kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hirup wangi aroma bisnis roaster kopi


Sabtu, 12 Desember 2015 / 10:55 WIB
Hirup wangi aroma bisnis roaster kopi


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Sebagai penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia, tak heran Indonesia punya potensi besar untukbisnis kopi. Banyak peluang usaha yang muncul dari kopi. Dari hulu, misalnya, peluang untuk bertanam kopi sudah tak diragukan lagi. Di hilir apalagi, banyak usaha yang muncul, mulai dari menjadi pemasok hingga mendirikan kedai kopi.

Industri kopi memang berkembang pesat. Minum kopi saat ini sudah jadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Perkembangan ini merambah ke dunia usaha.

Tengok saja, kafe atau kedai kopi bertebaran di sejumlah sudut kota. Selain menyuguhkan suasana yang unik, menarik dan nyaman, mereka juga punya racikan kopi andalan. Pemasok kopi sangrai (roaster) juga menjadi peluang menjanjikan dengan menjamurnya kedai kopi ini. Namun, ada satu peluang yang tampaknya belum dilirik banyak orang, yakni membuat mesin sangrai kopi.

Di banyak kedai kopi, Anda mungkin akan menemukan mesin yang berfungsi menggoreng kopi dari kopi mentah menjadi siap untuk digiling. Ternyata sudah ada beberapa pemain lokal yang memproduksi mesin sangrai tersebut. Pengamatan KONTAN, setidaknya ada tiga merek roaster lokal yang saat ini beredar di pasaran. Ketiga merek itu ialah Froco, Uncle John, dan Feike.

Tiga merek itu menyasar pangsa pasar yang berbeda pula. Ambil contoh merek Froco yang biasanya digunakan untuk menyangrai kopi dalam skala industrial. Sementara yang terakhir, Feike, menargetkan pasar menengah ke bawah. Produk roaster bermerek Feike ini dipasarkan dengan harga yang terjangkau.

Pemilik Feike Roastery, William Edison, memang ingin mengisi kekosongan pada pasar roaster kopi. William bilang, kebanyakan produsen roaster menargetkan pasar kelas menengah ke atas, terutama untuk produk impor. Harga yang ditawarkan pun gila-gilaan, bisa mencapai miliaran rupiah untuk kapasitas puluhan kilogram. “Saya sengaja bikin dengan harga terjangkau supaya petani atau pelaku usaha mikro, kecil dan menengah bisa beli,” ujarnya.

William mulai memproduksi mesin sangrai kopi sejak 2011. Hingga sekarang, ratusan mesin sudah berhasil ia jual. Bahkan, menurut pria kelahiran Bagansiapiapi, Riau, ini, pertumbuhan bisnisnya bisa mencapai 100% per tahun.

Saat ini ia memproduksi mesin dengan kapasitas 1 kilogram (kg), 3 kg, 6 kg, dan 12 kg. Mesin  berkapasitas 1 kg dibanderol  dengan harga paling murah, yakni Rp 9,5 juta–Rp 16 juta per unit. Sementara yang paling mahal dibanderol Rp 125 juta per unit. “Harga jual itu hanya sepertiga dibandingkan harga produk impor dengan kualitas yang hampir sama,” klaim dia.

Menurut William, beberapa tahun belakangan, masyarakat terbuka terhadap produk lokal, termasuk untuk mesin sangrai. Maklum, dari segi kualitas, ia bilang, banyak roaster yang sudah bisa bersaing dengan buatan luar negeri.

Berdasarkan pengalaman William, peluang bagi pemain lokal untuk mengembangkan produk ini terbuka lebar. Selain petani dan pelaku UMKM, banyak pemilik kafe kopi di daerah yang menggunakan mesin buatannya. Saban bulan, William bisa menjual 10 unit mesin sangrai. Sementara, permintaan selalu bertumbuh. Namun, keterbatasan tenaga kerja membuat William tak bisa menyanggupi semua order yang datang kepadanya.

Dari bisnis ini, pria yang berusia 31 tahun ini bisa meraup omzet di atas Rp 100 juta per bulan. Adapun laba bersih dari bisnis ini sebesar 30%. “Kami sengaja menekan harga agar banyak yang bisa beli,” tuturnya.


Bengkel bubut
Sebenarnya William secara tak sengaja terjun dalam bisnis mesin roaster. Pengalamannya bekerja di perusahaan kopi di Bali dan Toraja membuatnya tertarik membuka kedai kopi di Denpasar. Namun, ia kesulitan menemukan mesin sangrai dengan harga terjangkau.

Ia lalu mengutarakan kesulitannya ini pada sang sepupu, Andryas. Lantas, keduanya sepakat membuat sendiri mesin sangrai. Andryas memang punya latar belakang teknik dan pernah merakit beberapa mesin. “Pengalaman saya di bidang kopi sedangkan sepupu di bidang teknis membuat kami klop,” katanya.

William mengatakan, untuk terjun dalam bisnis ini memang harus punya sumber daya yang memahami teknik pembuatan mesin. Ia mengingatkan, tak mudah menemukan tenaga teknisi seperti ini. “Kebanyakan roaster dijual dengan harga mahal karena memang tak sembarangan teknisi yang mampu mengerjakan,” ucap dia.

Ia dan Andryas butuh waktu 1,5 tahun untuk mengembangkan produk roaster Feike. Pada beberapa kali percobaan, ia mengaku sempat gagal. Akan tetapi, akhirnya ia bisa membuat mesin sangrai dengan standar yang ia mau.

William berujar, roaster harus bisa menyangrai kopi kurang dari 20 menit dengan hasil kematangan yang merata.
Ia pun langsung menggunakan mesin itu di kedai kopinya, One Bean, di Bali. Selama enam bulan, ia tak mengalami kendala dalam penggunaan. Setelah itu, ia percaya diri untuk memasarkan mesinnya.

Untuk menghemat biaya pemasaran, William memasarkan sendiri produknya alias tidak melalui jalur agen. Ia memasarkan roaster Feike melalui situs di internet. William bilang, salah satu faktor yang membuat produknya dikenal lantaran pernah direkomendasikan oleh pakar kopi lewat situs www.cikopi.com. “Lantaran sudah direkomendasikan, orang-orang semakin percaya dengan kualitas produk saya,” tuturnya.

Adapun proses pembuatan mesin roaster kopi, kata William, mirip seperti proses di bengkel bubut. Namun, ia punya strategi agar biaya produksi bisa ditekan. Dengan demikian, harga pun tak mahal.

William memproduksi sendiri semua bagian atau onderdil mesinnya. Hanya dinamo dan blower yang ia beli. Bagian lain seperti drum atau pemanas dibuat sendiri. “Kalau beli, harganya bisa tiga kali lipat, jadi saya bikin saja,” sebut pria kelahiran 21 Februari 1984 ini.

Ia menambahkan, bahan baku yang digunakan antara lain besi dan aluminium. Lempengan bahan itu dipotong terlebih dahulu, lalu dibentuk menjadi komponen mesin. Setelah jadi, ia pun merakit bagian-bagian yang sudah dibuat menjadi mesin. Proses terakhir ialah kontrol kualitas.

Proses pembuatan berlangsung sekitar dua bulan. Dus, ia tak bisa menerima order yang waktunya mendadak. Pasalnya, karyawan bengkel William hingga saat ini hanya 10 orang.

Bila sudah jadi, ia tinggal mengirimkan produknya. Klien William tersebar dari Aceh hingga Papua. Untuk pengiriman, ia mengandalkan jasa kargo. William bilang, ia tak kesulitan dalam pengiriman walaupun mesinnya berbobot ratusan kilogram. “Yang penting, saya sudah kemas dalam peti kayu sehingga aman,” ujar dia.

Untuk layanan purna-jual, biasanya klien langsung menghubungi dia. Uniknya, mesin Feike memang beroperasi secara manual. Jadi, perawatan atau perbaikannya pun dilakukan secara manual. Rata-rata klien bisa memperbaiki sendiri bila ada baut yang lepas. Namun, kalau butuh pemasangan spare part, biasanya klien meminta bantuan teknisi bengkel setempat.

Di masa mendatang, William berencana untuk mengekspor produknya ke negara tetangga. Selain itu, ia akan membentuk komunitas koki penyangrai kopi, terutama yang menggunakan produknya. Langkah ini diambil sebagai bentuk edukasi William untuk mengembangkan industri kopi dalam negeri.

Pasalnya, menurut William, 60% kenikmatan dipengaruhi oleh kualitas tanaman kopi. Sisanya ialah kualitas mesin dan orang yang menyangrai kopi. “Mesin hanya medium, sementara kokinya itu yang justru memang memegang peranan penting, jadi harus saya edukasi,” imbuhnya.

Anda suka kopi? Jangan cuma seruput kopinya, tapi juga hirup wangi aroma beragam bisnis seputar kopi.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×