kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Fulus kian deras saat musim hujan


Senin, 10 November 2014 / 15:17 WIB
Fulus kian deras saat musim hujan
ILUSTRASI. Penjualan mobil baru di?pusat perbelanjaan, Jakarta.


Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Populasi sepeda motor makin besar di tanah air. Jumlah pengendara motor terus bertambah karena produsen sepeda motor menggeber penjualan produknya mencapai target yang ditentukan.

Tak hanya menguntungkan pabrik sepeda motor, pertumbuhan jumlah kendaraan roda dua ini juga memperbesar peluang bagi para produsen pernak-pernik yang berhubungan dengan pengendaranya. Salah satu kebutuhan pengendara sepeda motor adalah jas hujan.

Mohamad Said, produsen jas hujan dengan merek Acold, mengatakan, permintaan jas hujan meningkat dari tahun ke tahun, mengikuti pertumbuhan jumlah sepeda motor. “Bukan hanya dibutuhkan oleh pemilik sepeda motor baru, pengendara sepeda motor lama juga mengganti jas hujan mereka,” terang pria 36 tahun ini.

Mencium peluang ini, tak heran, Said yang sebelumnya menjadi reseller produk jas hujan merek lain, memutuskan untuk terjun sebagai produsen jas hujan. Pada 2011, dia memulai pembuatan jas hujan dengan modal Rp 100 juta.

Said khusus memproduksi jas hujan berbahan kain parasut balon atau taslan. Dia bilang, meski banyak pemain dalam usaha ini, belum banyak yang menggunakan jenis kain taslan sebagai jas hujan. “Lebih banyak produsen yang menggunakan bahan karet atau poly vinyl chlorie (pvc),” kata dia.

Pemain lain dalam usaha ini adalah Helmansyah. Pria yang baru berusia 24 tahun ini memproduksi jas hujan di Bogor, Jawa Barat. Ketika masih kuliah di Bogor, Helman juga menjadi reseller produk jas hujan dengan merek lain. Lantas,  ketika permintaan membludak, dia kehabisan stok.

Dari situlah, Helman melihat peluang dalam usaha pembuatan jas hujan terbuka lebar. Helman butuh tiga bulan untuk mempersiapkan usahanya. Dia mulai membuat  jas hujan akhir 2012 dengan merek Edelweiss.

Menurut Helman, salah satu kunci utama usaha ini adalah menetapkan pangsa pasar. Jika target yang disasar sudah jelas, maka penentuan kualitas dan harga produk sekaligus strategi pemasaran bakal lebih mudah.

Misalnya Helman yang menyasar kelas menengah ke atas. Bagi kelas ekonomi ini, produk yang dibutuhkan ialah produk yang berkualitas. Jadi, harga bukan nomor satu untuk dipertimbangkan oleh mereka.

Demikian halnya yang dilakukan Said. Lantaran menggunakan taslan, Said pun menyesuaikan target pasarnya, yakni kalangan menengah atas. Dia berani mengambil langkah itu, karena saat menjadi reseller jas hujan, ia menilai, terjadi pergeseran minat konsumen. “Seiring peningkatan daya beli,  konsumen cenderung memilih jas hujan dengan kualitas dan model yang baik,” terang Said.

Jas hujan Acold berbanderol mulai Rp 250.000 per piece. Harga ini berlaku untuk penjualan di reseller. Said menyiapkan jas hujan yang model mirip jaket itu dalam beberapa ukuran, hingga XXL dan XXL. Khusus untuk ukuran besar, XXL dan XXXL harganya Rp 260.000 dan Rp 270.000.

Setiap hari, Said bisa membuat hingga 50 potong jas hujan. Produksinya akan bertambah banyak jika musim hujan tiba. Pasalnya, saat musim hujan, yang berlangsung dari bulan November, Desember, Januari hingga April, permintaan jas hujan sangat tinggi.

Sebab, “Biasanya, orang juga akan mengganti jas hujannya dengan yang baru ketika musim hujan datang,” kata Said. Bahkan, dalam dua tahun ini, dirinya kerap kewalahan memenuhi permintaan yang datang saat musim hujan. Tren itu yang menjadi alasan Said meningkatkan kapasitas produksi hingga kisaran 70 potong – 100 potong setiap harinya.  Kini, saban bulan, Said bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta. Adapan laba bersihnya berkisar 15% – 20%.

Meski pasar terbesar ada di Jabodetabek, yakni berkisar 70% – 80% dari total penjualan Acold, pesanan rutin dan banyak datang dari luar Jawa. Said bilang, banyak pula permintaan dari Papua dan Timika karena kedua lokasi itu hujan lebih sering. “Hujan di sana turun bukan hanya saat musim hujan,” terang dia.


Atur produksi

Awalnya, Helman memasarkan sendiri produknya. Ia mengikuti beberapa komunitas untuk mempromosikan jas hujannya. Lama-kelamaan permintaan membludak, sehingga ia butuh saluran tambahan untuk penjualan produk.

Setelah enam bulan menjalankan usahanya, Helman memilih jalur reseller. “Reseller mempermudah pengeluaran barang sehingga saya tak harus ke lapangan. Selain itu, adanya reseller mempermudah konsumen untuk mendapatkan barang saya,” ujar dia.

Di tingkat reseller, ia menjual jas hujan Edelweiss seharga Rp 150.000 per piece. Helman bilang, di tangan reseller harga bisa meningkat jadi Rp 200.000 per potong. Dalam sebulan, Helman bisa memproduksi 400 pieces jas hujan.

Produksi meningkat pesat pada musim hujan. “Kalau musim hujan atau selama September hingga April, kami sering kewalahan menangani orderan karena dalam sebulan bisa sampai 2.000 pieces,” katanya. Jadi, rata-rata omzet Helman berkisar Rp 70 juta – Rp 150 juta saban bulan. Adapun laba bersihnya sekitar 20%.

Helman menjelaskan, cara pembuatan jas hujan mirip dengan pembuatan pakaian orang dewasa. Awalnya, ia membuat pola pakaian di atas bahan baku berupa taslan lateks. Selanjutnya, proses pengguntingan sesuai dengan pola. “Setelah itu masuk proses menjahit, lalu jas hujan diberi filling dan puring dengan bahan yang sama,” ucap dia.

Bahan baku pembuatan jas hujan diproduksi di Korea. Namun, taslan bisa dengan mudah didapatkan di distributor bahan baku pakaian di dalam negeri. Harga taslan berkisar Rp 23.000 –Rp 25.000 per yard atau sepanjang 90 cm. Satu jas hujan membutuhkan tiga sampai empat yard taslan.

Helman menambahkan, saat ini banyak taslan latex buatan dalam negeri. Namun, kualitasnya belum bisa menyerupai bikinan Korea Selatan. “Taslan dari Korea bisa tahan digunakan sampai dua tahun. Tapi bahan dari Indonesia hanya tahan tiga bulan, lalu robek. Sebenarnya, taslan Korea tipis, tapi ada lapisan dalam yang mencegah air tembus,” tegas dia.

Setelah dijahit, jas hujan belum bisa langsung dikemas. Pasalnya, ada satu proses yang tak boleh dilewatkan yakni pressing jas hujan. Gunanya menghindari air merembes melalui celah yang ada pada jas hujan.

Untuk menghemat ongkos produksi, Helman tidak menggunakan mesin pres. Jadi, Helman mengepres jas hujan secara manual dengan setrika. “Kalau menggunakan setrika memang jadi lambat tapi hasilnya sama saja, bahkan kalau ada kesalahan sedikit, proses mengepres bisa diulang, berbeda kalau menggunakan mesin yang otomatis,” tandasnya.

Saat merintis usaha pembuatan jas hujan, Helman hanya mengeluarkan modal Rp 22 juta. Modal itu ia gunakan untuk membeli mesin jahit dan bahan baku. “Sebenarnya mesin pres juga dibutuhkan. Tapi harganya mahal, bisa sampai Rp 50 juta,” tutur dia.

Berbeda dengan Helman, Said mengandalkan mesin pres untuk melapisi bagian jahitan supaya tidak rembes air. Dia memilih menggunakan mesin untuk menghemat waktu dan meminimalisasi risiko kerusakan jas hujan saat disetrika. Tak heran, dia mengeluarkan modal lebih besar untuk membeli mesin pres.

Sama seperti usaha pembuatan pakaian, untuk merintis usaha ini, Anda bisa mulai dengan konsep maklon. Said juga memakai konsep ini untuk produksi jas hujan pada tahap awal. Namun, seiring pertumbuhan perusahaannya, kini dia sudah mempekerjakan tujuh penjahit tetap di workshop-nya. Jasa maklon pun masih dibutuhkan, ketika datang permintaan dalam jumlah besar.

Karena jasa penjahit memegang peranan penting dalam usaha ini, Anda juga harus cermat dalam memilih penjahit. Pasalnya, tak semua penjahit mahir menjahit jas hujan. “Butuh waktu penyesuaian sekitar sebulan untuk membiasakan para penjahit membuat produk ini,” kata Said.

Ingat, selain bahan yang kuat, kekuatan jahitan juga menentukan kualitas jas hujan. Setiap hari, seorang penjahit bisa menyelesaikan antara 5 potong– 7 potong jas hujan.

Ketersediaan penjahit juga menjadi kendala. Bahkan, Said menemui, sejumlah penjahit justru beralih profesi. “Mereka malah menjadi tukang ojek, karena pekerjaannya lebih mudah,” kata dia.

Jika terpaksa memakai jasa maklon, Anda pun harus memberi perhatian ekstra terhadap mereka. Seperti Said bilang, sistem maklon butuh kontrol yang ketat terhadap kualitas, produksi dan ketepatan waktu.

Selanjutnya, Helman bilang, belanja bulanan terbesar untuk usaha ini jatuh pada pembelian bahan baku taslan dan aksesoris lain seperti zipper dan tali tas. Pembelian bahan baku mencomot hingga 60% pengeluaran bulanan. Selain itu, pengeluaran lain ialah membayar gaji karyawan, sewa tempat, dan biaya operasional.

Satu hal yang harus diperhatikan dalam usaha ini adalah strategi untuk mengatur stok. Karena permintaan pada musim hujan seringkali membanjir, Anda harus pandai mengatur produksi supaya pada saat musim hujan mampu memenuhi permintaan yang ada.

Maklum, saat musim kemarau tiba, Said bilang, permintaan jas hujan banyak berkurang. Itu artinya, pendapatan berkurang, sementara Anda harus tetap mempertahankan produksi. “Produsen harus siap dengan modal yang cukup besar untuk produksi,” kata  Said.  

Kini, apakah Anda siap terjun menjadi produsen jas hujan?    


Perhatikan desain untuk fungsi maksimal

Peluang usaha pembuatan jas hujan cukup menjanjikan. Pasarnya sangat luas mengingat jumlah pengendara motor yang kian bertambah. Akan tetapi, kompetisi usahanya pun sangat kencang. Apalagi pemain di usaha ini bukan hanya datang dari dalam negeri. Merek-merek jas hujan dari luar negeri, misalnya dari China pun jadi pesaing yang tak bisa disepelekan.

Karena itu, supaya bisa tetap bersaing, ada baiknya, Anda menciptakan produk harus memiliki nilai lebih atau punya keunggulan. Seperti yang dilakukan oleh Mohamad Said, pemilik usaha jas hujan Acold, yang sangat memperhatikan kualitas dari produk yang ditawarkannya.

Meski hanya dipakai pengendara saat turun hujan, Said mempertimbangkan desain jas hujan buatannya supaya bisa berfungsi dengan maksimal. Salah satunya, dengan mengurangi sambungan yang dijahit. “Sebab semakin banyak jahitan, risiko air merembes juga semakin besar, meski jahitan itu sudah dipres,” terang dia.

Berbekal pengalamannya bergelut dalam bisnis jas hujan, Said mengetahui apa yang sering menjadi keluhan konsumen. Dalam desain jas hujan Acold terbaru, Said menghilangkan sambungan sisi dalam celana jas hujan. Dia mengklaim, desain ini murni berasal dari idenya sendiri, sehingga desain celana ini dipatenkan hanya untuk merek Acold.

Selain desain celana yang baru, bagian-bagian yang rentan terhadap masuknya air juga dibuat berlapis. Demikian pula, untuk kantong pada bagian depan jas hujan. Desain kantong juga mendapat perhatian Said, supaya air hujan tidak masuk ke bagian kantong yang digunakan untuk menyimpan barang milik pengendara motor.

Desain untuk bagian leher juga tidak luput dari perhatiannya. Supaya air hujan tak tembus, Said merancang ketinggian bagian leher  sesuai dengan panjang rata-rata leher orang Indonesia. “Jangan sampai leher ini terlipat keluar, karena air akan mudah masuk,” ujar dia.

Terakhir, kantong penyimpan jas hujan dibuat menyatu dengan jas hujan tersebut. “Sebab, banyak konsumen yang mengeluh kantong jas hujannya terselip dan hilang,” kata Said. Dengan berbagai penyesuaian desain yang dilakukan ini, Said bilang,  komplain konsumen berkurang.                                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×