Reporter: Rani Nossar | Editor: Tri Adi
Menjadi pengusaha lukisan yang sukses tidak begitu saja terjadi dalam waktu singkat. Putu Westrayana sempat bangkrut saat berdagang daging dan usaha penggemukan sapi di Bali. Setelah itu dia pun menjajal jadi pedagang lukisan.
Perjalanan usaha Putu menjadi juragan lukisan ternyata banyak mengalami jatuh bangun. Saat lulus studi Manajemen dari Universitas Pendidikan Nasional Denpasar, Putu memang ingin menjadi seorang pengusaha. Usaha pertama yang dia jalani yaitu penyedia bahan baku untuk para pedagang bakso di tahun 2002.
Dia menyiapkan daging sapi yang sudah dipotong-potong dan siap untuk diolah. Selain itu Putu juga membuat bumbu kuah bakso untuk dijual. Saat itu modal usaha dia dapat dari pinjaman perusahaan ventura Sarana Bali Ventura, anak usaha dari PT Bahana Artha Ventura. "Saat itu saya mendapat pinjaman sebesar Rp 50 juta. Uang itu saya belikan empat mesin pengolah daging untuk menjadi bakso," kata dia.
Selama tiga tahun menyuplai bahan baku bakso, usahanya cukup berkembang sampai pada akhirnya isu bakso berformalin mencuat di tahun 2005. Ini membuat omzet usahanya anjlok hingga 50%. "Enam bulan pertama dari isu formalin itu memang tidak bangkrut, tapi makin lama usaha saya menjadi sesak nafas, dan akhirnya berhenti di 2006," kata Putu.
Saat itu kebetulan pemerintah daerah Gianyar sedang membuka lahan untuk sentra potong hewan ternak terbesar di Bali. Uang dari sisa-sisa keuntungan menjual daging, dikumpulkan untuk mendirikan rumah potong sapi. Akhirnya Putu kembali meminjam dana dari Sarana Bali Ventura sebesar Rp 200 juta untuk pengadaan dan penggemukan sapi.
Lagi-lagi Putu harus menelan kekecewaan. Baru empat bulan berjalan dan belum sempat membayar pinjaman modal usaha, Putu mengalami masalah pada pakan, sehingga sapi-sapi tidak berkembang baik. "Saya sempat mengalami kerugian Rp 25 juta saat masa penggemukan sapi," ujarnya.
Setelah semua sapi dijual, rumah potong milik Putu akhirnya direnovasi. Kandang sapi dibersihkan, dan kayu-kayu spanram sisa di rumah potongnya dikumpulkan dan Putu menjadikannya bingkai kayu untuk bahan dasar di atas kain kanvas.
Kayu spanram adalah material yang digunakan untuk membuat pigura dan kerangka untuk membentangkan kain atau kanvas lukisan. Keterampilan ini dikatakan Putu terjadi begitu saja dan spontan. Ia menganggap kayu sisa ini sayang untuk dibuang.
Pigura dari kayu spanram ini lantas dia tawarkan kepada sejumlah pelukis di sekitarnya dengan harga miring. Setelah banyak berinteraksi dengan para pelukis, pikiran Putu mulai berpikir menjalani usaha pigura, kanvas, dan lukisan.
Apalagi Gianyar dan Ubud adalah pusat kerajinan dan seni di Bali yang letaknya berdekatan. Hal ini meyakinkan Putu untuk lebih fokus di bisnis ini.
Para pelukis mengambil material dan kanvas dari Putu. Setelah lukisan jadi, Putu membeli lukisan dari para pelukis tersebut.
Satu demi satu lukisan dia koleksi di tempat bekas rumah potong sapinya. Dari situ lukisan dari pelanggan spanramnya dipajang dan dia mulai menjadi penjual lukisan.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News