Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Pemberian berupa kerajinan bonggol jagung oleh seorang teman, memacu rasa penasaran Edie Juandie. Ia yang memang senang membuat produk kerajinan, berusaha keras menemukan cara untuk bisa menghasilkan produk serupa. “Bagaimana caranya mikro-organisme gak bisa hidup didalamnya,” tutur Edie.
Di tahun 2008, dengan bekal sekarung bonggol jagung, Edie mengawali percobaannya. Saat itu, Edie belum berpikir tentang produk yang bisa dihasilkan. Target utamanya adalah menemukan cara pengawetan bonggol jagung.
Berbagai cara ditempuh agar percobaannya berhasil. Mulai dari bertandang ke perpustakaan IPB, berdiskusi dengan “profesor jagung”, hingga sempat tertambat pada kekuatan formalin. “Waktu pakai formalin, hasilnya luar biasa bagus,” tutur Edie.
Ruwetnya izin pembelian, harga yang relatif mahal, serta besarnya efek samping yang mungkin dimunculkan dari penggunaan formalin, Edie kembali memutar otak untuk temukan resep pengawetan lainnya. “Tahun 2009 saya dapat pendanaan untuk kembali uji coba dari Dompet Dhuafa, sebagai gantinya saya diminta memberi pelatihan pengolahan bonggol jagung ke daerah-daerah,” tutur Edie.
Tak disangka, saat memberikan pelatihan, Edie juga mendapat masukan dari para peserta. Kala itu, Edie menerima usul penggunaan garam non yodium sebagai bahan pengganti pengawet. Mulai saat itu, Edie meninggalkan formalin dan mulai menggunakan pengawet alami.
Pada tahun 2010, Edie baru mulai berani memasarkan produk kerajinan bonggol jagungnya. Beragam jenis produk telah ia hasilkan mulai dari dekorasi rumah, peralatan rumah tangga, peralatan kantor, merchandise, hingga produk fesyen.
Kerajinan bonggol jagung karya Edie dijual dengan rentang harga Rp 125.000-Rp 4,7 juta. Pasarnya tak hanya menyebar di Indonesia, tapi juga berbagai negara lain seperti Prancis, Belanda, Belgia, Jepang, dan Amerika.
Sejak berhasil menghasilkan kerajinan bonggol jagung, Edie lebih dikenal dengan julukan Edie Bonggol Jagung. Tak hanya produknya yang mulai diburu. Kini, ilmu pemanfaatan limbah organik yang dimilikinya juga mulai dilirik.
Tak heran, Edie memiliki jam terbang yang tinggi dalam pelatihan kepada masyarakat. Sejak tahun 2010 hingga sekarang, ia selalu dipercaya untuk memberikan pelatihan ke berbagai daerah di Indonesia. “Dalan satu tahun itu bisa 5-8 kali pelatihan,” tuturnya.
Edie pun kini terus berupaya mengembangkan produk-produk limbah organik lainnya. Ia berkeinginan, setiap daerah memiliki kantong-kantong pengembangan limbah organik sesuai potensi daerah masing-masing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News