kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Enggan pailit, UMKM binaan Pertamina ini berinovasi lestarikan wayang kulit


Rabu, 23 September 2020 / 22:17 WIB
Enggan pailit, UMKM binaan Pertamina ini berinovasi lestarikan wayang kulit
Kerajinan wayang kulit menjadi produk unggulan Sanggar Bima


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Cipta Wahyana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pantang minder menjadi moto Fendi Kurniawanto, salah satu pengusaha binaan Pertamina. Bermodalkan ide dan minat, ia menjadi perajin wayang kulit, meneruskan usaha sang kakek. Artis hingga konsumen mancanegara pun kepincut karya-karanya.

Fendi kecil memang tumbuh dalam lingkungan budaya tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah. Kakeknya merupakan seorang perajin wayang kulit andal pada zamannya dan hidup dari karya-karyanya. 

Fendi mengaku sangat mengagumi sang kakek. Masih jelas terpatri di memorinya hingga kini kemahiran kakeknya mampu membuat dan memahat kulit wayang tanpa pola cetakan. Padahal, membuat wayang kulit secara spontan bukanlah hal yang mudah, bahkan untuk orang yang sudah sering membuat wayang kulit sekali pun. Mereka akan tetap membutuhkan pola cetakan sebelum memahat. 

Baca Juga: Beromzet Rp 157 juta, binaan Pertamina olah kulit patin jadi kerupuk bergizi

“Dulu, tahun 70-an, simbah membuat wayang setengah jadi. Beliau setor saja ke tempat lain yang prosesnya lebih lengkap. Simbah juga hanya membuat wayang kulit yang besar- besar untuk pentas. Itu saja,” cerita Fendi seperti dikutip publikasi Pertamina yang diterima Kontan. Ketika itu, hasil usaha kakeknya cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarga. 

Dibantu oleh sang ayah, Mujiyono, yang menjadi Mitra Binaan Pertamina pada tahun 2009, Fendi memutuskan melanjutkan usaha keluarga tersebut. Mereka menerapkan sebuah strategi sederhana. Sang ayah yang membuat wayang kulit, sedangkan Fendi yang ketika itu masih sekolah, bertugas memasarkan. Hal itu terus ia lakoni sampai memasuki jenjang kuliah. 

Strategi ini cukup berhasil pada awalnya. Namun, semakin modernnya perkembangan zaman, yang kadang memandang hal tradisional adalah sesuatu yang kuno, akhirnya usahanya mulai tergerus. 

Merambah souvenir 

Kondisi yang kian menantang memaksa Fendi, sang ayah, serta beberapa perajin wayang kulit lainnya mulai berinovasi. “Kami tidak hanya membuat wayang kulit untuk pentas dalang saja, tetapi juga mulai merambah ke dunia souvenir yang bentuknya macam-macam agar tetap bertahan,” ujar sarjana manajemen lulusan salah satu universitas di Kota Pelajar ini. 

Setelah terseok selama beberapa tahun, usaha tersebut sedikit berkembang pada 2000 silam. Fendi dan sang ayah pun mulai merekrut karyawan dari masyarakat sekitar dan membeli beberapa alat produksi. Berbekal strategi ini, proses produksi kerajinan kulit seperti wayang dapat dikerjakan hingga selesai, tidak setengah jadi.

Kerajinan souvenir seperti kipas, gantungan kunci, dan lain-lain mulai dibuat dengan tetap menggunakan bahan dasar kulit. Bahan baku kulit yang digunakan bermacam-macam, mulai dari kambing, sapi, hingga kerbau. Fendi menuturkan, kulit kerbau biasanya digunakan untuk membuat wayang kulit pentas yang digunakan seorang dalang asli. “Bahannya memang kuat dan mahal,” jelasnya. 

Fendi cukup senang dengan perubahan yang terjadi. Akan tetapi, ia masih belum puas. Hasrat berdagangnya  seolah tak pernah redup. Ia merasa masih kesulitan berhubungan dengan konsumen langsung, baik itu pasar lokal maupun intenasional. 

Barulah sekitar tahun 2011 silam, Fendi mendapatkan titik terang. Bermitra dengan Pertamina memberikan solusi. “Kami mengalami banyak perubahan. Dari segi promosi dan penjualan, semuanya meningkat. Seperti saat ini, kami diajak pameran. Bahkan, tahun 2011 lalu, kami diajak pameran ke Belanda,” ujar Fendi sumringah. 

Fendi sangat mensyukuri kemitraan dengan Pertamina ini. Tadinya, Fendi hanya mengharapkan adanya pintu masuk untuk berpromosi yang lebih luas dan gencar. Ternyata, bantuan modal yang ia terima pun sangat membantu dalam pengembangan usahanya. Ia bisa menyetok bahan baku dalam jumlah besar. Bahkan, Fendi mulai mengembangkan  sayap bisnis baru, Sanggar Arjuna, yang memiliki produksi serupa.  

Hingga kini, Fendi bersama keluarga menjalankan bisnis tersebut dibantu 10 orang karyawan. Ada yang langsung membantu di rumah produksi, ada pula yang menerapkan sistem setor dengan dibawa pulang. Produknya dijual dengan harga paling murah Rp 20.000 ribu untuk gantungan kunci dan paling mahal Rp 2,5 juta untuk wayang berukuran besar. Dengan kisaran harga itu, Fendi mampu meraup omzet sekitar Rp 15 hingga Rp 25 juta per bulan. 

Souvenir kerajinan kulit yang ia buat pun semakin beragam. Ia juga membuat kipas lipat, pembatas buku, gantungan akesoris mobil, tempat lampu, tempat lilin dan berbagai hiasan dinding. Bahkan, dengan bangga ia bercerita, kipas lipat produksinya dipesan artis Ayu Dewi untuk aksesori dan souvenir pernikahan presenter tersebut.

Fendi tengah mengembangkan pemasaran usahanya secara online. Untuk memenuhi targetnya, ia akan fokus pada stok bahan baku yang jumlahnya harus lebih banyak lagi. 

Walau tidak mudah, Fendi enggan menyerah. Baginya, usaha kerajinan kulit Sanggar Bima ini merupakan usaha turun-temurun yang ia banggakan karena ia ikut melestarikan budaya Indonesia. Apalagi, ia telah menjadi mitra binaan Pertamina.

Selanjutnya: Pertamina salurkan bantuan Rp 2,7 miliar ke UMKM di Jatimbalinus

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×