harus mendaftarkan hasil karyanya untuk mendapatkan hak cipta. "Beberapa hal inilah yang memakan biaya cukup besar," ujar David.

Menurut Inas Luthfi, CEO Nightspade, biaya pembuatan sebuah game berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 200 juta. Dengan ongkos produksi yang demikian besar, tak heran jika game maker berlomba-lomba membuat game semenarik mungkin, supaya banyak yang mengunduh game hasil karyanya.

Nightspade pun telah meluncurkan beberapa game yang berhasil memikat game mania, seperti Stack The Stuff, Mad Warrior, Taby The Little Mouse dan Air Heroes. Asal tahu saja, dalam bisnis game ini, sebuah game baru dibilang berhasil bila sudah diunduh setidaknya oleh 50.000 penggunanya.

Meski butuh modal besar, para pengembang game tak menyurutkan langkahnya untuk maju. Pasalnya, pasar game ini terus membesar. Apalagi bila didukung oleh perkembangan internet dan berbagai perangkat yang bisa dipakai untuk bermain game.

Tak hanya pasar di Indonesia saja, pengembang game lokal juga bisa menjual hasil karyanya untuk pasar di luar negeri. Selain itu, banyak juga perusahaan pengembang dari luar negeri yang mengincar perusahaan game lokal. "Ke depan, bukan hanya produk game lokal saja yang bisa bersaing, tapi juga kreatornya," ujar David.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×