Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - PEKALONGAN. Limun Oriental Cap Nyonya Silhuet adalah minuman bermerek legendaris asal Pekalongan Jawa Tengah. Anda yang tidak tinggal di Pekalongan, apalagi generasi milenial, mungkin tidak mengenal minuman dalam botol ini.
Maklum, selama ini limun Oriental memang hanya beredar di Pekalongan dan sekitarnya, meski sejatinya minuman ini sudah beredar sejak zaman penjajahan Belanda.
Konon, katanya, minuman bersoda ini di zaman baheula tergolong barang mewah yang biasa diminum para ningrat dan keluarga Belanda.
Anda yang penasaran ingin menyeruput minuman legendaris ini silakan datang Pekalongan. Dari Jakarta, jika jalanan lancar, kota batik di pesisir utara Jawa Tengah ini bisa ditempuh dalam tempo 4 jam lewat jalan tol Trans Jawa.
Anda bisa menyeruput minuman khas ini langsung di pabriknya. Pabrik? Iyah!
Cuma, jangan banyangkan Anda akan mendapati suasana pabrik yang begitu-begitu saja. Para penikmat limun Oriental akan bertemu kedai limun yang berpenampilan ala kafe. Kedai limun ini sengaja didesain pengagasnya, Bernardi Sunyoto, bergaya vintage. Perkakas-perkakas kuno ala pabrik zaman dulu menjadi hiasan kedai itu. Kursi-kursi rotan bergaya tradional akan menyambut penngunjung.
Untuk menambah nuansa jadoel, Bernardi mempertahankan botol kaca sebagai wadah limun dagangannya. Varian rasanya juga tidak berbeda dari varian asli turun temurun: kopimoca, nanas, orange, lemon, sirsak, dan mangga. Sebotol limun bisa Anda tebus dengan uang Rp 7.000.
Berhubung kedai berlokasi di lingkungan pabrik, pelanggan tidak cuma bisa menikmati sebotol limun dingin melainkan juga bisa melihat-lihat perkakas kuno yang digunakan leluhur Bernardi dalam menjalankan bisnis limun ini.
Uniknya, meski cocok sebagai tujuan wisata, kedai minuman ini tidak hanya digandrungi para wisatawan tapi juga pelajar dan warga setempat. Mereka sering mengabiskan waktunya di sana untuk berkumpul dengan teman-temannya.
Belajar Seluk Beluk Produksi
Didi, panggilan akrab Bernardi, sedang getol melebarkan sayap bisnis limun warisan leluhurnya ke kota-kota lain lewat jalur kafe-kafe. Minuman produksi pabriknya kini bisa kita temui dengan beberapa kota seperti Solo, Jakarta, dan Yogyakarta.
Malah, jika benar-benar sedang tak bisa ke luar kota atau malas keluar rumah, pembeli linum Oriental bisa memesannya lewat internet. Sejak dua tahun lalu Didi mulai berdagang limun lewat Instagram dan Whats App. "Sekarang total penjualan online sama besar dengan penjualan offline," katanya pada Kontan.co.id, Kamis (3/1).
Kini, rata-rata, dalam sebulan, total penjualan limun Oriental mencapai 20.000 botol. Angka ini sudah tumbuh berkali-kali lipat dibandingkan saat Didi baru mulai menjalankan bisnis ini pada Februari 2017 lalu.
Ya, sang juragan limun tradisional khas Pekalongan ini baru berumur 33 tahun. Generai milenial ini mewarisi bisnis limun tradisional milik keluarga setelah menyelesaikan pendidikan S2 Department Energy and Material Engineering, Dongguk University, Korea Selatan.
Sebelumnya, tidak pernah Didi berpikir untuk menjalankan usaha keluarga ini. Dia ingin menjadi seorang peneliti dan bekerja sebagai seorang dosen saat kembali ke Indonesia.
Namun, nasib berkata lain. Ibunda Didi, Njo Kiem Nio, memintanya pulang ke Pekalongan meneruskan bisnis keluarga ini. Tidak ingin dianggap durhaka, Didi menerima permintaan itu dan menganggapnya sebagai tantangan.
Begitu kepasrahan kewajiban menjalankan bisnis ini, langkah pertama yang dia ayunkan adalah mempelajari proses produksi limun dari awal sampai akhir. Sebagai seorang insinyur tentu Didi tak lupa memeriksa seluruh kondisi mesin dan sarana produksi lain dan memperbaiki atau mengganti peralatan yang sudah perlu diganti.
Didi juga belajar meracik formula limun dari sang ibu. Waktu itu dia bekerja bersama 12 orang pegawai yang lebih dari separonya sudah berusia lanjut. Mereka adalah pegawai setia sejak zaman sang mama menjalankan bisnis.
Sadar sebagai pendatang baru, laki-laki muda ramah senyum ini bahkan ikut berkeliling bersama supir untuk menawarkan limunnya secara door to door. Target utamanya adalah para pelanggan lama.
Berkat ketekuanannya, perlahan namun pasti permintaan mulai meningkat. "Permintaan naik sehingga produksi kami bisa tiap hari. Sebelumnya, kami hanya buat limun sekitar dua sampai tiga hari dengan jumlah botol sesuai pesanan pelanggan," jelasnya.
Sebagai generasi yang mengenal media sosial, Didi sadar akan kekuatan medsos. Didi segera memanfaatkannya sebagai media promosi. Ternyata unggahannya di medos menjadi viral dalam waktu cepat.
Rasa penasaran para warganet menggiring mereka berkunjung ke kedai Limun Oriental Cap Nyonya yang berada tepat di tengah-tengah kota batik, Pekalongan, Jawa Tengah.
Tidak sedikit konsumen di luar kota yang memesan limunnya melalui Instagram. Bisnisnya semakin viral setelah beberapa kali diundang stasiun televisi dan diwawancarai media cetak.
Mulai menggeliat dan mengundang perhatian, eh sebuah kendala datang. Sekitar pertengahan 2018 lalu Didi harus rela menutup sementara pabrik dan kedainya. Bisnisnya dituding tidak mematuhi peraturan berdagang dan dianggap tidak aman dikonsumsi.
Ternyata, sebagai bisnis lama, surat izin usaha bisnis warisan itu memang sudah kedaluwarsa. Namun, dia membantah tudingan limunnya tidak layak konsumsi. Selama ini belum pernah ada keluhan dari pelanggan setelah minum limun buatannya.
Gerah dengan segala tuduhan dan ingin mempertahankan usahanya, Didi segera memperbaharui segala perizinan dan melakukan uji laboratorium untuk menguji kelaikan konsumsi produknya.
Suasana mereda. Perizinan baru sudah dia kantongi. Sertifikasi kemanan produk juga sudah ada ditangan. Pabrik dan kedainya kembali buka. Didi semakin percaya diri mengembangkan bisnisnya.
Dia tidak khawatir bersaing dengan beragam produk minuman yang beredar di pasaran. Dia yakin mempunyai segmen pasar sendiri.
Namun demikian Didi sadar agar mampu bersaing dia harus terus menerus berinovasi, termasuk mengeluarkan varian baru. Bila tidak ada halangan, dua bulan lagi dia akan meluncurkan dua varian rasa baru: sarsaparila dan leci.
Untuk jangka panjang, laki-laki yang baru menikah ini akan membangun pabrik di kawasan Kendal, Jawa Tengah. Seluruh produksi akan dialihkan kesana. Pabrik di Pekalongan hanya akan menjadi kedai dan museum, sehingga bisa menjadi salah satu destinasi wisata.
Dari Generasi ke Generasi
Limun Oeriental Tjap Nyonya dibangun oleh Njo Giok Lin (generasi kedua) pada tahun 1920 di Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Selain membangun usaha limun, Njo juga membuka usaha lain yaitu produksi sabun, rokok, dan pakan ternak.
Pada tahun 1923 usaha ini dipindahkan ke Pekalongan karena Njo Giok Lin menikah dan bisnis semakin berkembang.
Njo Giok Lin meninggal pada usia 45 tahun dan meninggalkan lima anak. Sebagai anak tertua, Njo Djwan Bie (gerenasi ketiga) meneruskan usaha sekaligus menjadi pewaris bisnis minuman klasik ini.
Pada tahun 2000-an, Njo Kiem Nio (generasi keempat) mewarisi usaha limun. Sebagai pewaris, Kiem Nio tidak fokus menjalankan bisnis karena tinggal di Jakarta. Apalagi pasar minuman dalam kemasan semakin disesaki produk pemain-pemain besar. Tidak mampu bersaing, bisnis Limun Oriental kian ambles.
Tahun 2017, Bernardi Sunyoto (gerasi kelima) melanjutkan tradisi sebagai juragan pabrik limun ini. Melakukan peremajaan pabrik serta promosi lewat inertent, bisnis Limun Oriental Cap Nyonya kembali bergairah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News