kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ciomas tergilas serbuan sepatu made in China


Sabtu, 26 Januari 2019 / 15:00 WIB
Ciomas tergilas serbuan sepatu made in China


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Teriknya sinar mentari siang itu tetap tidak mampu mengalahkan hawa sejuk di kawasan Desa Mekarjaya, Ciomas, Kabupaten Bogor. Maklum, wilayah itu sudah memasuki kawasan Gunung Salak yang menghubungkan Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Ciapus.

Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan suasana di desa tersebut. Rumah-rumah warga berjejer di sepanjang jalan mendaki.

Namun ketika memasuki rumah-rumah tersebut, barulah kita tahu bahwa sebagian besar warga di desa tersebut berprofesi sebagai perajin sepatu.

Ya, sudah sejak lama Ciomas tersohor sebagai sentra produsen sepatu, yang produknya beredar tidak hanya di kawasan Bogor, namun juga beberapa kota besar lainnya di Indonesia.

Tidak hanya Desa Mekarjaya yang menjadi sentra pembuatan sepatu. Tetangga dekatnya, yakni Desa Margaharja dan Desa Pasir Eurih juga merupakan sentra pembuatan sepatu.

Didin Oleh, Ketua Paguyuban Perajin Sepatu Mekarjaya, berkisah, sejak tahun 1970-an warga Ciomas secara turun temurun menggeluti usaha pembuatan alas kaki.  
Aktivitas pembuatan sepatu sudah menjadi denyut nadi desa ini sehari-hari.

Maklum, hampir semua rumah di Desa Mekarjaya disulap menjadi bengkel produksi sepatu berbagai model. Mulai dari orangtua sampai anak-anaknya, semua terlibat dalam proses produksi sepatu.

Sekitar 70% dari total 302 kepala keluarga (KK) di Desa Mekarjaya, papar Didin, berprofesi sebagai produsen sepatu dengan berbagai skala. Mulai dari yang hanya menghasilkan 50 kodi hingga 500 kodi per minggu.

Sebagian besar proses produksinya masih tradisional, yakni dengan menggunakan tangan alias handmade. “Namun kami tidak menyediakan toko penjualan di rumah, langsung dikirim ke Pasar Anyar, Bogor dan ke konsumen,” ujar Didin.

Adapun harga sepatu made in Mekarjaya berkisar Rp 35.000 hingga Rp 200.000 per pasang. “Kalau yang pesanan dan unik biasanya mahal,” imbuh Didin.

Omzet ratusan juta

Satu dari ratusan keluarga di Ciomas yang berbisnis sepatu adalah Sukri. Pria asli Ciomas ini sudah menggeluti usaha sepatu sejak tahun 2000.

Di rumahnya seluas 90 meter persegi (m²), Sukri bersama 8 karyawan menghasilkan sekitar 100 kodi sepatu per minggu. Dari sepatu pria, wanita, dan anak-anak yang dia produksi, penjualan terbesarnya disumbang sepatu anak-anak, yakni 45%.

Sukri menggunakan beragam  bahan baku, mulai dari kulit, kanvas, dan kulit imitasi yang ia peroleh dari beberapa toko di Bogor. “Tidak ada kesulitan membeli bahan baku, asalkan ada modal,” ujarnya.

Saat ini, Sukri menjual sepatu buatannya dengan harga berkisar Rp 650.000-Rp 800.000 per kodi. Jika dia menjual 100 kodi per minggu, maka omzetnya mencapai Rp 260 juta-Rp 320 juta per bulan. Dari situ, Sukri mengantongi margin 20%-25%.

Sekitar 95% produk buatan Sukri dikirim langsung ke Pasar Anyar, Bogor dan Pasar Bogor setiap Sabtu dan Minggu. Sisanya dikirim ke Surabaya, Bukit Tinggi, dan Banjarmasin.

Berbeda dengan Suprizal, yang area pemasarannya baru di seputaran Bogor. Lelaki 41 tahun ini pun fokus memproduksi sepatu wanita. Maklum, ia mengandalkan sang istri untuk membuat desain dan pola. “Biar lebih efisien,” akunya.

Dalam seminggu, Suprizal mampu menjual hingga 70 kodi sepatu wanita. Permintaan paling banyak adalah model sepatu fashion dengan harga
Rp 750.000 per kodi.

Omzet para produsen sepatu Ciomas ini biasanya melonjak drastis pada momen Lebaran. Tiap tahun, sejak 3 bulan sebelum hingga 2 bulan setelah Lebaran, pesanan sepatu yang masuk membludak.

Suprizal dan Sukri, misalnya, sama-sama mengaku menikmati lonjakan penjualan hingga 30% pada momen Lebaran. “Permintaan dari konsumen luar kota juga jadi banyak,” ujarnya.

Penjualan sepatu juga meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru seperti sekarang ini. Namun, peningkatannya tidaklah setinggi masa Lebaran. “Paling banyak naik 10%,” ujar  Suprizal.

Serbuan produk China

Namun, bisnis sepatu di Ciomas tak melulu soal keberhasilan. Justru, belakangan ini kelangsungan bisnis sepatu di kawasan ini menghadapi berbagai ancaman dan rintangan.

Dulu, kenang Didin, banyak perajin sepatu Cibaduyut, Bandung berguru ilmu pembuatan sepatu di Ciomas. Namun, belakangan, sepatu Cibaduyut jauh lebih berkembang dan lebih tersohor ketimbang sepatu van Ciomas. Salah satunya, kata Didin, karena bisnis sepatu di Cibaduyut lebih tertata rapi.

Namun, tantangan yang paling berat adalah serbuan produk sepatu buatan China. Menurut Didin, dalam tiga tahun terakhir, produk-produk China sudah menguasai sekitar 50% pasar sepatu di Pasar Anyar.

Sepatu dari China mendominasi pasar lantaran memiliki keunggulan: kualitasnya lebih baik, namun harga jualnya lebih murah. Beda harganya bisa sampai Rp 20.000 untuk sepasang sepatu. “Karena merekakan rata-rata menggunakan mesin,” ujar Sukri.

Banjir sepatu China tak pelak telah memukul produk Ciomas. Bisnis sepatu  Ciomas yang dulunya rata-rata tumbuh 10% per tahun, kini stagnan.

Para perajin sepatu Ciomas pun kini didera khawatir, kalau hal ini terus dibiarkan, maka dalam berapa tahun lagi, sepatu buatan mereka akan tergusur oleh sepatu buatan China. “Sekarang saja, banyak perajin yang mulai berguguran dan berganti profesi menjadi ojek online,” ungkap Didin.

Kesulitan tenaga kerja

Namun, imbuh Didin, kondisi perajin sepatu sedikit lebih baik daripada perajin sendal di Bogor. Sebab, beberapa produk sepatu Ciomas masih bisa dijual dengan harga bersaing dengan produk China.

Sementara produk sendal hampir tak bisa bersaing. Maklum, sendal buatan China ada yang dijual eceran hanya Rp 5.000 per pasang.

Industri sepatu Ciomas kini juga terkendala ketersediaan tenaga kerja. Jika 10 tahun hingga 20 tahun lalu pekerja kebanyakan merupakan warga sekitar, kini para pekerja banyak yang diambil dari luar Bogor.

Sebab, banyak generasi muda Ciomas tak berminat melanjutkan usaha keluarga yang sudah turun temurun. “Mungkin anak muda di sini melihat prospek usaha sepatu tidak lagi menjanjikan,” keluh Sukri.

Agar anak-anak Ciomas tetap bangga dan tertarik melanjutkan bisnis warisan keluarga yang sudah menjadi kebanggaan Ciomas ini, maka tak ada jalan lain industri sepatu di kawasan ini harus mampu eksis dan kuat bersaing. Untuk itu,  kualitas sepatunya harus digenjot dan biaya produksinya bisa efisien.

Untuk itu, kata Didin, mereka butuh bantuan modal dan pendampingan. Bantuan modal untuk mengembangkan kapasitas dan penggunaan mesin yang bermutu. Sedangkan pendampingan penting untuk mengawal proses pengembangan usaha.

Didin optimistis, kalau ada kerjasama antara pemerintah dan perajin, maka industri sepatu Ciomas masih bisa melejit.

Sementara Suprizal berharap ada peraturan daerah yang mengharuskan aparaturnya membeli produk mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×