Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Nilai dollar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat sejak Mei 2018 lalu membuat sejumlah sektor bisnis berjalan lambat. Terutama bagi mereja yang bergantung pada pasokan barang impor. Seperti perajin tahu tempe tanah air yang menggantungkan 90% produksinya dari pasokan kedelai impor.
Per Agustus 2018, kurs dollar AS telah menembus Rp 14.500. Menguatnya nilai dollar AS terhadap rupiah otomatis membuat harga barang impor melambung.
Ketua perajin tempe di Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Gang Sonton, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Hambali mengatakan, dampak dari penguatan dollar AS cukup signifikan terhadap harga kedelai impor.
“Harga kedelai impor jelas naik, apalagi selama ini kami memang menggunakan kedelai impor asal Amerika. Semua produksi tahu dan tempe di sini pakai bahan baku kedelai impor, tidak ada kedelai lokal,” jelas Hambali pada KONTAN.
Ia mengatakan harga kedelai impor asal AS kini mencapai Rp 770.000 per kwintal atau setara Rp 7.700 per kilogram (kg). Harga tersebut meningkat sebanyak 10%, jika dibandingkan harga kedelai impor per Maret 2018 yang masih di kisaran Rp 7.000–Rp 7.100 per kg.
Harga kedelai impor yang terus merangkak naik juga dikeluhkan oleh Aip Syaiffuddin, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo). Ia menjelaskan jika kurs rupiah terhadap dollar AS mencapai kisaran Rp 14.500, maka harga kedelai di tingkat importir mencapai Rp 7.000 per kg.
“Padahal sebelum dollar merangkak naik, harga kedelai impor masih dikisaran Rp 6.750 per kg,” ungkapnya. Tak heran jika harga kedelai impor di tingkat perajin bisa lebih mahal karena di tingkat importir, harganya juga sudah naik.
Meski harga kedelai impor kian melambung, Hambali dan Aip sama-sama mengaku produksi tahu dan tempe masih berjalan seperti biasa. Pasokan kedelai impor pun tetap lancar.
“Tidak ada pengurangan pasokan kedelai, produksi kami juga tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada pengurangan produksi. Hanya saja, sekarang keuntungan kami menjadi lebih tipis,’ tutur Hambali.
Senada dengan Hambali, Aip pun menuturkan kenaikan kurs dollar terhadap rupiah sampai saat ini masih bisa ditoleransi. Para perajin tahu tempe masih bisa bertahan dengan harga kedelai impor saat ini.
“Kenaikan harganya masih bisa ditoleransi. Kami masih bisa bertahan. Tapi kalau kurs dollar sampai Rp 15.000, mungkin produksi kami bisa terganggu,” ujar Aip.
Ia lanjut menjelaskan bahwa harga kedelai impor asal AS relatif stabil. Harganya relatif sama dengan harga kedelai impor asal Brasil, Uruguay, Argentina dan Kanada. Saat ini, pasokan kedelai impor asal AS memenuhi 60% dari total kebutuhan produksi tahu dan tempe di tanah air.
Mengubah ukuran jadi solusi saat harga kedelai tinggi
Kenaikan harga kedelai impor, terutama yang berasal dari Amerika Serikat (AS) memang tak berdampak pada produksi tahu dan tempe di tanah air. Para perajin masih bisa menyesuaikan kenaikan harga. Namun, kondisi ini tak bisa dibiarkan. Apalagi jika nilai tukar rupiah tak kunjung menguat.
Ketua perajin tempe di Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Gang Sonton, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Hambali mengungkapkan, dalam kondisi seperti ini, para perajin di Kopti Gang Sonton masih belum menaikkan harga jual. Sebab, dengan harga sekarang, biaya operasional masih tercover. “Harga tempe Rp 10.000 per papan besar. Namun ukurannya dikurangi sedikit, biar kami tetap bisa untung,” tandas Hambali.
Keputusan perajin tak menaikkan harga adalah supaya pelanggan tak berpaling ke produk lain. Sebab, pelanggan bisa saja berkurang karena harga tahu dan tempe naik. Maka, memperkecil ukuran tahu dan tempe dinilai lebih tepat sebagai respon tingginya harga kedelai impor.
Hambali lanjut menuturkan, meski kenaikan harga kedelai impor cukup fluktuatif, namun kenaikan harganya tidak se-ekstrem lima tahun yang lalu. Pada tahun 2013 lalu, harga kedelai impor tembus di kisaran Rp 8.500 – Rp 9.300 per kilogram (kg). Apabila kondisi tersebut berulang, dapat dipastikan bakal banyak perajin tahu dan tempe yang gulung tikar.
“Sekarang ini, sih, kenaikan harganya masih wajar buat kami. Nggak sampai seperti lima tahun lalu, harga kedelai tembus Rp 900.000 per kuintal. Waktu itu, kami sampai mogok produksi. Harga tempe dan tahu di pasaran juga jadi mahal banget,” ujarnya.
Hal serupa dilontarkan oleh Aip Syaiffuddin, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) yang menganggap kenaikan harga kedelai impor masih dalam tahap wajar. Menurutnya, para perajin baru akan menaikkan harga jual jika kurs dollar terhadap rupiah tembus di kisaran Rp 15.000.
“Kalau dollar tembus Rp 15.000, kemungkinan para perajin tahu tempe akan menaikkan harga jual sampai 10% dari harga awal. Sudah tidak bisa bertahan dengan harga lama karena akan berat untuk menutup ongkos produksi,” kata Aip.
Meski harga kedelai impor asal AS fluktuatif dan tidak menentu, baik Hambali maupun Aip sama-sama mengatakan, bahwa para perajin masih belum tertarik menggunakan kedelai lokal. Kepastian pasokan kedelai lokal menjadi pertimbangan utama bagi para perajin. Jumlah pasokan kedelai lokal yang tidak pasti membuat perajin tahu tempe lebih memilih kedelai impor.
“Kami lebih butuh kepastian pasokan dibanding kepastian harga. Selama ini kami nggak penah menggunakan kedelai lokal karena pasokannya nggak tentu. Nanti tiga bulan bisa produksi terus tiga bulan kosong stoknya,” jelas Hambali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News