Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Usai krisis moneter menghantam Indonesia sepanjang 1997–1998, banyak orang yang takut untuk memulai sebuah usaha. Tapi tidak untuk Olan Sebastian.
Pria kelahiran 9 September 1956 ni justru optimistis memandang masa depan negeri ini. Ia pun berani membuka usaha di bidang farmasi, dengan menjadi importir suplemen serta antibiotik dari China.
Keputusannya tepat. Kini, bisnisnya berkembang di bawah bendera Catur Nawa Group. Bukan cuma farmasi, kelompok usaha milik Olan kini menaungi juga bisnis antibiotik pakan ternak, makanan hewan peliharaan, pupuk, kopi, dan promotor musik. Omzetnya sekarang mencapai Rp 50 miliar–Rp 60 miliar per tahun.
Catur Nawa yang awal berdiri berstatus commanditaire vennootschap (CV) lahir pada 9 September 1999, tepat di ulang tahun Olan ke-43. Kata Catur Nawa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti 4 dan 9. “Saya ingin buat perusahaan yang namanya dari angka 9 sebanyak 4 kali,” ujar Olan.
Catur Nawa berangkat dari satu perusahaan yang awalnya hanya menempati ruang tamu rumah Olan, dengan dua karyawan dan modal Rp 50 juta. Sekarang, Catur Nawa punya kantor di Jakarta plus dua cabang, masing-masing di Tangerang Selatan dan Surabaya, dengan 100 orang pekerja.
Meski begitu, keputusannya kala itu untuk menjadi importir di bidang farmasi, bukan tanpa pemikiran matang. Pengalaman bekerja di perusahaan farmasi jadi modal awal.
“Dari pengalaman saya lihat, ada sektor-sektor yang sampai kapanpun akan dibutuhkan selama manusia ada di muka Bumi, kiamat saja yang bisa membuatnya mati. Salah satunya adalah sektor farmasi,” kata Olan.
Tentu, orang tidak mau sakit. Makanya, mereka butuh berbagai macam suplemen atau obat-obatan supaya tetap sehat. Nah, kebutuhan itu bisa dipenuhi oleh industri farmasi.
Tambah lagi, ada teman yang mengajaknya mengambil barang langsung dari negeri tembok raksasa. Sebab, kala itu Perdana Menteri China Zhu Rongji mendorong industri manufaktur untuk bernegosiasi langsung dengan importir. Sebelumnya, penjualan barang melalui pedagang di Hong Kong yang melahirkan stigma barang dari China jelek lantaran permainan para trader itu.
Setelah bisnis berjalan, Olan memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Posisi terakhirnya sebagai company head PT Rosindo Husada Pratama, perusahaan farmasi.
Bisnis kopi
Tahun itu juga, Olan melebarkan sayap bisnis ke sektor makanan hewan peliharaan (pet food) dan antibiotik pakan ternak, dengan mengambil barang ke China. “Saya yakin bisa melakukan itu karena pengalaman pernah bekerja di bidang tersebut,” ungkap lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Sama seperti farmasi, Olan menilai, makanan hewan peliharaan dan antibiotik pakan ternak merupakan sektor yang tahan banting. Saat krisis moneter, ketika sektor-sektor lain berguguran, makanan hewan dan pakan hewan serta farmasi malah tumbuh. Begitu juga dengan tiga tahun terakhir, kala industri di tanah air lesu, dua sektor itu tetap tumbuh.
Keberhasilannya di bidang pet food rupanya masuk radar Royal Canin. Perusahaan makanan kucing asal Prancis itu pun memberikan kepercayaan kepada Olan untuk menjadi distributor di Indonesia pada tahun 2004. Ia pun membentuk perusahaan baru bernama PT Rofaca Karalmasih Abadi.
Ekspansi bisnisnya tidak berhenti. Masih di 2004, dia merambah ke sektor pupuk. Sejatinya, langkah ini tidak sengaja. Saat itu, ada peternak yang bertanya ke Olan, apakah bisa membantu memasarkan pupuk organik buatan mereka.
Awalnya, ia hanya membantu. Tapi ternyata, permintaannya besar. Olan pun memutuskan untuk memproduksi sendiri pupuk organik, dengan mengambil bahan baku dari peternakan ayam di Magelang, Jawa Tengah. Bisnis pupuk yang membidik pasar Kalimantan di bawah bendera PT Caturnawa Agritama Nusantara.
Seiring permintaan yang terus tumbuh di semua lini bisnis, Olan akhirnya membeli gudang pada 2006, meski sebetulnya uangnya belum cukup. Buat menutup kekurangan, ia mengajukan kredit ke bank.
Dalam keputusan ini, dia memakai falsafah Robert T. Kiyosaki dalam bukunya: Rich Dad, Poor Dad. “Kalau falsafah rich dad, ketika anak mau membeli mobil seharga Rp 300 juta dengan cara mencicil dengan memotong gajinya, sang ayah membolehkan. “Jadi, si ayah memberikan optimisme kepada anaknya untuk bisa membeli mobil itu,” jelas Olan.
Lalu, di 2016 juga, Olan merambah ke bisnis kopi. Awalnya, ia menjual biji kopi panggang (roasted bean) ke hotel, restoran, dan kafe (horeka). Tapi, ia masih menyerahkan proses produksi ke pihak ketiga. Karena itu, harga jual produknya sedikit lebih mahal. Ini yang kemudian membuat salah satu pelanggan Olan kabur.
Tak mau pelanggan yang lain ikutan hengkang, dia pun memutuskan untuk memproduksi sendiri roasted bean, dengan membeli mesin pemanggang kopi dari Amerika Serikat.
Lantaran masih tahap belajar, pada percobaan pertama, biji kopi gosong. Meski begitu, Olan nekad memberikannya kepada pelanggan. “Eh, customer marah-marah, dikembalikan lagi,” ungkapnya tersentum
Percobaan kedua, hasilnya lumayan bagus walau masih ada biji kopi yang gosong. Belajar dari pengalaman itu, dia pun sadar, bahwa harus tahu bagaimana cara memanggang (roasting) biji kopi.
Tak hanya roasting, ia juga belajar seluk beluk menanam, memanen, menyangrai, hingga menuang (brewing) kopi. “Itulah kenapa, saya dari dokter hewan menjadi dokter spesialis kopi,” katanya.
Dari tengah, Olan masuk ke hulu, supaya bisa mendapatkan biji kopi yang bagus. Ia pun menggandeng pekebun kopi, dengan menetapkan standar pemetikan dan penjemuran biji. “Jika mereka bisa memenuhi standar, saya akan berikan tambahan Rp 3.000 per kilogram, lebih mahal dari harga pasar. Akhirnya, mereka kan berlomba-lomba,” imbuh dia.
Hulu dan tengah sudah, Olan nyemplung juga ke hilir pada 2010 dengan membuka kedai kopi bertajuk Sebastian Coffee Shop. Saat ini, ia memiliki tiga gerai di Indonesia dan satu di Xiamen, China. “Maka itu, moto saya adalah, from plantation to the cup (dari perkebunan ke cangkir),” ujarnya.
Gelombang bisnis
Tapi, bukan berarti perjalanan kerajaan bisnis Olan tanpa riak dan gelombang, terutama usaha makanan hewan dan pakan ternak. Pada 2012, ia pecah kongsi dengan teman bisnisnya saat usaha tersebut sedang di puncak, dengan total permintaan mencapai 1.000 ton per tahun.
Setelah itu, dia sempat jadi distributor makanan hewan asal Amerika Serikat. Tapi, kerjasama ini hanya berjalan dua setengah tahun karena ganti kepemilikan perusahaan.
Tak mau masuk lubang yang sama, Olan memutuskan memproduksi sendiri makanan hewan lewat kerjasama dengan mitra di Korea Selatan. Ternyata, rekan bisnisnya bukan produsen melainkan broker. Ia pun menyudahi kongsi. “Dari usaha saya yang tadinya mature, kini kembali growing,” beber Olan.
Bukan cuma itu, dari semua riak dan gelombang tersebut, asetnya menyusut dari sebelumnya Rp 86 miliar–Rp 88 miliar jadi tinggal Rp 60-an miliar. “Tapi, saya harus melalui ini. Ini adalah sebuah perjuangan. Karena kan, ada pepatah yang bilang, bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda dan kesuksesan adalah kegagalan yang tertunda,” katanya.
Pada 2016, Olan menyerahkan tongkat estafet bisnis ke anak-anaknya. Ia tidak menyerahkan semua usaha itu saat sedang posisi bagus, tapi ketika lagi berkembang. “Supaya ada usaha, taktik tertentu sesuai zaman mereka, agar tumbuh baik,” tegas dia.
Namun, Olan tidak benar-benar berhenti. Ia tetap mendampingi anak-anaknya membesarkan bisnis. Selain itu, dia kembali jadi dokter hewan dengan membangun peternakan sapi sesuai angan-angannya.
Ke depan, Olan akan fokus ke bisnis kopi dan antibiotik pakan ternak (feed additive). Ini juga sesuai cita-citanya, memberdayakan pekebun kopi sekaligus menjadikan kopi lokal jadi tuan rumah di negeri sendiri. “Bahkan, saya punya angan-angan menduniakan kopi Indonesia dan meng-Indonesiakan kopi dunia,” tambah dia.
Untuk antibiotik pakan ternak, Olan tidak lagi jadi pengimpor melainkan memproduksi sendiri dengan menggandeng adik kelasnya di IPB, yang menciptakan produk tersebut dari bahan alami. Yakni, terbuat dari kunyit dan temu lawak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News