Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Rizki Caturini
Konsumen Batik Kultur buatan Dea Valensia tak hanya dari dalam negeri saja. Sekitar 15% peminat batik buatannya datang dari berbagai negara di luar negeri seperti Singapura, Belanda, Australia, AS dan beberapa negara lainnya.
Meski saat ini ia telah mengantongi omzet sekitar Rp 300 juta setiap bulan, namun Dea masih tetap ingin terus mengembangkan usahanya dan meningkat pangsa pasar. Salah satu caranya adalah dengan membuka Galeri Batik Kultur di Semarang pada tahun ini. "Kita sudah bangun galeri dan tahun terakhir ini dan akan segera selesai," ujar gadis berambut panjang ini.
Selain itu, Dea mengatakan akan segera membangun toko ritel di Jakarta untuk meningkatkan pangsa pasar. Sebab, pemasaran Batik Kultur selama ini hanya sebatas di beberapa jejaring sosial seperti Facebook dan Instagram.
Seiring rencananya untuk mengembangkan pangsa pasar, Dea merasa harus menambah varian produkbatiknya. Selama ini batik buatan Dea hanya ditujukan untuk konsumen wanita seperti baju formal wanita, kemeja dan pakaian pesta bagi wanita. Nah kedepannya, Dea berencana memproduksi berbagai pakaian untuk para pria juga. Dengan begitu, pasar Batik Kultur ini akan semakin besar.
Meski tidak memiliki latar belakang profesional sebagai perancang busana, Dea yakin bisa menciptakan model-model pakaian batik yang disukai banyak orang. Untuk itu, gadis lulusan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ini terus belajar dan rajin mengamati lingkungan untuk mampu menangkap tren fesyen yang berkembang.
Lewat produk yang ia hasilkan, Dea juga berusaha untuk mendorong anak-anak muda mencintai batik dan menggunakan produk dalam negeri ini. Untuk itu, gadis berparas cantik ini juga terus berusaha membuat desain baju batik yang menarik, simpel dan cocok untuk kalangan anak-anak muda. "Saya ingin semakin banyak lagi anak-anak muda yang memakai batik," kata dia.
Mengingat banyak pemain yang bergerak di bisnis yang sama dengannya, Dea terus mencari strategi bisnis agar produknya tetap diterima masayarakat. Menurutnya, strategi yang harus dilakukan adalah menciptakan model yang menarik dan unik, serta menetapkan harga yang sesuai."Jadi harga yang ditetapkan tidak terlalu murah dan tidak terlalu mahal juga," ujarnya.
Dea pun berencana mengambil sekolah bisnis untuk memperdalam ilmu di dunia bisnis. “Kalau memiliki ilmu tentu akan lebih mudah mengembangkan batik kultur lebih besar lagi,” kata dia.
Tahun ini, Dea menargetkan bisa menambah produksi menjadi 1.300-1.500 per bulan. Tahun lalu ia baru bisa memproduksi sekitar 800 potong pakaian saban bulan. Seiring dengan pembukaan galeri baru di tahun ini, Dea juga akan segera menambah karyawan menjadi sekitar 60 orang dari sebelumnya yang hanya sebanyak 38 karyawan.
Ternyata, menjadi bos di usia belia menjadi tantangan tersendiri bagi Dea. Sebab, usia semua pegawai yang bekerja jauh lebih tua darinya. "Itu menjadi tantangan bagi saya bagaimana untuk tetap menjalin komunikasi yang baik," ungkapnya. n
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News