Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Pertemuan tidak sengaja dengan pemilik PT Harpa Inti Mandiri mengantarkan Aesta Fajar menjadi produsen tas kulit. Dengan mengibarkan merek Alra, usaha pria yang 22 Agustus nanti genap berusia 26 tahun ini bisa mendekap omzet ratusan juta per bulan.
Fajar membangun bisnis tas kulit yang berbasis di daerah Bantul, Yogyakarta, pada 2015 lalu. Awalnya, dia merintis usaha itu bersama lima temannya tanpa seorang pun karyawan.
Sekarang, jumlahnya sudah 20 pekerja. Sebanyak 10 orang bekerja di bagian produksi yang ia sebut sebagai perajin.
Bisnis Fajar sendiri berangkat dari inkubator bisnis besutan Harpa Inti. Ketika itu, dia magang di perusahaan kerajinan kepunyaan Wawan Harmawan tersebut sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Universitas Islam Indonesia (UII).
Fajar bisa magang di Harpa Inti lantaran tidak sengaja bertemu dengan Wawan di kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Yogyakarta. Ia menyambangi kantor Kadin untuk mencari data ekspor impor untuk bahan skripsinya.
Kala itu, Wawan yang sedang rehat rapat mendengar perbincangan Fajar dengan resepsionis kantor Kadin Yogyakarta. Wakil Ketua Kadin Yogyakarta itu pun memanggil pemuda yang sudah tujuh tahun kuliah tapi belum lulus itu.
Pertemuan tak sengaja tersebut dia manfaatkan untuk mengajukan permohonan magang di Harpa Inti. Di saat yang sama, ada empat mahasiswa lain yang juga magang di perusahaan tersebut.
Mereka dari bermacam latar studi. Ada yang dari teknik industri, teknologi, teknik kulit, dan desain produk.
Dalam sebuah pertemuan dengan Wawan, Fajar dan empat temannya menyampaikan, bahwa mereka tidak hanya ingin magang kerja, juga kepingin belajar berbisnis. Wawan pun memenuhi permintaan itu dengan menawarkan program inkubator bisnis.
Fajar dan empat kawannya sepakat memilih tas kulit dan kanvas motif batik sebagai usaha mereka. “Kenapa kami pilih dua bahan ini, karena melihat potensi Yogyakarta adalah kulit dan batik,” ungkapnya.
Usaha Fajar dan teman-temannya bergulir mulai 2015. Mereka mendapatkan pinjaman dari pemilik Harpa Inti sebesar Rp 15 juta sebagai modal untuk membeli bahan baku.
Fajar fokus membidik pasar kaum Hawa usia 25–55 tahun. “Perempuan beli tas kan bukan sekadar fungsional, tapi juga gaya hidup. Mereka pakai tas sesuai acara, bajunya, jadi tidak hanya punya satu tas,” ujar Fajar.
Di awal bisnis, Fajar dan tim menyerahkan pembuatan tas kulit kepada pihak ketiga. Namun, untuk urusan desain dan pemilihan kulit, Fajar dan tim yang melakukannya.
Tes pasar
Sejatinya, berbisnis bukan barang baru buat Fajar. Saat masih kuliah, dia pernah menjadi pemasok bawang ke sejumlah pedagang di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Maklum, dia berasal dari Tegal, daerah penghasil bawang. Namun, karena terus merugi ia pun tidak melanjutkan usaha tersebut.
Sebelumnya, Fajar berbisnis ikan. Modalnya ia peroleh dari bantuan PT Pegadaian dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Keuntungannya kemudian dia jadikan modal bisnis bawang.
Selama 10 bulan pertama melakoni bisnis tas, Fajar masih melakukan tes pasar. Soalnya, ia belum tahu model tas seperti, warna apa, serta di harga berapa yang diinginkan oleh target pasarnya.
“Kami pun bikin berbagai jenis, tapi tidak terlalu banyak. Lalu, ikut pameran dan menawarkan ke teman-teman terdekat. Selama 10 bulan, kami melakukan langkah itu,” kenang Fajar seraya menambahkan, satu per satu temannya hengkang dari usaha tersebut.
Ikut pameran pun yang tidak berbayar alias gratis. Sebab, Fajar tidak punya dana lebih untuk menyewa stan. Ia rajin mengikuti pameran cuma-cuma yang diadakan pemerintah daerah, misalnya Dinas Perindustrian dan Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta.
Dari hasil mengikuti berbagai pameran, Fajar dapat jawaban atas pertanyaannya tentang keinginan pasar terhadap produk tas kulit dan kanvas. “Lebih senang yang minimalis. Untuk warna, seperti warna baby pink dan kuning,” ujarnya.
Tawaran beragam pilihan warna inilah yang menjadi salah satu keunggulan tas buatannya, selain kualitas dan harga terjangkau.
Fajar pun kemudian menemukan, bahwa sistem kemitraan juga cocok untuk memasarkan produk tas. “Selama pameran, banyak yang tanya, kalau beli lebih dari satu dapat diskon berapa. Mereka menanyakan itu ternyata karena ingin jual lagi produk kami,” ujarnya.
Kini, ada 20 reseller yang menjajakan produk Alra yang tersebar di Jawa serta Sumatera.
Keputusan lain yang lahir setelah melakukan tes pasar adalah, Fajar menghentikan produksi tas kanvas bermotif batik. Tujuan awal mengeluarkan produk itu adalah untuk menggenjot penjualan. Soalnya, harga tas kanvas batik jauh lebih murah ketimbang tas kulit.
Tapi ternyata, imbuh Fajar, dalam bisnis tidak bisa berfokus pada dua hal yang sama-sama bidang mode. Sebab, pengembangan produk fashion terus menerus, sehingga membutuhkan modal besar. “Kami kan baru mulai usaha, maka memutuskan untuk stop dulu yang kanvas,” jelasnya.
Pelan tapi pasti usaha tas kulit Fajar berkembang. Dan pada 2016, dia memberanikan diri mengikuti Innovating Jogja, kompetisi berbasis inovasi untuk industri batik, barang kulit, dan kerajinan. Kompetisi ini hasil kerjasama dengan European Union-Indonesia Trade Cooperation Facility (TFC).
Hasilnya, Alra terpilih menjadi satu dari 12 pemenang dan berhak mengikuti program akselerasi. Selain pelatihan dan bimbingan, Fajar memperoleh bantuan modal Rp 30 juta.
“Di situ, kami dapat masukan soal legalitas hak kekayaan intelektual dan badan hukum,” beber Fajar yang namanya di tahun yang sama keluar sebagai juara Wirausaha Muda Mandiri 2016 Kategori Industri Perdagangan dan Jasa Kelompok Mahasiswa Sarjana dan Diploma.
Bertolak dari masukan tersebut, pada Oktober 2016, Fajar mengerek status usahanya menjadi perseroan terbatas (PT). Namanya: PT Alra Makmur Cahaya Selaras. Alra sebetulnya singkatan dari Alhamdulillahirobbilalamin. “Ini sebagai pengingat supaya selalu bersyukur, apapun yang kami lalui dan capai,” imbuh Fajar.
Setelah pendirian PT, Fajar membuat pembagian tugas di internal perusahaannya. Menurut dia, perusahaan yang ingin tumbuh besar tak bisa melaksanakan tugasnya dengan keroyokan. “Setiap orang harus punya fungsi masing-masing, sifatnya saya sebagai kontrol,” jelasnya.
Jalur online
Berbarengan dengan perubahan status jadi PT, Fajar mulai mengerjakan sendiri sebagian pembuatan tas. Ia membangun bengkel produksi dengan menyewa tempat di Bantul.
Salah satu pertimbangannya, proses perizinannya paling mudah. Selain tentunya, Bantul merupakan sentra kerajinan. Alhasil, melimpah sumber daya manusia dan bahan baku.
Meski begitu, Fajar masih menggandeng pihak ketiga dalam pembuatan tas kulit. Terutama, saat permintaan sedang tinggi dan akan mengikuti pameran skala besar seperti The Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft).
Namun, Fajar pernah punya pengalaman pahit soal kongsi dengan pihak ketiga ini. Ketika itu, ia belum melakukan kontrol yang ketat sehingga hasil pekerjaannya tidak maksimal.
Contoh, jahitan kurang bagus. Lalu, selembar kulit yang seharusnya bisa menjadi dua tas, ternyata hanya jadi satu tas, akibat ulah si penjahit.
Setelah bermain di jalur pemasaran konvensional, Fajar masuk ke saluran online mulai pertengahan 2017. Dia menjajakan produknya lewat media sosial, seperti Instagram dan Facebook, juga website.
Tujuannya, bukan cuma semata memperluas pemasaran dan mendongkrak penjualan, tapi juga menekan biaya. “Omzet kami sebetulnya naik dengan pemasaran konvensional, tapi biaya yang kami keluarkan juga ikutan naik,” katanya.
Itu sebabnya, awal 2018, Fajar semakin fokus menggarap pemasaran online secara konsisten dan komprehensif. Ia pun merekrut satu tim untuk mengurus digital marketing. “Kami lihat, digital marketing adalah investasi,” tegas dia.
Sejauh ini, hasilnya sangat memuaskan. Setiap hari selalu ada produk yang terjual lewat kanal daring. Informasi saja, harga satu tas Alra mulai Rp 500.000 hingga Rp 1 jutaan. Saban bulan, Fajar bisa mengantongi pendapatan Rp 200 juta sampai Rp 450 juta.
Dia pun terus berinovasi dengan meluncurkan produk-produk tas anyar tiap bulan. “Meski dalam dunia mode, sebetulnya ada rumusnya, kapan harus keluarkan produk baru, tidak setiap bulan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News