kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.303.000   7.000   0,30%
  • USD/IDR 16.584   -33,00   -0,20%
  • IDX 8.251   84,91   1,04%
  • KOMPAS100 1.131   14,37   1,29%
  • LQ45 800   15,27   1,95%
  • ISSI 291   1,34   0,46%
  • IDX30 418   7,16   1,74%
  • IDXHIDIV20 473   8,42   1,81%
  • IDX80 125   1,66   1,35%
  • IDXV30 134   1,28   0,97%
  • IDXQ30 131   2,43   1,89%

Duh, pelek dan ban bekas tak menggelinding


Senin, 11 Januari 2016 / 15:35 WIB
Duh, pelek dan ban bekas tak menggelinding


Reporter: Teodosius Domina | Editor: Tri Adi

Kondisi para pedagang pelek dan ban di pinggir-pinggir jalan kian terjepit di tengah kondisi ekonomi yang lesu sejak tahun lalu. Sebut saja sentra pelek di Arteri Permata Hijau dan Pondok Pinang di Jakarta Selatan. Para pedagang hanya bisa menjual dua set pelek dalam sepekan. Itu pun dengan margin keuntungan kian tipis dengan mematok harga jual lebih murah. 

Kelesuan ekonomi sepanjang tahun lalu menghantam semua sektor ekonomi, tidak terkecuali bagi para pedagang skala Industri Kecil dan Menengah (IKM). Contohnya para penjual pelek (velg) dan ban mobil yang berdagang di pinggir-pinggir jalan raya. Salah satunya terletak di kawasan Jalan Arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan.

Ketika KONTAN menyambangi wilayah ini, tidak tampak aktivitas jual-beli. Kios-kios terlihat sepi, hanya ada pedagang yang menunggu di kios sambil duduk santai ataupun memperbaiki atau membersihkan velg di depan kios mereka.

Fendi, salah satu pedagang velg di kawasan ini mengatakan, kondisi ini sudah berlangsung cukup lama. Setelah jalur busway dibangun, pendapatan pedagang ditempat ini menurun drastis. Pengunjung datang hanya ketika akhir pekan, dan itu pun tidak banyak. Kini, dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, pengunjung yang datang makin jarang.

Dia tidak bisa memastikan dalam seminggu bisa berapa banyak velg yang laku terjual. "Semenjak tahun lalu, akhir pekan pun sepi tidak ada yang datang," ujarnya.  

Padahal, kebanyakan pelek yang dijual harganya relatif lebih murah lantaran merupakan barang bekas yang masih layak dipakai atau  pelek replika yang sama persis dengan versi aslinya. Namun, itu tidak membuat orang tertarik datang ke tempat ini lagi.  

Pedagang velg lainnya Ahmad Fathoni, juga mengeluhkan hal yang sama. Paling banyak saat ini dia hanya bisa menjual dua set pelek per minggu. Harga jual bervariasi. Untuk pelek dijual mulai dari Rp 1,5 juta per set hingga Rp 8 juta per set. Sedangkan harga ban dibanderol seharga Rp 150.000 hingga Rp 900.000 per unit.

Ahmad mengaku hanya bisa pasrah. Tidak banyak cara yang bisa dilakukan untuk menggenjot penjualan. “Mau iklan, nanti harus menambah biaya iklan. Cara menarik pembeli yang bisa kami lakukan juga cuma memajang pelek-pelek di dekat trotoar,” ungkapnya.

Kondisi yang sama juga terlihat di area Jalan Deplu Raya, Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Kios-kios di tempat ini terlihat sepi pengunjung. Ivan Girsang, pedagang velg bekas di tempat ini mengatakan, dalam seminggu dia hanya bisa menjual satu sampai dua set pelek. “Bisa dapat omzet Rp 500.000 per minggu saja sudah bagus,” tuturnya.

Keuntungan dari penjualan ban sekarang lebih sedikit, karena harga jual dipatok lebih murah untuk menarik pembeli. Barang yang dijajakan Ivan kebanyakan adalah pelek dan ban bekas serta replika. Dia juga menjual velg asli dan baru, namun tidak banyak.

Menurut Ivan, konsumen saat ini sudah lebih pintar lantaran sudah lebih dulu mengamati harga pasar sebelum bertandang ke kiosnya. Dengan adanya internet, calon pembeli sudah mengetahui harga pasar. Itu sebabnya, Ivan tidak bisa mengambil untung banyak.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×