Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Tri Adi
Dalam usaha apa pun, jangan pernah menyepelekan kepercayaan konsumen. Menganut prinsip itu, Hendrik Sutjiatmadja sukses memasarkan produk konstruksi asal Jerman, Fischer. Omzetnya kini mencapai Rp 30 miliar per tahun.
Para pelaku bisnis konstruksi yang menggarap proyek besar tentu tak asing dengan angkur (anchor). Alat serupa mur besar ini berfungsi sebagai pengikat baja atau beton pada bangunan dan dinding agar barang yang dipasang terikat kuat. Salah satu merek yang terkenal adalah Fischer, asal Jerman.
Memang, harga aneka produk angkur Fischer tidak bisa dibilang murah. Tapi, keandalannya sudah diakui. Nah, di balik kesuksesan produk Fischer di bisnis konstruksi di Indonesia ada nama Hendrik Sutjiatmadja. Lewat PT Bersama Bangun Persada, Hendrik menjadi distributor resmi Fischer di Indonesia.
Saat ini, banyak proyek properti prestisius di kota-kota besar seperti Jakarta menggunakan angkur Fischer. Contohnya Ciputra World, Hotel Ritz Carlton-Pacific Place, Kuningan City, Kemang Village, dan Belagio Residence. Dari penjualan dan jasa pemasangan, Hendrik bisa meraup omzet hingga Rp 30 miliar per tahun.
Untuk menggapai kesuksesan seperti sekarang, Hendrik harus memulai dari bawah. Sekitar 10 tahun silam, ia harus meyakinkan produsen Fischer di Jerman untuk masuk ke Indonesia. Maklum, saat itu, Fisher belum melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial. “Susah meyakinkan mereka bahwa kita mampu menjual produk Fischer,” tuturnya.
Tapi, berbekal keyakinan bahwa bisnis ini bisa berhasil, akhirnya, Fischer memberi kepercayaan pada Hendrik untuk memasarkan produknya di Indonesia. Saat itu, target utama Fischer adalah proyek-proyek besar. Tapi, belakangan, Fischer juga menyasar pasar ritel.
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga China Betawi 37 tahun silam, keluarga Hendrik memiliki sebuah toko elektronik di Jakarta. Meski begitu, dari sisi ekonomi, kehidupan keluarganya relatif pas-pasan. Orangtuanya menyekolahkan Hendrik hingga Universitas Trisakti, Jurusan Akuntansi.
Tapi, Hendrik tak bisa terus-menerus mengandalkan keluarganya. Apalagi, bisnis ayahnya terus turun. Puncaknya, pada tahun 1998, toko elektronik itu bangkrut. Hendrik dan keluarganya mulai membiasakan diri hidup dengan fasilitas terbatas. “Dulu, makan saya sampai sempat dijatah,” kenangnya.
Untuk menyelesaikan kuliah, Hendrik juga harus memutar otak untuk mendapatkan tambahan duit. Di saat seperti ini, kemampuan bisnisnya kian terasah. Di awal masa kuliah, ia menjual stiker bola saat event Piala Dunia di sekeliling kampus. Dari bisnis ini, ia bisa mengantungi untung sekitar
Rp 200.000 sebulan.
Saat masih kuliah di semester enam, Hendrik mulai melamar kerja di perusahaan konsultan pajak. Di sana, ia digaji berdasarkan hari bekerja. Meski gajinya kecil, hasilnya bisa ia gunakan untuk biaya transportasi.
Tahun 1996, pria kelahiran 8 Mei 1974 ini melamar sebagai staf akuntan di Pondok Indah Group. Dengan gajinya, Hendrik bisa membiayai kuliah sendiri. Tapi, lantaran terlalu asyik bekerja, ia tidak fokus kuliah. Ia butuh enam tahun untuk mendapatkan gelar sarjana.
Habis di tahun pertama
Selepas kuliah, di tahun 1998, bersama tiga kawannya, Hendrik terjun ke bisnis impor buku kuliah dengan mendirikan PT Mitra Lestari Pustaka. Modal awalnya Rp 50 juta. Tapi, usaha ini tidak bertahan lama lantaran kurang modal dan kalah bersaing dengan pemain besar.
Pada tahun 2000, Hendrik mendapat tawaran dari kakak iparnya untuk terjun ke bisnis distributor produk konstruksi. Kebetulan, sang kakak itu lulusan Jerman dan pernah bekerja di bidang konstruksi bangunan selama tiga tahun.
Dengan modal awal Rp 100 juta, Hendrik dan saudaranya mendirikan PT Bersama Bangun Persada dan menjadi distributor resmi Fischer. Ia membeli sebuah rumah di Cakung sebagai kantor dengan seorang karyawan untuk mengurusi administrasi. Ia juga membelanjakan sekitar Rp 6 juta untuk membeli produk Fischer.
Setahun pertama, modal Hendrik habis untuk promosi dan seminar memperkenalkan produk Fischer. Baru di akhir 2002, sebuah proyek besar, yakni RS Siloam, Cikarang, menggunakan Fischer. Nama perusahaannya pun mulai dikenal. Dari mulut ke mulut, perusahaannya mulai menjadi referensi pemilik proyek maupun kontraktor.
Mulai tahun 2004, Fischer meminta Hendrik menggarap pasar ritel. Karena itu, ia memperkenalkan merek (brand) Mr Safety, kependekan dari Mature, Reliable, Safety, Achievement, Family, Efficient, Teamwork, and Youth.
Saat ini, setiap tahun, Hendrik menggarap puluhan proyek properti. Nilai satu proyek bisa mencapai puluhan juta rupiah hingga Rp 5 miliar. Bahkan, seringkali proyek tersebut “beranak pinak” lantaran ada tambahan bangunan baru.
Saat ini, Hendrik menjadi distributor untuk tujuh merek, yaitu Fischer, STO, Intumex, Promat, Lifeline Descent, Hakken Brand Series, dan Elco. Sebagian besar produk itu merupakan peralatan konstruksi dan keselamatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News