kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Cerita Felix Soba Meo memulai usaha dan mengangkat nama kopi bajawa


Sabtu, 09 Februari 2019 / 12:05 WIB
Cerita Felix Soba Meo memulai usaha dan mengangkat nama kopi bajawa


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Kopi bajawa semakin populer, setelah film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang tayang di bioskop pada 2016 lalu menyebut nama kopi asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu. Dalam adegan di sebuah kedai kopi di daerah Yogyakarta, Cinta dan Rangga menyeruput kopi bajawa.

Tapi, jauh sebelum film yang menyedot 3,66 juta penonton tersebut mengangkat kopi bajawa, Felix Soba Meo sudah lebih dulu mempopulerkan kopi Arabica yang tumbuh di Bajawa, Kabupaten Ngada, yang berada di Pulau Flores itu.

Sejak 2008, pria kelahiran Bajawa, 24 Agustus 1974, ini merintis usaha kopi dengan mengibarkan merek Kopikita Bajawa. Kini saban bulan, ia memproduksi 3,5 ton hingga 4 ton kopi bubuk juga biji berupa green bean dan roast bean. Harga jualnya berkisar Rp 70.000 per kilogram (kg).

Nama Kopikita punya arti. “Saya ingin, orang yang membeli dan merasakan kopi bajawa berpikir, bahwa ini adalah kopi kita, bukan hanya milik orang Bajawa,” jelas Felix.

Kebanyakan pembeli kopi bajawa hasil olahan Felix berasal dari Jakarta dan Malang. “Lebih banyak pesan biji yang belum digoreng, karena, kan, mereka punya coffee roaster yang bagus,” kata dia.

Sejatinya, ia mengungkapkan, dirinya melanjutkan usaha keluarga. Ketujuh kakaknya memilih menjadi pekebun kopi ketimbang mewarisi bisnis kopi milik sang ayah yang meninggal dunia pada 2008 silam.

Tapi, keinginan memperbaiki harga jual kopi di tingkat petani jadi dorongan jebolan Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta ini meneruskan bisnis kopi ayahnya.

Selama ini, menurut Felix, para pekebun kopi di Bajawa menjual hasil panen kepada pemroses lokal yang tergabung dalam unit pengelola hasil binaan pemerintah daerah setempat. “Dengan harga jual yang segitu-gitu saja sejak dulu,” ungkapnya.

Memang, Felix baru memegang kendali penuh usaha sepeninggalan sang ayah. Namun, semenjak 2004, dia mulai terlibat.

Ia berkisah, proses pembuatan kopi masih menggunakan cara dan alat tradisional, belum memakai mesin. Termasuk, saat penumbukan biji menjadi bubuk memakai lesung.

Ubah pengolahan

Berkat internet yang masuk ke Bajawa pada 2006, proses pembuatan kopi pun berubah. Dari dunia maya, Felix mendapatkan banyak informasi mengenai standar operasional prosedur (SOP) untuk menghasilkan kopi yang baik. “Saya ikuti SOP-nya, dan ternyata banyak yang suka dengan kopi buatan saya,” imbuh dia.

Felix pun mulai memakai mesin untuk pembuatan kopi. Misalnya, grader untuk menyortir biji kopi dan huller buat mengupas kulit kopi kering. Lalu, mesin tester untuk mengukur kadar air pada kopi.

Internet pula yang membawa Kopikita ke luar dari Flores menuju Jawa. Saat jaringan internet di tanah kelahirannya makin stabil pada 2012, ia mulai menawarkan produknya lewat media sosial Facebook.

Permintaan pertama datang dari pemilik kedai kopi di Sidoarjo, Jawa Timur. Tidak langsung beli, tetapi minta sample terlebih dahulu.

Felix pun mengirim contoh kopi hasil olahannya dengan biaya jadi tanggungan si pembeli. “Inilah cikal bakal saya jualan ke luar Flores lewat internet. Dan sampai sekarang, dia masih jadi pelanggan setia kami,” ujarnya.

Permintaan dari luar Flores pun mulai mengalir deras. Awalnya, bahan baku masih berasal dari kebun kepunyaan keluarga.

Namun, seiring pesanan yang meningkat, Felix pun membeli dari pekebun kopi lainnya.

Tentu, dengan harga yang lebih tinggi dari biasanya. “Harga jual kopi ke luar daerah bisa tiga kali lipat dari harga jual di Flores,” bebernya. Saat ini, ia menggandeng sekitar 100 pekebun kopi, dengan luas lahan garapan 50 hektare.

Penjualan kian meningkat setelah datang pembeli dari Korea Selatan pada 2016. Mulanya, pembeli dari negeri ginseng ini bertanya soal metode pengolahan Kopikita.

“Saya tunjukkan, caranya adalah full wash. Ternyata, mereka tidak suka dan mau proses yang semi wash,” ungkap Felix.

Metode pengolahan ini, dia menjelaskan, hampir sama dengan full wash. Bedanya, terletak pada pengupasan kulit kopi kering.

Pengupasan semi wash dengan kondisi biji kopi masih basah, dengan kadar air sekitar 40%–50%, baru dijemur. Sementara kadar air kopi di pengolahan full wash 11%–12%.

Dari tampilannya warnanya, dia menyebutkan, biji kopi hasil pengolahan semi wash lebih hijau. Pasca melewati proses roasting, aromanya lebih lembut (creamy). “Setelah saya seduh, aromanya seperti yang sering saya temukan di kedai Starbucks,” katanya.

Berangkat dari permintaan pembeli asal Korea itu, Felix akhirnya membeli mesin produksi untuk mendukung pengolahan semi wash. “Saya pasarkan dan orang yang beli penasaran. Mereka bertanya, apa benar ini kopi bajawa. Inilah yang jadi cikal bakal Kopikita lebih besar lagi,” tambah Felix.

Selain Korea, Felix mengekspor produk kopinya ke Amerika Serikat dan Italia. Tak kurang 7.000 kilogram kopi ia kirim ke luar negeri.

Yellow Caturra

Meski begitu, perjalanan bisnisnya enggak mulus-mulus amat. Dia pernah mengalami kejadian pahit, kena tipu pembeli pada 2015 sehingga merugi puluhan juta rupiah.

Modusnya, ia membeberkan, si pembeli datang langsung ke Bajawa kemudian meneken kontrak pembelian dan membayar sebagian dari total nilai pesanan.

Begitu barang siap kirim dan minta pelunasan, Felix mengatakan, si pembeli selalu beralasan tidak bisa membayar sisanya sekarang. Tapi, pembeli itu mendesak barang harus dikirim segera. “Begitu saya kirim barangnya, dia susah dihubungi, HP tidak aktif,” ujarnya.

Beruntung, Felix masih menyimpan alamat si pembeli. Ia pun melaporkan kasus ini ke kepolisian. Sejak itu, pembeli tersebut melunasi utang.

Dari kejadian itu, Felix mengambil pelajaran dan hikmah: dirinya mesti lebih berhati-hati lagi dalam menjalin kontrak dengan pembeli. “Dan, saya bersyukur, setelah kejadian itu bertemu dengan banyak orang baik serta profesional dalam bidang kopi,” imbuhnya

Untuk mendongkrak penjualan, Felix membuat kopi yang berasal dari Yellow Caturra, kopi langka yang konon di Indonesia saat ini pohonnya hanya ada ratusan. “Kopi ini dibawa misionaris Brasil yang bertugas di Flores,” jelas dia.

Lantaran langka dan memiliki cita rasa yang sangat khas, Yellow Caturra jadi buruan penikmat kopi di tanah air. “Buahnya kalau matang berwarna kuning. Rasanya lebih soft, clean, coklat moka,” tambah Felix.

Saat mendapat kesempatan ikut pameran untuk pertama kali, ia juga menampilkan produk Yellow Caturra. Sebelumnya, dia tidak pernah ikut pameran lantaran tidak memiliki biaya.

Pada awal Desember 2018, Felix mendapat undangan dari Bank Negara Indonesia (BNI) untuk tampil dalam rangkaian Glowing Night Run di Jakarta, yang digelar Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kopikita Bajawa merupakan binaan BNI.

Menurutnya, hanya dalam hitungan jam, sebanyak 36 kilogram kopi Yellow Caturra dalam bentuk roasted ludes terjual. “Menteri BUMN, Bu Rini Soemarno suka sekali. Beliau membeli lima bungkus, masing-masing setengah kilogram. Karena inilah saya jadi tambah semangat lagi untuk mengembangkannya,” katanya.

Saat ini, Felix mendorong petani kopi di Bajawa untuk menanam benih  Yellow Caturra. “Selama ini, varietas yang kami gunakan adalah Arabica Lini S 795,” tambah dia.

Biar posisinya makin mantap di hadapan pembeli saat menjalin kontrak pembelian dalam jumlah besar, tahun lalu usahanya juga berstatus CV. Ia mengusung nama CV Kopi Kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×