kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.200   59,45   0,83%
  • KOMPAS100 1.107   11,93   1,09%
  • LQ45 878   11,94   1,38%
  • ISSI 221   1,25   0,57%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,59   1,05%
  • IDX80 127   1,36   1,08%
  • IDXV30 135   0,76   0,57%
  • IDXQ30 149   1,76   1,20%

Di tangan Leo Sandjaja, Lea Jeans menjadi merek yang modis


Minggu, 06 Januari 2019 / 10:45 WIB
Di tangan Leo Sandjaja, Lea Jeans menjadi merek yang modis


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Pecinta jin di tanah air tentu tak asing dengan nama Lea Jeans. Merek lokal yang berkibar sejak 1976 ini jelas punya banyak penggemar setia bahkan fanatik.

Di bawah naungan PT Lea Sanent, Lea Jeans kemudian menjelma menjadi brand produk denim, tidak hanya jin. Tapi, jin masih jadi penyumbang utama pendapatan.

Saban bulan, penjualan jin tembus 30.000 potong, dengan harga jual paling murah di kisaran Rp 300.000 per potong.

Sejatinya, sang pendiri, Gani Sandjaja, sudah merintis bisnis garmen semenjak 1972 silam, tapi belum memproduksi jin. Lea Jeans baru ada empat tahun kemudian.

Kini, dengan lebih dari 300 karyawan di bagian produksi, seluruh pembuatan produk denim Lea Jeans berpusat di pabrik yang ada di daerah Cimone, Tangerang.

Tapi sekarang, kendali bisnis Lea Jeans ada di generasi kedua. Gani sudah menyerahkan tongkat komando ke anak bungsu dan lelaki satu-satunya, Leo Sandjaja yang duduk di kursi direktur Lea Sanent. Kedua kakaknya juga ikut membantu mengelola perusahaan.

“80% sudah diserahkan ke kami. Hanya, saya masih menyerahkan produksi ke papa, karena, kan, beliau detail. Misalnya, mau pakai bahan mana,” kata Leo yang bergabung dengan Lea Jeans pada 2004.

Meski begitu, awalnya Leo menolak keinginan sang ayah untuk meneruskan bisnis Lea Jeans. Sedang menempuh studi strata dua (S2) di Amerika Serikat (AS) jadi alasan pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1977, ini tak langsung menerima permintaan ayahnya tersebut.

Cuma alasan sebenarnya, Leo mengungkapkan, semua bisnis keluarga punya permasalahan yang sama yakni generasi pertama dengan kedua pasti sering bentrok. Nah, “Ini hal yang ingin saya hindari,” ujarnya.

Mendapat penolakan, sang ayah pun mengancam akan menghentikan pengiriman uang untuk biaya kuliah dan hidup Leo di negeri Uwak Sam. Toh, dia tetap menolak permintaan ayahnya agar pulang ke Indonesia.

Untuk itu, ia pun mencari kerja ke perusahaan-perusahaan sebagai karyawan berbekal ijazah S1. Tapi ternyata, tak mudah mencari lantaran statusnya sebagai mahasiswa.

Tahu anak bontotnya mencari kerja tapi tidak dapat-dapat, sang ayah pun mengontak Leo. “Papa bilang, di Indonesia, bisnis sudah ada, kerja di Indonesia jauh lebih enak. Bagaimanapun juga kamu, kan, orang Indonesia, lebih kenal karakter orang Indonesia,” ujar suami aktris Laura Basuki ini.

Terobosan baru

Hati Leo pun luluh. Begitu kelar kuliah S2, ia langsung pulang ke Indonesia dan membantu sang ayah di perusahaan sebagai sales manager. Namun, hanya kurang lebih dua bulan. Maklum, dia tidak senang dengan dunia penjualan.

Lalu, Leo dipindah ke bagian promosi dan komunikasi pemasaran. “Sampai sekarang saya di bagian itu. Saya dari dulu memang suka dengan desain, mengonsep promosi. Itu saya memang suka,” ucapnya.

Walau sudah mengenal lingkungan perusahan lantaran ketika pulang ke tanah air sewaktu masih kuliah di AS sering ikut ayahnya ke pabrik, bukan berarti kerjaan Leo di awal-awal baik-baik saja. Ritme kerja sang ayah dan karyawan ternyata bertolak belakang dengan dirinya. “Itu membuat saya hampir menyerah,” ungkapnya.

Tapi, kedua kakaknya terus menyemangati. Intinya mereka mengatakan, kalau bukan kita siapa lagi yang meneruskan bisnis sang ayah. “Saya merenungkan ucapan kakak saya. Betul juga apa yang mereka ucapkan. Dari situ saya mulai mencoba untuk menjalani kembali. Tak terasa sekarang sudah 14 tahun,” tutur Leo.

Bahkan, dia mulai melakukan terobosan-terobosan di Lea Jeans. Oh, iya, kata Lea sendiri diambil dari nama kakak pertamanya.

Terobosan pertama, memangkas biaya Lea Store yang merupakan gerai mandiri alias stand alone. Gedung-gedungnya milik sendiri.

Bagi Leo, biaya Lea Store, yang mulai ada sejak 1998 dan kini jumlahnya 30-an gerai yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia, sangat besar. Bangunan Lea Store terdiri dari dua hingga empat lantai. Padahal, yang terpakai hanya lantai dasar.

“Kenapa tidak disewakan saja, setidaknya bisa menutup biaya. Jadi, mana gerai yang enggak menguntungkan, saya pindah ke bangunan satu lantai dan sewa,” beber dia.

Terobosan kedua, melakukan rebranding Lea Jeans. Sebab, logonya sudah usang. 

“Masyarakat Indonesia, kan, sudah tahu logo Lea Jeans. Jadi, kalau saya modernisasi sedikit, ya, tidak masalah. Itu saya berdebat panjang lebar sama papa, berantem kami tentang logo,” sebut dia yang akhirnya bisa meyakinkan sang ayah.

Kemudian terobosan ketiga, mengembangkan produk. Leo membawa merek Lea Jeans mengarah ke modis. Sebab, penjualan yang perputarannya paling cepat justru bukan jin, melainkan produk top dan aksesori, seperti kaos, topi, serta bandana. Nah, ini yang tidak pernah ayahnya lakukan.

Cuma lagi-lagi, meyakinkan sang ayah bukan main susahnya. Sebab, pola pikir generasi pertama sebagai founder adalah, dengan apa yang sudah ada usaha tetap jalan. Sementara generasi kedua melihat ke depan.

“Jadi, untuk meyakinkan generasi pertama, saya rasa menjadi problem terbesar dalam setiap bisnis keluarga. Kami sebagai anak harus berantem dengan orangtua, itu, kan, tidak enak rasanya,” kata Leo.

Sekarang, Leo sedang mengevaluasi proses produksi. Ia menjelaskan, proses produksi pabrik di Cimone selain menjahit juga ada mencuci. Semua orang bisa menjahit, tapi tidak semua bisa mencuci.

Jadi, dia sedang melihat peluang, apakah akan lebih efektif dan murah kalau proses mencuci dilempar ke pihak lain. Saat ini, Leo masih melakukan simulasi, berapa biayanya termasuk untung ruginya.

“Ini papa juga belum tahu. Tapi saya pikir, buat saja dulu, bikin simulasinya, data-datanya disiapkan. Kalau memang ternyata lebih murah, akan saya persentasikan ke papa,” imbuhnya.

Relokasi pabrik

Bahkan, Leo berencana memindahkan pabrik di Cimone yang sudah berdiri 35 tahun ke daerah lain. Dulu, ia menceritakan, kawasan Cimone masih sepi. Sekarang, sudah ramai, di sekitar pabrik sudah berdiri pusat belanja dan hotel.

Alhasil, secara lokasi sudah tidak cocok. Apalagi, Lea Jeans satu-satunya pabrik yang ada di jalan besar di wilayah Cimone yang memiliki izin industri.

Selain itu, biaya produksi terus meningkat dan terlalu mahal dari segi upah buruh. Upah minimum regional (UMR) di Cimone sudah Rp 3 jutaan per bulan. Dan tahun depan, naik lagi sebesar 8%. “Lumayan, kan, cost-nya,” ujar Leo.

Karena itu, dia sedang mencari wilayah yang potensial dan cocok untuk jadi lokasi pabrik. Sejauh ini ia baru survei ke Rembang, Jawa Tengah, dengan UMR Rp 1,4 juta per bulan. Leo masih mencoba cari lokasi di daerah lain.

Tapi memang, untuk industri garmen, enggak bisa memindahkan pabrik begitu saja, harus pelan-pelan. Bangun dulu pabrik baru dan beroperasi, baru yang lama ditutup. “Ini rencana besar ke depan, jangka panjang,” tambahnya.

Untuk pemasaran, saat ini Leo masih mengandalkan kanal-kanal tradisional. Selain Lea Store, ia bekerjasama dengan  department store, seperti Matahari dan Ramayana.

Lalu, menggandeng sekitar 15 toko grosir yang memiliki banyak titik penjualan di berbagai daerah. “Ini membantu kami dalam hal investasi. Jadi, enggak perlu buka toko sendiri,” kata dia.

Tentu, di tengah perkembangan dunia digital yang pesat, ia berencana masuk ke saluran penjualan online. Selama ini, kalau ada produk Lea Jeans di marketplace, yang menjual bukan dirinya. “Kami lagi mengembangkan website sendiri, nanti pasti akan ada e-commerce-nya juga,” ujarnya.

Dan sampai saat ini, Leo belum mengekspor produk Lea Jeans. Tapi, ada pembeli dari luar negeri, seperti asal Korea Selatan, Hong Kong, Filipina, yang membeli dalam jumlah besar untuk dipasarkan di negara masing-masing. “Kami belum tertarik jadi eksportir karena potensi pasar di Indonesia masih besar,” tegas dia.

Hanya, ada dua tantangan besar untuk industri garmen di negara kita. Pertama, tenaga kerja. Seiring kenaikan UMR, seharusnya produktivitas meningkat. Tapi kenyataannya tidak begitu, produktivitas  sama saat sebelum UMR naik

Kedua, dukungan pemerintah. Garmen sempat jadi industri prioritas karena penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Namun sekarang tidak lagi.

Alhasil, produk kita kalah sama Vietnam dan China. “Kalau bisa, ada dukungan regulasi yang stabil, jangan berubah-ubah, kasih kepastian usaha,” harap Leo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×