Reporter: Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini
Oleh :
PM. Winarno
Dosen dan Direktur LPPM Universitas Multimedia Nusantara
Digital natives atau warga pribumi digital adalah orang-orang yang dilahirkan pada tahun 2000-an dan seterusnya. Mereka disebut pribumi digital karena lahir di lingkungan serba digital. Sejak lahir mereka telah melihat penggunaan peralatan digital yang digunakan orangtuanya, sehingga tidak heran kalau sejak usia dini mereka sudah fasih menggunakan smartphone atau komputer tablet.
Lalu apa stempel bagi orang-orang yang dilahirkan sebelum tahun 2000-an? Maaf saja, kalau mereka yang lahir sebelum tahun 2000 disebut sebagai digital immigrant. Jadi warga imigran digital adalah orang-orang yang lahir sebelum era digital, dan kemudian belajar memanfaatkan teknologi digital serta menggunakannya dalam sisa usianya.
Secara demografi, digital natives ini berarti anak-anak yang berusia 0-14 tahun. Menurut data statistik, jumlah anak usia 0-14 tahun ini adalah 60 juta-an, atau mencapai 25% dari total penduduk Indonesia. Mengingat prosentase yang besar ini, maka Indonesia pada saat ini sedang mengalami golden age, karena hal ini menjanjikan angkatan kerja produktif dalam 20 tahun mendatang.
Atas dasar demografi tersebut, maka pengembangan bisnis ke depan mau tidak mau adalah berbasis digital. Karena sejak 2000-an dan seterusnya, warga masyarakat digital natives akan terus bertambah hingga mencapai 100% pada tahun 2100, dimana warga digital immigrant telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini.
Bisnis digital
Bisnis yang berbasis digital juga akan terus berkembang, karena bisnis-bisnis baru akan dikembangkan oleh individu digital native. Sementara itu bisnis-bisnis konvensional yang telah didirikan oleh individu digital immigrant mau tidak mau harus dipermak dengan inovasi.
Era sekarang ini memang masih merupakan era transisi antara era digital dan era konvensional atau era analog. Di satu sisi era digital telah berjalan 14 tahun, sementara era konvensional masih cukup dominan di tengah masyarakat. Sebagai era transisi, maka terdapat situasi serba tidak pasti. Namun yang jelas, perusahaan-perusahaan konvensional perlu mengadakan investasi ulang ke peralatan dan teknologi digital dibandingkan dengan investasi fisik.
Sebagai contoh, sebuah toko buku mungkin akan cenderung mengembangkan website toko buku online, daripada menambah gerai toko buku konvensional. Sebab apabila di masa sekarang toko buku tersebut masih fokus menambah gerai-gerai fisik, maka suatu hari akan mendapati kenyataan tidak banyak lagi pengunjung gerai toko bukunya, karena sebagian besar masyarakat telah beralih cara belanja buku secara online. Bahkan format buku telah beralih dari buku fisik ke buku digital.
Menghadapi era digital ini pun, para pengusaha properti sebaiknya berhati-hati, khususnya untuk mengerem pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini karena gaya belanja online akan semakin kuat, sehingga semakin sedikit orang yang mau berbelanja dengan mengunjungi mal-mal. Selain investor pembangunan mall yang akan merugi, para tenant pun ikut merugi karena sedikitnya jumlah orang yang datang berbelanja.
Alih-alih membangun mal, mungkin yang perlu dibikin adalah website belanja online, dimana sebuah website belanja online mengundang para tenant bergabung dengan website belanja online tersebut. Pengusaha properti sebaiknya membangun perumahan yang didukung akses internet yang cepat.
Bahkan supermarket-supermarket juga lebih baik membuka website belanja online daripada menambah jumlah outlet. Yang perlu dibangun adalah gudang-gudang logistik untuk semaikn dekat dengan konsumen, sehingga proses pengiriman dilakukan dengan cepat.
Demikianlah gambaran kehidupan digital natives yang hidup dengan serba koneksi digital, sehingga akan terjadi banyak reduksi dalam fasilitas fisik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News