kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,14   10,84   1.19%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Desain produk jurus jitu menjual barang yang laku


Rabu, 02 Februari 2011 / 16:51 WIB
Desain produk jurus jitu menjual barang yang laku
ILUSTRASI. Pabrik PT. Intikeramik Alamasri Industri Tbk (IKAI)


Reporter: Mona Tobing, Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi

Ukuran keberhasilan produk bukan hanya dari fungsi. Kini, produsen pelbagai macam barang juga memperhatikan nilai seni dan estetika produknya. Desain membuat barang menonjol lewat bentuk, komposisi garis, dan warnanya yang bisa membikin produk makin laku.

Pernahkah Anda jatuh cinta pada pandangan pertama? Misalnya, ketika berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dan melihat produk yang membuat Anda langsung jatuh hati. Itulah hasil karya desainer produk, membuat konsumen langsung jatuh cinta saat melihat produk bikinannya.

Tak hanya soal kegunaan, desain produk juga mengandalkan nilai seni dan estetika. Desain dengan nilai seni inilah yang membuat sebuah produk menjadi mahal.

Maklum, di baliknya ada desainer-desainer produk. Mereka yang berimajinasi, meriset, dan mendesain suatu produk agar berfungsi maksimal, sekaligus berpenampilan yang terbaik.

Pelaku industri terkemuka memburu desainer-desainer untuk menciptakan bermacam produk yang memiliki sentuhan seni. Para desainer produk itu mendapatkan kontrak eksklusif dari perusahaan besar untuk membuat karya seni yang nantinya diproduksi dalam jumlah besar atau massal.

Namun, banyak juga desainer yang memilih merintis usahanya sendiri. Mereka tidak hanya mendesain produk, tetapi juga memproduksi produk.

Tengok saja Singgih Susilo Kartono. Ia dan kawan-kawannya sempat mendirikan PT Aruna Aruntala yang memproduksi mainan kayu untuk pasar ekspor. Sayang, usahanya tidak langgeng.

Waktu itu, Singgih menjadi manajer produksi sekaligus desainer. Desain ciptaannya, radio kayu yang dulu menjadi tugas karya akhirnya di Jurusan Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Banding menjadi runner up dalam Design Resource Award 2007 di Seattle, Amerika Serikat. Namun, perbedaan pandangan dengan pemilik Aruna Aruntala lain membuat radio kayunya tak kunjung terealisasi.

Akhirnya, Singgih memilih keluar dan mendirikan perusahaan sendiri demi mewujudkan cita-citanya memproduksi radio kayu. Ia membuat radio kayu dengan nama Magno Wooden Radio di bawah bendera CV Piranti Works yang dibangunnya pada 2004 dengan modal pinjaman Rp 10 juta.

Namanya juga radio kayu, bahan bakunya menggunakan kayu sonokeling dan mahoni. Pencampuran kedua kayu ini memperlihatkan warna gelap di sisi depan, dan sisanya didominasi kelir terang dari kayu mahoni. Pria 32 tahun ini adalah satu dari banyak pekerja kreatif yang tak hanya mendesain, tapi juga membuat produk jadi.

Singgih membuat dua jenis radio kayu, yakni WR03-CUBE/4B yang berbentuk kubus tanpa sudut lancip dan WR03-RECT/4B dengan bentuk persegi panjang. Jenis yang kedua ini mengingatkan kita akan radio zaman dulu alias zadul. "Ukurannya yang besar sengaja dibuat agar tidak sering dipindah-pindahkan," ungkap Singgih.

Radio ini membutuhkan empat baterai ukuran A3 untuk beroperasi. Seperti radio umumnya, radio buatannya bisa menangkap gelombang AM dan FM. Untuk gelombang FM, pendengar juga bisa menangkap suara dari siaran TV analog. "Memang, bukan teknologi yang saya jual, tapi keunikan kemasannya," papar lelaki asal Temanggung itu. Bentuk radio yang kuno inilah yang membuat radio kayu bikinan Singgih diminati pasar Eropa dan Asia.

Lain lagi cerita Fitorio Leksono yang menjadi desainer produk keramik Jenggala, produsen keramik yang berlokasi di Bali. Setiap hari, ia mendesain keramik Jenggala. Sudah begitu, waktu pengerjaannya juga terbilang lama. "Paling lama memakan waktu tiga bulan," tutur Fito, sapaan Fitorio.

Waktu yang cukup lama dalam pembuatan sebuah desain ini karena keinginan pasar yang selalu berubah. Fito menjelaskan, ketika hendak melempar sebuah barang ke pasar, maka perlu ada riset-riset khusus tentang apa yang diinginkan pasar.

Toh, dia menyadari kondisi tersebut karena bekerja di sebuah perusahaan memang dalam posisi memenuhi kebutuhan pasar. "Namun bukan berarti kami selalu mengikuti kemauan pasar. Adakalanya kami juga harus menciptakan tren pasar," tegas Fito.

Fito kerap menuangkan unsur etnik seperti ukiran motif Bali pada desain keramiknya. Namun, ia pernah terinspirasi membuat desain keramik setelah melihat motif kain songket.

Selain menggarap desain untuk Jenggala, Fito juga mendesain smile stool, bangku tanpa sandaran berbentuk melengkung. Desain kursinya ini masuk nominasi People Design Award 2010 Cooper Hewitt National Design Museum, New York, Amerika Serikat.

Fito membuat model kursi ini dari bahan limbah industri mebel kayu. Dia menyusun potongan-potongan kayu dan menyusunnya melengkung di bagian tempat duduk.

Tak hanya itu, Fito pun menciptakan desain lampu bernama Guk. Ia merancang lampu seperti seekor anjing yang sedang membungkuk. Lampu Guk ini memang terinspirasi dari anjing yang sedang membungkuk.

Dia menggunakan bahan-bahan, seperti plastik, kawat listrik, dan tali pendek. "Ekor anjing ini adalah kabel penyambung listriknya," jelasnya. Selain berfungsi sebagai penerangan, lampu Guk juga menjadi lampu hias dengan bentuk unik.

Menenteng buku sketsa dan kamera setiap hari, Fito terbiasa mendesain sesuatu di mana saja, kapan saja, dan pada situasi apa pun. Biasanya, ia mulai mendesain produk dengan sebuah tema.

Tema itu Fito dapat dari pengalaman sehari-hari atau gambar menarik yang ia jumpai. Dia juga kerap mengerjakan sketsa sesuai dengan permintaan klien Jenggala atau klien lainnya yang membayar desainnya sebagai tenaga lepas.

Setelah menuangkan ide dalam bentuk gambar dan mendapat persetujuan dari klien, Fito mulai mengukirnya pada sebuah keramik yang kemudian menjadi model sampel. Model sampel tersebut merupakan bagian terpenting dari rangkaian proses pembuatan desain.

Pria yang lebih memilih menetap di Bali ini menuturkan, model sampel menjadi tolok ukur ongkos produksi yang akan dikeluarkan produsen.

Setelah sampel produk kelar, tahapan selanjutnya yaitu, menyerahkan desain tersebut ke bagian pemasaran yang bertindak sebagai eksekutor. Jika bagian pemasaran setuju, maka dilakukan penyempurnaan desain di tahap akhir sebelum produsen melempar produknya ke pasar.

Finalisasi desain bisa berupa penyempurnaan ukiran, bentuk, atau warna produk. Fito terkadang harus turun tangan juga masalah branding atau penciptaan citra untuk iklan.

Fito bilang, kreativitas desain lokal tak kalah dengan desain asing. Justru belakangan desain produk anak bangsa banyak memenangkan lomba dan diburu banyak perusahaan. "Kekuatan desainer lokal adalah, kita memiliki seni-seni daerah yang bisa menjadi referensi. Potensi budaya inilah yang banyak digali para tenaga kreatif," tutur Fito yang juga mengagumi kain daerah.

Fito menjelaskan, dengan menonjolkan sisi etnik untuk karya desain, tidak mustahil karya pekerja kreatif kian diminati di dalam dan luar negeri. "Banyak justru turis-turis yang tertarik dengan produk kebudayaan dalam negeri," ujarnya.

Agar tidak terkesan kolot, Fito menambahkan, perpaduan budaya pop yang mengikuti tren zaman dengan nuansa etnik dijamin bisa diterima pasar. Sentuhan etnik tak hanya membuat suatu karya menjadi unik, tapi merupakan satu bentuk pelestarian budaya lokal.

Karya seni yang mahal ini tentu membuat para desainer produk mendapat hasil yang setimpal. Singgih Susilo, contohnya, setiap bulan mampu menjual 200 radio. Untuk pasar ekspor, ia menjual radio US$ 49 hingga US$ 90 per unit, lebih mahal dari radio pada umumnya. "Karena ini barang koleksi, bukan barang komoditas," katanya. Dalam setahun, nilai ekspornya mencapai US$ 180.000.

Singgih hanya memasarkan secara online dan lewat toko buku Aksara untuk pasar dalam negeri dengan harga Rp 1,1 juta hingga Rp 1,3 juta. Ia yang menyisihkan 10% penjualan untuk pembibitan dan penanaman pohon sebagai bahan baku ini, mempekerjakan 33 orang untuk produksi radio kayu.

Jika Singgih terbuka dengan berapa banyak uang yang mampu ia hasilkan, Fito menolak menyebut angka. Sambil tertawa ia bergurau, menjadi desainer produk bisa membuat orang menjadi kaya. "Pokoknya cukuplah membeli kendaraan roda empat, dan membayar cicilan rumah setiap bulannya," tutur Fito yang sekarang ini menetap di Bali.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×