Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Tri Adi
Posisi nyaman sebagai pegawai negeri (PNS) tak menjadikan Abdul Hamid puas. Keinginan untuk lebih maju mendorongnya memproduksi benih. Insting bisnis kuat didukung skill mumpuni membuatnya mendulang omzet miliaran rupiah tiap tahun.
Meski pahit, keputusan melepaskan kemapanan dan bertekad untuk mandiri sering menjadi jalan awal orang sukses. Langkah ini juga diambil Abdul Hamid pada tahun 1997. Ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) untuk membuka usaha sendiri.
Terbukti, pilihan hidup Hamid itu tidak salah. Kini, lewat PT Mulia Bintang Utama (MBU), pria kelahiran 47 tahun silam ini sukses mengembangkan dan menjual pelbagai benih sayuran dan buah-buahan bermerek Surya Mentari. Pabriknya yang berdiri di Ragajaya, Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sejak tahun 2002 menghasilkan omzet hingga Rp 10 miliar saban tahun.
Kompetensi Hamid terjun ke bisnis pertanian tak terlepas dari pengalaman yang dia geluti sejak kuliah. Lulus dari Jurusan Budidaya Pertanian Agronomi Universitas Lampung (Unila), Hamid menjadi PNS di Deptan sejak 1989. Selama itu, ia pernah mendapat beasiswa untuk menimba ilmu pembenihan di Swedia dan Jerman.
Tapi, justru pengalaman berharga dari luar negeri itu justru mendorong Hamid menanggalkan seragam PNS-nya pada tahun 1997. “Saya pikir, saya tidak akan maju kalau cuma menjadi PNS,” ujar dia.
Hamid lantas bekerja sebagai manajer produk dan pemasaran di perusahaan pembenihan asal Belanda, PT East-West Seed berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat. Kecakapannya menjalin hubungan dengan klien membuatnya tak kesulitan mencari rekan bisnis. Selepas keluar dari tempat kerja pada 2001, setahun kemudian, ia memutuskan membuka usaha sendiri.
Saat itu Hamid hanya memiliki modal sekitar Rp 50 juta, hasil menggadaikan rumahnya. Ia juga menggandeng rekan bisnis untuk memenuhi sisa modal. “Total investasi dari rekan bisnis mencapai Rp 300 juta,” beber pria kelahiran Lampung ini.
Dua tahun mendirikan MBU, Hamid merugi hampir Rp 900 juta. Sebab, salah seorang agen besarnya mengemplang tagihan. Meski begitu, ia tetap berusaha bangkit. Pil pahit kembali harus ia telan saat tahun 2007, anak buahnya menilep uang hampir Rp 150 juta. “Saya berpikir, sistem manajeman saya belum baik. Saya harus membenahi,” kata dia. Salah satu pembenahan yang dilakukan Hamid adalah lebih selektif memilih rekan bisnis.
Cara ini membuat langkah bisnisnya kian ringan. Tak mengherankan, omzet usahanya makin gembul. Saat ini, MBU mampu memproduksi 20 jenis benih buah dan sayur yang terdiri dari 60 varietas tanaman. Untuk pengembangan benih, Hamid bekerja sama dengan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Total lahan petani untuk produksi benih antara 80 - 90 hektare (ha).
Hamid memproduksi dua jenis benih, benih bebas dan benih hibrida. Untuk ukuran lahan yang sama, benih hibrida lebih sedikit digunakan ketimbang benih berseri bebas. Kualitas tanamannya juga lebih bagus.
Saat ini, 80% penjualan MBU disumbang oleh penjualan benih hibrida, meski secara volume, benih hibrida hanya menyumbang porsi 5%. Harga benih hibrida memang jauh lebih mahal ketimbang benih berseri bebas. Ambil contoh, benih kangkung hibrida bisa seharga Rp 9,5 juta per kg. Bandingkan dengan benih berseri bebas yang hanya dilepas seharga
Rp 25.000 per kg.
Setahun ini, jumlah benih berseri bebas yang diproduksi MBU mencapai 60 ton buncis, 80 ton kacang panjang, dan 200 ton kangkung. Sementara, benih hibrida yang diproduksi seperti satu ton cabai, 400 kg semangka, dan 250 kg pare.
Hamid memasarkan aneka benih ini melalui 40 agen di beberapa kota di Indonesia. Benih cabai Biola miliknya banyak dipakai oleh para petani, bahkan dipilih sebagai cabai yang dipasok ke perusahaan di bawah grup Wings Food dan Heinz ABC. Tak hanya di dalam negeri, sejak empat tahun lalu, MBU juga mulai menjual benih ke Timor Leste dan Malaysia.
Bakal merambah China
Sukses bisnis Hamid ini tak lepas dari usahanya menjaga kualitas produk. Ia selalu menilik ulang kualitas benih yang sudah berumur sekitar empat tahun sejak ditemukan formulanya. Ia meneliti ulang, apakah benih tersebut masih sesuai digunakan dan masih kuat menghadapi hama yang mewabah.
Tak cuma itu, Hamid juga berusaha memperhatikan keinginan pasar yang sedang berlangsung. “Dulu, pasar sudah menikmati tomat yang berisi
17 sampai 20 buah dalam 1 kilogram. Mungkin ke depan, yang digemari adalah tomat yang isinya cuma sekitar 14 buah per kg. Berarti, harus ada pengembangan teknologi,” ungkap dia.
Di luar pengembangan produk, sisi pemasaran juga tak lupa dia genjot. Tahun depan, Hamid mengaku akan mulai melirik potensi pasar di China. Saat ini, dia sedang menjalin pembicaraan serius dengan investor dari China. Jika ada kesepakatan, MBU bakal memproduksi benih untuk pasar China mulai tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News