Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Getuk di tangan Diva Velda menjelma jadi makanan kekinian. Hasil kreasinya, penganan tradisional yang terbuat dari singkong itu memiliki rasa dan tampilan berbeda nan menggoda.
Dengan mengusung merek Oh My Gethuk, perempuan yang 4 Maret lalu genap berusia 21 tahun ini, menjadikan getuk kekinian sebagai oleh-oleh khas Kota Malang. Bentuknya seperti kue gulung. “Permintaan masyarakat Alhamdulillah bagus,” katanya.
Walhasil, Diva kini bisa mengantongi omzet berkisar Rp 300 juta hingga Rp 350 juta per bulan. Padahal, dia baru menggulirkan usaha getuknya Juli tahun lalu, dengan membuka gerai di daerah Blimbing, Malang. Itu berarti, bisnisnya belum satu tahun berjalan.
Tapi, Diva yang masih berstatus mahasiswi sudah mengenal dunia dagang sejak lama. Ketika duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD), ia jualan gelang yang terbuat dari manik-manik ke teman-teman satu sekolahnya. Saat sekolah menengah pertama (SMP), dia jualan aneka keripik.
Bahkan, kala masih berseragam putih biru, wanita kelahiran Malang ini berdagang durian medan dan panekuk alias pancake durian hingga lulus sekolah menengah atas (SMA). Dan sejatinya, Diva terbilang sukses menjalani usaha itu.
“Saya sudah tidak minta biaya dari orangtua buat bayar uang sekolah,” ujar anak bungsu dari enam bersaudara ini.
Dia mengambil durian medan dari kenalan kakak sulungnya. Berbekal ponsel BlackBerry lungsuran dari sang kakak pertama, ia menawarkan buah berduri itu lewat BlackBerry Messenger (BBM).
Kebetulan, ponsel sang kakak masih menyimpan kontak teman-temannya. “Saya langsung mikir, kayaknya bagus juga buat jadi pelanggan, nih. Jadi, saya share, tuh, dagangan saya ke kontak BBM kakak saya, kan, kakak saya sudah kerja pasti teman-temannya juga pekerja, dong,” ucapnya.
Diva mengantar sendiri semua pesanan yang masuk sepulang sekolah. Tentu, bukan dalam bentuk durian utuh melainkan kupas dalam kemasan.
“Karena saya nganter durian pakai baju sekolah, jadi ditambahin duitnya, katanya, kasihan masih sekolah sudah nganter dagangan,” kenang dia.
Rugi ratusan juta
Awalnya, Diva menggunakan sistem pre-order. Jadi, begitu ada order datang, ia baru mengambil durian medan kupas. Tapi, setelah mendekap banyak keuntungan, dia mulai berani stok duren yang dititipkan di rumah kakak sulung.
Diva pun menambah produk dagangan, yakni panekuk durian. “Kebetulan salah satu kakak saya ada yang jago masak. Jadi, saya minta tolong untuk bikin pancake,” ungkapnya.
Saluran pemasaran juga bertambah. Dari hanya BBM, dia menawarkan lewat media sosial Instagram dan Twitter.
Bahkan, Diva sampai memakai jasa endorser seperti Malang Foodies untuk mempromosikan panekuk durian buatannya. “Waktu itu bayar, sih, ratusan ribu rupiah, tapi dampaknya luarbiasa,” imbuh dia.
Alhasil, pesanan yang masuk bukan cuma datang dari Malang, juga daerah lain di sekitaran kota apel, seperti Batu, Surabaya, dan Madura. Lantaran kewalahan, akhirnya ia menggunakan sistem reseller.
Diva yang saat itu masih duduk di kelas XI SMA mengenal konsep reseller dari berbagai seminar kewirausahaan yang dirinya ikuti. Salah satunya, seminar yang menghadirkan pendiri keripik singkong Maicih sebagai pembicara. “Maicih memakai konsep Jenderal dan seterusnya yang sebetulnya adalah reseller,” jelasnya.
Cuma, Diva pernah rugi besar di bisnis durian. Enggak tanggung-tanggung, angkanya sampai Rp 300 juta. Jelas, nilai yang sangat besar untuk ukuran anak seragam putih abu-abu.
Ceritanya, saat dia sibuk mempersiapkan Ujian Nasional (UN), order yang datang sedang banyak-banyaknya. Sementara pemasok durian langganannya tidak sanggup memenuhi permintaan itu. Jadi, dia terpaksa mencari dari vendor lain.
Ternyata, setelah transfer uang ke vendor tersebut, durian yang datang nilainya tidak sampai Rp 300 juta. Sudah begitu, kualitasnya buruk sehingga tidak layak jual.
“Itu merupakan pukulan dan cobaan terbesar buat saya. Saya pun langsung drop banget, nangis, pusing persiapan UN,” kata Diva yang menambahkan, sebagian uang untuk membeli durian itu merupakan hasil utang.
Berkat bantuan dari pemasok durian langganannya, dia mendapat duren pengganti dari vendor baru. Vendor ini merupakan kenalan dari pemasok durian langganannya.
Dalam tiga bulan, Diva bisa melunasi seluruh utangnya. “Ini merupakan titik balik hidup saya. Sejak itu, saya enggak bisa sembarangan jalan (usaha) lagi, paling tidak harus tahu ilmunya dulu baru menjalaninya. Makanya, saya putuskan tutup usaha durian,” tegasnya.
Selain itu, dia juga memutuskan untuk tidak kuliah dulu. Ia ingin mengumpulkan uang dulu untuk biaya masuk perguruan tinggi, biar tidak merepotkan orangtua. Ayahnya adalah pekerja seniman yang membuat relief bangunan, sedang sang ibu pedagang camilan.
Pilihannya pun jatuh ke bisnis online dengan menjadi dropshipper. Diva mengenal sistem dropship setelah banyak menonton tayangan motivasi wirausaha di YouTube. “Saya nyobain sistem ini, mulai baju, makanan beku frozen food, hingga tas,” ujar dia.
Selama empat bulan Diva menjadi dropshipper. Sebab, ia merasa, tabungannya sudah cukup untuk uang masuk kuliah. Tambah lagi, dia ingin fokus mempersiapkan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Sejatinya, Diva diterima di Universitas Udayana, Bali. Tapi, karena merasa enggak sanggup jauh-jauh dari orangtua, ia pun memilih masuk ke Binus Malang. “Awalnya deg-degan, kayaknya kampus mahal, tapi Alhamdulillah dapat beasiswa, saya ambil Program Business Creation,” ungkapnya
Berkat ikut lomba
Naluri bisnisnya muncul lagi pasca mendapat tugas kampus membuat business plan. Ia juga melihat peluang dari usaha katering milik kakak ketiganya.
Menurut Diva, setiap mengirim katering makan siang ke pelanggan, kakaknya selalu menambahkan getuk sebagai makanan penutup. Tapi, getuk itu bukan buatan si kakak.
Lantaran sang ibu dulu sering membuat getuk, dia pun meminta kakaknya untuk membuat kudapan itu, menggunakan resep dari ibunda. “Kakak saya ini yang dulu bikin pancake durian. Rupanya, getuk buatan kakak banyak yang suka. Malah, banyak yang pesan untuk acara,” tambah Diva.
Akhirnya, getuk pun jadi ide bisnisnya untuk tugas kuliah. Apalagi, dia melihat, jarang ada penjual penganan ini di Malang.
Karena itu, dalam business plan, Diva menjadikan getuk sebagai oleh-oleh khas Malang. Ketika itu, ia menyematkan merek Gethung Malang.
Hanya, Diva menawarkan getuk dalam bentuk kue gulung dengan rasa kekinian, yakni milo, keju, dan machiato. “Dan, saya ingin mengangkat petani singkong. Karena saat itu, saya riset, harga singkong Rp 500 per kilogram,” sebutnya.
Kampusnya lalu mengikutkan business plan-nya ke Broadway Business Plan National Competition Universitas Brawijaya dan lolos ke 10 besar. Sehingga, Diva bisa presentasi di hadapan juri. Salah satunya, Hendi Setiono, pendiri Baba Rafi.
Ternyata, Hendi sangat tertarik dengan ide bisnisnya lalu menawarkan diri sebagai investor, dengan menyuntikkan modal Rp 300 juta. “Dari situ, saya belajar banyak sama beliau. Bukan saja sebagai investor juga mentor,” imbuhnya.
Merek Oh My Gethuk juga berdasar masukan Hendi. Persiapan usaha ini sekitar lima bulan, sebelum launching Juli 2018. “Yang bikin getuk kakak saya. Tapi, tes pasar dulu, rasa apa yang pas dan bentuk apa yang sesuai,” kata Diva.
Satu bulan sebelum peluncuran, dia mulai gencar promosi Oh My Gethuk termasuk memakai jasa endorser, seperti Malang Foodies dan Explore Malang, juga beriklan di radio. Hasilnya, “Buka tiga minggu pertama selalu sold out dalam hitungan jam,” ujarnya.
Kemudian, Diva menambah produksi, dari 200 getuk jadi 300–400 getuk per hari. Jumlah karyawan pun bertambah, dari 14 orang menjadi 20 orang. Selepas Lebaran, ia berencana membuka gerai baru.
Rencana lain, dia ingin membentuk petani binaan untuk mengembangkan singkong yang sesuai standar. Soalnya, pasokan singkong sebagai bahan baku getuk selama ini tidak semuanya sesuai standar yang ia inginkan.
“Sejauh ini, sudah ada enam petani yang akan kami bina dan lokasinya di Kabupaten Malang,” beber Diva.
Biar makin mantap.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News