Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi
Bagaimana jadinya bila kearifan budaya lokal dikawinkan dengan budaya kontemporer? Adalah Ivan Kurniawan yang menyatukan keduanya dalam produk fashion Lazuli Sarae. Pria kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, ini menonjolkan keindahan batik tradisional pada kain denim yang identik dengan budaya Barat.
Kesuksesan Ivan dimulai dengan keikutsertaannya pada kompetisi bisnis Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) yang diadakan Kementerian Perdagangan pada 2010. Waktu itu, Ivan masih bekerja bidang customer development di salah satu perusahaan multinasional Jakarta. Menggandeng temannya ketika kuliah, Maretta Astri Nirmanda dan Gilang M. Iqbal, Ivan mendaftarkan ide bisnisnya, yaitu batik denim. Ketiganya merupakan teman saat sama-sama kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ivan bercerita, ia hanya butuh dua hari untuk mendaftarkan ide bisnisnya pada kompetisi PPKI itu. Lantas, ia dan teman-temannya mengangkat proyek tugas akhir kuliah Gilang, yaitu eksplorasi reka batik pada material denim. “Ide itu yang paling realistis untuk diwujudkan karena waktu yang sangat pendek,” kenang Ivan.
Tak disangka, ide bisnis tersebut terpilih jadi juara dua dan meraih hadiah uang senilai Rp 10 juta. Ia lalu merasa itulah jalan pembuka baginya untuk menjadi pengusaha. Ia pun mulai memproduksi stok batik denim dengan cara bekerjasama dengan penjahit di Bandung.
Sebagai modal awal, ia menggunakan uang sebesar Rp 10 juta tersebut. Namun ternyata, dana itu tak mencukupi karena Ivan harus membeli bahan baku dan membiayai operasional usahanya. Dus, ia mengumpulkan dana tambahan sekitar Rp 40 juta. Uang ini, kata Ivan, bersumber dari kantongnya sendiri dan investasi dari beberapa temannya.
Beberapa bulan pertama usahanya mulai, Ivan masih tetap jadi karyawan di perusahaan lain. Jadi proses produksi dan urusan penjualan dilakukan hanya pada akhir pekan. Hingga pada 2011, ia dan teman-temannya keluar dari pekerjaan untuk fokus pada bisnis batik denim. Memang butuh pertimbangan yang tak mudah untuk memutuskan secara 100% menggeluti dunia bisnis.
Pasalnya, saat itu permintaan batik denim belum stabil. Waktu pertama kali ikut bazaar di kampusnya pun, Ivan bilang, belum ada pembeli yang berani membeli produknya. Ia memaklumi karena desain booth-nya pas-pasan. Merek Lazuli Sarae juga tak dikenal.
Ketika benar-benar fokus di Lazuli Sarae, Ivan melihat perkembangan yang signifikan pada usahanya. Ia pun meluncurkan koleksi pertamanya, Azul Fever dan Vanished Indigo. Dengan modal terbatas, Ivan hanya memproduksi stok Lazuli Sarae dalam jumlah sedikit. Kebanyakan orang melakukan pre-order selama dua bulan.
Saat ini, produk Lazuli Sarae sangat beragam, mulai dari produk busana, seperti kemeja, blazer, jaket, kardigan, vest, kaos, serta aksesori, seperti scarf, tas, dan sepatu yang semuanya berbahan denim dengan motif batik. Kisaran harga produk Lazuli Sarae mulai Rp 300.000–Rp 900.000 per potong. “Semakin rumit potongan bajunya dan semakin tebal denim yang digunakan maka harga semakin mahal,” ucap Ivan.
Saban bulan, ia memproduksi ratusan potong produk Lazuli Sarae. Pengirimannya pun sudah tersebar di berbagai provinsi di dalam negeri serta pelanggan di luar negeri. Hingga 70% penjualan dilakukan secara online, baik melalui situs Lazuli Sarae maupun konsinyasi dengan e-commerce, seperti Zalora, Rakuten, dan Hijup.com. Sisanya merupakan penjualan dengan toko offline. Lazuli Sarae bisa ditemui di Alun-Alun Indonesia, Pendopo Rumah Batik & Kerajinan Alam Sutera, Sarinah Thamrin, dan Pejaten Village.
Pameran dan kompetisi
Untuk membesarkan nama Lazuli Sarae, Ivan punya beberapa resep khusus. Alumnus jurusan Teknik Informatika ITB ini mengatakan, ia getol mengikuti berbagai macam pameran serta beragam kompetisi di bidang kewirausahaan.
Ketika awal merintis bisnisnya, Ivan kerap mengikuti pameran bidang fashion, seperti perhelatan tahunan di Jakarta, yakni Inacraft. Saking sering ikut pameran, penjualan lewat pameran sempat mendominasi pemasukan Lazuli Sarae. Seiring dengan nama Lazuli Sarae yang kian dikenal masyarakat, Ivan mengganti strategi dengan lebih selektif memilih pameran yang akan diikuti. Biaya untuk menyewa dan mendekorasi booth saat pameran pun dialihkan untuk membuat website dan kerjasama penjualan dengan e-commerce.
Selain itu, lantaran mengawali kiprahnya di dunia bisnis lewat kompetisi, tiap tahun Ivan pun rutin mengikuti perlombaan. Tak sedikit pula penghargaan yang dicapai Ivan berkat perlombaan tersebut. Ivan menuturkan, keikutsertaannya pada beragam pameran dan kompetisi membuka peluang untuk berjejaring.
Kompetisi membuat ia mengenal banyak pengusaha yang berpengalaman. Bahkan, ia memiliki mentor yang kerap mendukung, menginspirasi, serta memberi masukan positif agar ia terus bersemangat mengembangkan usahanya.
Pada Juli lalu, lantaran menang pada kompetisi Shell LiveWIRE BSA, Ivan lantas mendapat kesempatan menjalani business trip di luar negeri untuk mendapatkan pengalaman berbisnis secara internasional. Ivan bercerita, ia mengikuti program Shell Go Trade yang memungkinkan ia untuk memilih tempat dan kegiatan sesuai dengan kemauannya.
Ivan memilih Hong Kong ,karena saat kepergiannya itu bertepatan dengan perhelatan Hong Kong Fashion Week. Bersama rekannya, Maretta, ia mengikuti ajang fashion ini selama tiga hari dengan membawa koleksi terbarunya, Proud Youth. Dia juga mengunjungi sentra garmen di Hong Kong untuk mendapat inspirasi yang berhubungan dengan bisnis.
Bukan batik sablon
Selama empat tahun, Ivan Kurniawan membesarkan merek fashion Lazuli Sarae di Bandung, Jawa Barat. Pria kelahiran 21 September 1986 ini mengatakan, bisnis tak selalu berjalan dengan mulus. Apalagi, produk yang dihasilkan merupakan inovasi dari produk yang belum pernah ada.
Sebagai salah satu warisan budaya, batik memang selalu menarik untuk diulik. Namun Ivan mengatakan, bukan hal mudah untuk mengedukasi pasar mengenai unsur tradisional yang ia tampilkan pada Lazuli Sarae.
Teknik pembuatan batik benar-benar dilakukan secara tradisional, yakni dengan canting cap. Kain denim yang tebal, kata Ivan, tak memungkinkan untuk mengaplikasikan batik tulis. Tinta batik akan meluber dan tidak tembus pada kain. Adapun motif batik pada produknya juga didesain sendiri dengan riset yang matang.
Doyan kolaborasi
Berkecimpung di dunia industri kreatif membuat Ivan tak melihat sesama pengusaha sebagai pesaing. Justru, ia menganggap para pengusaha sebagai mitra yang punya potensi untuk diajak bekerjasama dengan kolaborasi antar-brand.
Berbagai jenis kolaborasi pernah dilakukan Ivan. Misalnya, co-branding alias menggabungkan mereknya dengan merek lain, tapi tetap menonjolkan ciri khas masing-masing merek. Sejauh ini, Lazuli Sarae pernah berkolaborasi dengan pengusaha tas, aksesori, sepatu, serta pengolah perca. Batiknya juga digunakan sebagai ikat kepala yang dipakai para kepala negara di KAA 2015.
Ivan bilang, banyak keuntungan dari kolaborasi tersebut. Ia bisa mendiversifikasi produk serta meminimalisasi biaya produksi. “Kolaborasi juga berpeluang membuka pasar baru karena konsumen Lazuli Sarae bisa kenal merek New Shoes, misalnya, demikian pula sebaliknya,” tutur Ivan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News